Mampu mengucap syukur yang hanya sampai di level lidah, itu biasa. Namun untuk bisa memaknai syukur hingga betul-betul meresap hingga ke level hati sepertinya Tuhan merasa perlu untuk mengkaruniakan pemahamannya melalui caraNya sendiri yang seru dan luar biasa.
Tanggal 1 Januari 2020 jam 04.00 dini hari, aku beserta anak dan para ponakan sudah bersiap untuk mengikuti program CTC (Clean the City). Suatu program akbar peduli kebersihan yang rutin dilakukan di setiap awal pergantian tahun. Membersihkan sampah yang berserakan memenuhi pusat-pusat kota setelah pesta pora malam tahunbaruan. Pesta yang menyisakan tumpukan sampah menggunung memenuhi seluruh area wajah kota sebagai pusat keramaian masyarakat. Hanya dalam waktu 2 jam, seluruh sampah di setiap lekukan area target telah tersapu bersih oleh ratusan peserta CTC. Wajah kota pun segera muncul dengan cantiknya. Bersih dan segar tanpa satu pun serpihan sampah tersisa. Komunitas CTC kami tersebar di seluruh Indonesia. Aku sendiri tergabung dalam CTC Jabar 01 beranggotakan peserta dari Bekasi, Tambun, Cikarang, Bojong, Karawang, dan Cikampek.
Saat kami lewat, sungai dekat rumah tampak permukaannya sudah penuh hingga rata dengan permukaan jalan. Namun tak terbetik sedikit pun pikiran bahwa sebentar lagi akan terjadi bencana banjir menyeluruh di Jabodetabek termasuk daerahku. Meskipun hujan terus mengguyur semalaman, pikiran buruk seperti itu tidak terlintas di pikiran. Kupikir itu hujan seperti biasa dan sungai akan surut kembali dengan cepatnya seperti biasanya ketika hujan usai.
Kami terus meluncur menembus hujan yang tak kunjung berhenti. Tekad bulat sudah tertanam kuat untuk melaksanakan program yang telah diplanningkan sejak tahun lalu. Ketika hendak menembus underpass Tambun, seorang petugas menghadang. Melarang kami masuk underpass yang telah berubah bagai danau di perut bumi. Mengerikan. Ubah haluan. Mencari jalan-jalan lain yang masih bisa dilalui setelah terjegal di sana sini. Alhamdulillah gerbang kota Karawang telah kami masuki. Lapang Karangpawitan Karawang menjadi target CTC kami tahun ini.
Sejenak berhenti dulu di rest area yang memiliki mesjid yang megah dan bersih. Petugas mesjid mendatangi kami dan mempersilakan sarapan bubur kacang hijau. Wah, senangnya. Cuaca dingin, perut yang belum terisi, kacang hijau yang hangat dan nikmat segera berbaur menjadi satu dengan harmonisasi yang serasi. Mesjid Aliyah, keren. Memberi sarapan untuk pelancong yang lewat. Kejadian ini inspiratif. Berbagi bahagia di tempat ibadah. Berkah.
Perjalanan dilanjutkan menuju target. Sesampai di sana, hujan reda. Area lapangan sudah bersih. Kebetulan malam tahun baru 2020 ini dikemas dengan acara relijius, shalawatan dan tabligh akbar jadi sampahnya tidak menggila seperti biasanya. Saudara kami dari Karawang dan Bojong telah datang dua jam yang lalu. Kami memperluas area pembersihan ke halaman Islamic Centre. Karena banjir dimana-mana, akses jalan terputus, dan ada peserta yang meninggal hari ini, maka sebagian peserta terpaksa tidak jadi turut serta dalam CTC tahun ini. Jadilah kami hanya 95 orang. Berfoto bersama di belakang gunung tumpukan kantong sampah hasil kinerja peserta. Hujan gerimis mengiringi sesi foto. Selesai foto, seorang donatur mengumumkan bahwa para peserta CTC dipersilakan menikmati sule (susu kedele) yang dibawanya berpeti-peti. Wow, rezeki kedua yang membahagiakan di hari ini. Berbagi itu indah.
Mendengar banjir di sana-sini, hati mulai cemas. Rencana menengok saudara di area banjir sepulang CTC jadi batal. Beralih niat untuk cepat-cepat pulang. Khawatir tidak bisa masuk menembus perumahan kami. Sementara hati ini masih sulit percaya. Bencana begitu datang tiba-tiba tanpa ada perkiraan sebelumnya dari pihak mana pun. Shalat gerhana, keluarnya binatang-binatang dari peraduannya belum cukup menjadi firasat akan terjadinya bencana.
