Matahari mulai menyingsing, cahayanya memantul deras di lautan. Ombak pagi ini begitu tenang, saat Usman dan Madi berada di pinggir sebuah sumur tua dalam keadaan tak berbusana. Kedua anak berumur 3 tahunan ini bersiap menerima guyuran dari ibunya. Hal yang tak biasa untuk anak-anak kecil di kampung mandi seawal ini. Mereka sangat bersemangat.
Jam 7.30 WITA, saat aku bergegas menyiapkan kertas, spidol, pulpen, krayon dan lain sebagainya ke dalam sebuah kardus biru. Kudengar suara anak-anak yang berjalan bersama, riang sambil berkata-kata, “Pergi sekolah.. Pergi sekolah..” Rasanya sulit dibayangkan, hari ini, hari pertama PAUD Bustanul Ahmadi dimulai, meski tidak ada kemeriahan formal disana-sini.
Yah, hari itu Selasa, 2 September 2014, hari yang bersejarah untuk kampung Watang Lolong, juga untuk desa Pasir Putih, sebuah desa yang berada di selatan Pulau Lembata. Sebuah lembaga pendidikan bisa didirikan dengan modal semangat gotong royong. Ini bukan proyek “puluhan juta rupiah” oleh Departemen Pendidikan, tapi ini adalah kekuatan kemauan.
Ini yang membuatku tak percaya saat memandangi tiap jengkal sekolah yang memakan waktu hingga sembilan bulan bak seorang ibu mengandung. Bukan lah derasnya aliran dana yang membuat gedung ini berdiri, tapi ketulusan dan kesadaran bahwa betapa pentingnya pendidikan.
Akupun masih tak percaya saat kutatap satu persatu kedua-belas orang anak yang sedang duduk lesehan di ruang kelas tanpa meja-kursi. Pikiranku melayang menjangkau sebuah peristiwa saat aku berdua dengan seorang warga, menyusun satu demi satu batu bata dimana tak ada lagi warga yang ikut membantu. Saat itu aku tidak yakin apakah bangunan ini bisa berdiri? Saat itu, seorang kakek tua datang membantu di sore hari. Saat senja memerah, sungguh malang kakinya tertusuk paku.
Aku pun masih tak percaya saat kutatapi satu persatu wajah anak-anak kampung yang begitu polos itu. Bermodal sendal jepit, tanpa seragam, tanpa buku, tanpa bekal, mereka datang tanpa tahu ada apa dengan kehidupan baru mereka di sekolah.
Banyak hal yang telah diperjuangkan dan dikorbankan untuk bangunan ini. Ini adalah semangat “gotong royong” yang sudah menjadi warisan dari bangsa kita, yang mulai ditinggalkan. Uang memang bisa membangun sebuah istana yang cantik, tapi ia tak pernah bisa menyadarkan manusia bahwa kekuatan kemauan dapat menciptakan segalanya, bahwa kekuatan kebersamaan jauh lebih bernilai dari bangunan yang seindah apapun.
Di hari yang bersejarah ini, aku tidak tahu mau dimulai dari mana kegiatan belajar-mengajar ini? Siapa yang akan mengajar? Dari mana uang untuk para pengajar nanti? Apa-apa yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan belajar? Tidak ada kursi, meja, maupun kurikulum. Yang ada hanyalah keinginan untuk terus berjalan, meski dengan segala keterbatasan. [@righteous4din]