Sebelum meninggalkan Lapangan Karangpawitan yang berumput sintetis hijau asri di bagian atasnya, kusempatkan membeli somay di gerbang masuk. Lumayan hangat-hangat saat gerimis. Sebenarnya, kakakku sudah menyiapkan botram. Biasanya selesai CTC, kami mencari tempat hijau yang luas dan nyaman untuk menikmati botram. Menu ikan asin, sambel, petai, dll adalah wajib adanya. Namun CTC kali ini sangat jauh berbeda. Rencana botram gagal total.
Hati kian cemas melihat kemacetan di sepanjang jalan gara-gara banjir yang sudah mulai merata. Doa terus dipanjatkan. Keketiran mulai melanda. Porak poranda pemandangan jalanan makin membuat hati tak sabar ingin segera sampai rumah. Namun terasa pesimis bisa masuk ke dalam perumahan yang pasti sudah berubah menjadi danau. Hiks! Bisa pergi tak bisa pulang. Namun tak perlu berkecil hati. Mana mungkin tak ada pertolongan Allah bila sudah melaksanakan pengkhidmatan kemanusiaan. Tadi kami pergi untuk menjaga alam, kami yakin Allah akan menolong kami menembus jalanan.
Jantung serasa berhenti berdenyut ketika mobil tengah berjuang keras menantang arus kuat di depan Metland. Naik mobil serasa naik perahu dengan goyangan maut. Takut kian menggeluti seluruh relung kalbu. Pasrah! Mungkin hidup kami hingga di sini. Sementara itu di sebrang sana, terkurung satu gedung luxurious yang lantai 2 nya tengah menyelenggarakan pesta pernikahan. Begitulah yang tertera di undangan nikah seorang teman yang sampai padaku.
Setengah mati kami terus berusaha melanjutkan perjalanan. Kudengar kabar dari kakak yang di rumah bahwa kendaraan-kendaraan sudah diungsikan. Sebagian penduduk juga mulai ramai mengungsi sebelum sulit dievakuasi. Begitu cepatnya air naik dan terus naik. Hujan pun kian gencar mencehcar bumi.
Ketika sampai gerbang perumahan, betul saja…perumahan yang tadi belum ada air sekarang sudah berubah jadi danau yang mengerikan. Kami sudah dilarang petugas untuk masuk perumahan. Tapi kami maksa karena surat-surat berharga di rumah belum dibereskan. Siapa tahu masih bisa terselamatkan. Kami pun perlu bertemu dan turut menyelamatkan ibunda yang terkurung di dalam. Ibunda sepuh yang sudah berumur hampir 90 tahun. Akhirnya petugas mau mengerti. Kendaraan yang tadi ditumpangi tak lagi kami pedulikan. Kami minta tolong supaya itu diamankan saja di tempat yang tidak terjangkau air.
Kami nekad menembus danau berarus kuat dan sebagian tubuh tenggelam dalam air yang sangat sangat dingin bagai es. Bagai berjalan di lautan coklat. Betapa sulitnya melangkah. Kaki sulit bergerak di dalam air. Sekuat tenaga menahan keseimbangan dan melawan rasa takut akan ular berbisa yang sedang marak diberitakan saat ini. Menumbuhkan semangat mencapai rumah. Kami melawan arus air dan arus manusia. Di tengah orang ramai keluar perum, kami justru menyosok masuk ke dalam perum. Wajah-wajah ketakutan dari para pengungsi terlihat begitu kental. Apalagi para lansia, tak kurang yang berjalan sambil menangis. Banjir kali ini Basarnas tidak nampak. Biasanya bila banjir begini, para lansia dan orang sakit diangkut oleh perahu Basarnas. Para cucu yang kreatif terlihat tengah mendorong seorang nenek yang sedang mengapung di atas rakit untuk evakuasi ke luar area banjir yang kian meninggi.
Akhirnya sampai juga di rumah. Saat itu air baru sedikit masuk rumah. Secepat kilat dengan penuh kebingungan dan antara rasa percaya dan tidak, kami segera membawa surat-surat penting dan angkat-angkat apa yang masih terangkat. Selebihnya kami harus menyerah ketika air semakin tinggi masuk rumah. Kami tidak bisa apa-apa lagi selain berusaha menyelamatkan nyawa dan membawa surat-surat penting. Itu saja. Tujuan satu yaitu mengungsi ke rumah tingkat. Bye bye rumah. Selanjutnya jadilah kami nongkrong di rumah tetangga bagian atas sambil melihat suasana yang makin mengenaskan. Sebenarnya, mengungsi ke rumah tingkat bukanlah hal aman. Seharusnya mumpung air belum di atas kepala, secepatnya harus evakuasi ke luar. Tapi begitulah fitrat manusia, sejelek apa pun rumahnya, itu masih lebih baik daripada di pengungsian. Menumbuhkan jiwa Ge-er dan optimisme bahwa air akan segera surut jadi tak mau dievakuasi.
Harapan tinggal harapan, bukannya makin surut namun sebaliknya. Bila air nanti menyentuh lantai 2. Entahlah apa jadinya. Tenggelam dalam doa sambil melihat dahsyatnya alam ketika berkuasa. Uang tak begitu berarti lagi. Mau beli makanan, tidak ada yang jualan. Mau masak tidak bisa. Kompor dan gas melayang, kulkas melayang, rice cooker melayang. Apa lagi rumah yang pintunya sudah tak kuat menahan dobrakan arus, seluruh isi perut rumahnya keluar semua. Melayang-layang di lautan coklat tanpa bisa ditahan. Terdengar pengumuman, listrik sebentar lagi akan dimatikan. Waw, langsung terbayang…gelap, kedinginan, susah air, makan tak tahu bagaimana, nyamuk menghujani gigitan, super panas. Innalillahi.
Ada Allah…ada Allah…tak perlu khawatir. Tak lama mulai bisa belajar menerima kenyataan. Carilah sisi keindahan di balik kesulitan yang ada. Mari buat semuanya jadi terkendalikan. Nikmati apa yang ada.
Rubah mindset. Atasi ketakutan dan pikiran buruk. Otak diajak realistis. Mumpung masih ada supermarket buka, segera berbelanja. Jangan hanya mengandalkan bantuan orang lain saat begini karena semua orang juga sedang berusaha menyelematkan diri. Berharap logistik dari orang luar jangan terlalu karena apakah orang luar akan mampu menembus access keluar yang mulai buntu? Sepertinya akan sulit.
Baiklah, lakukan apa yang bisa selagi kita bisa. Yuk! Jalan-jalan menikmati danau. Ambil kasur air, gunakan sebagai perahu. Mari mulai berlayar. Ternyata ketir-ketir asyik. Indomaret yang tadi penuh barang secepat kilat ludes kosong. Cepat-cepat ke sana sebelum Indomaret tutup karena Alfamart dan warung lainnya sudah tidak bisa buka lagi. Hmmm….meja kursi sudah pada hanyut rupanya. Berfoto sejenak ah di sofa hanyut.
Pikiran masih Masih terbayang-bayang pemandangan di jalanan kemarin. Saking dahsyatnya arus, gerobak-gerobak para pedagang kaki lima terguling dan terpecah menjadi beberapa bagian selanjutnya terbawa hanyut. Kasian para pedagang. Mobil-mobil terendam banjir. Motor melayang. Luar biasa.
Detik-detik selanjutnya berusaha survive dalam kondisi banjir. Trauma terasa setiap hujan mulai turun lagi. Malam hari kembali angin kencang dan hujan deras mengguyur tiada henti. Makin pasrah…makin pasrah. Hanya bisa berserah diri pada yang Maha Kuasa. Dua hari berasa dua tahun. Barulah terasa hari hari dalam sepanjang tahun itu ternyata suatu kenikmatan. Karunia dari Tuhan dan bukan hal biasa.
Tuhan tak lama-lama bercanda. Mungkin tahu umatnya tak akan kuat. Hari ke-3 air mulai surut. Hati mulai lega. Namun kekhawatiran timbul lagi saat air tidak stabil. Setelah surut sempat naik lagi. Ada pengumuman tetap waspada antisipasi bila ada banjir kiriman.
Serasa mendapat hidup baru ketika access jalan mulai terbuka lagi. Lepas dari kerangkeng yang membelenggu. Saatnya menjalankan tugas membantu korban pasca banjir di area Cikarang Utara, Tambun, Bekasi. Siap turun ke titik-titik banjir terparah. Bismillah…aktivitas mulai dijalankan ketika access jalan sudah mulai terbuka.
Banjir H+3, kunjungan dilaksanakan ke daerah terparah dulu yaitu Cikarang Utara. Titik Asem dan POM Kaliulu. Di hari ini semua masyarakat sedang sibuk CTH (Clean the Home). Membersihkan lumpur, lantai, tembok, baju-baju, perabotan rumah tangga. Banyak cerita mengharu biru yang didapat dari lawatan ini.
Kunjungan pasca banjir dimulai dari mulut Asem yang berada di dataran tinggi. Masuk gang kecil dan menyusuri jembatan tembok hingga terus menurun. Pantaslah banjir nikmat menyergap rupanya kediaman masyarakat ada di cekungan antara sungai-sungai. Tampak tembok-tembok masih basah menjadi saksi ukuran kedalaman banjir kemarin. Jauh melebihi kepala orang-orang pada umumnya. Sudah dapat dibayangkan bagaimana beratnya para pengungsi berjalan menuju suatu tempat di dataran atas. Air coklat kotor, dingin, bau, sulit ditapaki, ancaman ular dan binatang lainnya, beling-beling yang mungkin bisa terinjak, jerit ketakutan, semua berpadu jadi satu.
Satu persatu rumah dan penghuninya ditengok. Ditanyakan kondisinya, logistiknya. Didengarkan keluh kesahnya. Semoga dengan demikian menjadi berkurang beban mentalnya. Hampir sebagian rumah sudah di-pel. Alhamdulillah air bersih untuk membersihkan sudah ada. Namun sebagian tampak sedang membersihkan perabotan di sungai yang kini sudah jinak kembali. Terlihat di pohon masih tersangkut meja dan perabotan lain. Alat masak meskipun diikat tapi tetap saja ada yang melayang. Demikian juga kambing-kambing melayang terseret arus sungai. Warung sampai kosong melompong isinya karena barang-barangnya hanyut.
Seorang ibu menuturkan, saat banjir tersebut mendapat nasi bungkus dari mesjid jemaat. Namun tidak cukup karena jemaat ingin berbagi nasi belum kebagian nasi.
Meskipun banjir sudah surut namun bukan berarti masyarakat bisa langsung masak sendiri karena alat masak dan bahan makanan tidak tersedia utuh. Maka kami bicarakan kembali perencanaan matang tim Humanity first (HF) jemaat Muslim Ahmadiyah yang akan mulai beroperasi mendirikan dapur umum. Target pelayanan logistik untuk masyarakat Asem berupa nasi bungkus dan untuk masyarakat POM berupa paket sembako karena POM sudah bisa memasak sendiri. Pihak RT dan tim HF bekerja sama memasak dan mengantarkan logistik untuk para korban banjir. Alhamdulillah, dapur umum ngebul terus selama dua hari. Ibu RT dan ibu lainnya turut memasak. Pak RT mengucapkan terima kasih atas bantuan pada warganya.
Rasa bahagia menyelimuti hati melihat ibu-ibu dengan penuh semangat mempersiapkan masakan,meracik dan memasaknya. Kemudian khudam membagi-bagikannya pada para korban banjir.
Ketika semua rumah sudah terkunjungi, kami menemukan ada satu orang yang sulit berjalan. Rupanya ketika banjir, beliau menginjak beling besar pecahan botol. Kakinya terus berdarah dan alhamdulillah sudah mendapat perawatan. Perban memenuhi penuh telapak kakinya. Memang sulit berjalan pakai sendal di dalam air namun harus dipaksakan pakai sendal supaya tidak kena pecahan benda tajam seperti itu. Akibatnya sungguh berbahaya.
Selesai kunjungan ke Asem dilanjutkan kunjungan ke POM. Dimulai dari mulut gang depan kemudian memasuki lorong panjang. Di dalamnya penuh penghuninya. Di mulut gang ada satu kios yang berada di tempat yang agak tinggi. Kios kecil ini saat banjir menjadi tempat mengungsi. Kembali menengok satu persatu rumah warga jemaat dan masyarakat sekitarnya. Tak jauh beda dari Asem, sebagian warga POM pun sedang Clean the Home. Cucian baju bergantungan seperti Ramayana. Tembok-tembok dibersihkan supaya tidak berjamur.
Seorang ibu bercerita. Ketika hujan mengguyur deras, banjir meninggi. Dia bingung bagaimana dan dimana ketiga anaknya tidur nanti. Akhirnya dengan nekad membopong anak-anaknya dalam kegelapan dan kedalaman air. Mesjid menjadi tujuan untuk tempat mengungsinya. Ibu yang lain berkisah ketika banjir sudah reda. Kemudian membersihkan lantai. Kecapean. Leha-leha tiduran di kursi panjang. Ketiduran. Tak sadar hujan kembali datang dengan derasnya. Terbangun ketika suara geludug semakin kencang mengagetkan dan merasa kedinginan tiba-tiba. Ternyata badannya telah terendam air. Banjir lagi untuk kedua kalinya. Lebih dahsyat dari sebelumnya. Santapan empuk untuk banjir karena daerah ini berada di cekungan
Ramai-ramailah masyarakat berduyun- naik ke dekat sungai yang paling atas. Di situ ada jalan. Tak peduli lagi saat harus berjalan dalam air yang telah mencapai leher orang dewasa demi mencapai dataran tinggi. Pengap dan sesak rasanya. Sesampai di jalan, mereka mengungsi di jalan tersebut. Berlindung di situ beratapkan langit. Sementara itu guyuran air hujan mengucur deras dari langit.
Bersambung