“YUDHOYONO tidak bicara soal kebebasan beragama tapi bicara soal “kerukunan beragama”–eufemisme untuk penindasan kepada kaum minoritas agama termasuk Ahmadiyah, Kristen, Syiah dan sebagainya. Artinya, Yudhoyono termasuk orang yang tidak mendukung civic democracy.” –Andreas Harsono
Iwan Fals, dalam konser “Lagu untuk Negeri” di Monumen Nasional pada 15 Maret 2014, mengatakan bahwa pemilihan umum adalah harapan. “Satu suara adalah satu harapan,” katanya. Bila politikus yang dipilih ternyata korupsi ya dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Surat buat Norman Harsono
PADA 9 April 2014, Norman akan memilih pertama kalinya dalam pemilihan umum di Indonesia. Tadi pagi, kita mendapat surat pemberitahuan bahwa Norman sudah punya hak memilih. Papa ingin menjelaskan bagaimana Norman seharusnya, secara sistematis, menggunakan hak tersebut.
Tahun ini, menurut Komisi Pemilihan Umum, ada lebih dari 214.5 juta warga punya hak memilih. Mereka akan memilih dua kali: parlemen pada 9 April dan presiden pada 9 Juli. Mereka boleh tidak menggunakan hak mereka. Secara hukum, tidak apa-apa bila ada warga tidak memilih. Mungkin mereka kecewa, mungkin mereka protes atau mungkin saja berhalangan untuk memilih.
Norman mungkin ingat ketika konser Iwan Fals di Monumen Nasional, Iwan bilang setiap satu suara adalah satu harapan.
Harapan belum tentu dipenuhi. Banyak politisi di Indonesia mutunya buruk … bahkan buruk sekali, dari mereka yang bodoh sampai korupsi. Banyak yang bodoh plus jahat sampai yang pelaku diskriminasi, rasialisme, sektarianisme dan kekerasan. Norman berhak untuk kecewa dan tak memilih.
Tapi Papa setuju dengan Iwan Fals. Kita perlu berharap akan adanya perbaikan di negeri ini. Bila orang yang kita pilih ternyata jahat maka kita harus dukung usaha membuktikan kejahatan mereka. Kalau bisa diadili. Cukup banyak politisi sudah diadili di Indonesia. Sayang, belum ada satu pun presiden Indonesia diadili karena kejahatannya.
Buat Papa, tahun ini adalah pemilihan umum kedelapan.
Pada 1983, saat umur Papa sama dengan Norman, Papa juga ikut memilih pertama kali. Tapi itu zaman Presiden Soeharto. Dia memerintah dengan tangan besi. Pada 1983, Papa memilih boikot dengan jadi “golongan putih” karena pemilihan umum sangat dibatasi. Presiden Soeharto dan partainya, Golongan Karya, menang terus-menerus pada pemilihan 1971, 1978, 1983, 1988, 1993 dan 1998. Dia berkuasa selama 33 tahun. Papa lubangi semua kertas suara. Artinya, Papa terus-menerus boikot pemilihan umum.
Keadaan baru berubah sesudah Soeharto mundur dari kepresidenan pada Mei 1998.
Pada 1999, Indonesia mengadakan pemilihan umum dengan ruang kebebasan yang jauh lebih terbuka. Papa berhenti boikot dan memilih politikus. Papa sudah lupa siapa yang Papa pilih tapi Papa ingat Papa pernah memilih Aberson M. Sihaloho, seorang politikus Batak, namun dia kalah. Papa juga memilih Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pada pemilihan 1999. Papa menyesal memilih Yudhoyono. Dia ternyata politikus yang sektarian. Yudhoyono membahayakan kebhinekaan di Indonesia.
Yudhoyono membuktikan bahwa pemilihan umum bukan obat mujarab. Iwan Fals benar. Pemilihan umum adalah harapan. Ia bisa berakhir dengan kekecewaan. Demokrasi sekarang masih electoral democracy. Ia hanya bebas mencoblos.
Di Indonesia, demokrasi belum memasuki proses civic democracy dimana kebebasan sipil (civic liberties) –termasuk kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berserikat– serius dilindungi.
Yudhoyono tidak bicara soal kebebasan beragama tapi bicara soal “kerukunan beragama” –eufemisme untuk penindasan kepada kaum minoritas agama termasuk Ahmadiyah, Kristen, Syiah dan sebagainya. Artinya, Yudhoyono termasuk orang yang tidak mendukung civic democracy.
Papa berharap pemilihan umum ini memberi harapan perubahan ke civic democracy.
KELUARGA kita tinggal di bilangan Senayan. Artinya, kita sekeluarga, termasuk Norman, punya hak suara untuk memilih di provinsi Jakarta dan memilih wakil dari Jakarta. Total ada 7.024.669 warga Jakarta yang punya hak memilih lewat 17.035 tempat pemungutan suara (voting booth).
Jutaan warga tersebut memiliki hak mencoblos buat tiga badan legislasi: Dewan Perwakilan Rakyat (nasional), Dewan Perwakilan Daerah (nasional), serta DPRD Jakarta (provinsi).
Jakarta memang hanya punya DPRD Jakarta dengan total anggota 106 orang. Maksudnya, Jakarta tidak punya kabupaten atau kota. Jakarta hanya punya “kota administrasi”–Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Barat–serta Kabupaten Kepulauan Seribu. Kota administrasi dipimpin walikota yang ditunjuk Gubernur Jakarta. Mereka tidak dipilih sehingga juga tak ada DPRD tingkat II di Jakarta.
Di Indonesia, hanya Jakarta yang tidak punya DPRD tingkat II. Bila kita tinggal di provinsi-provinsi lain, Norman akan lihat warga Indonesia di sana mendapat hak mencoblos buat empat dewan: DPR, DPD, DPRD tingkat I (provinsi), serta DPRD tingkat II (kabupaten dan kota).
Indonesia total punya 416 daerah tingkat II, termasuk enam di Jakarta, sehingga Indonesia hanya punya 410 DPRD kota atau kabupaten. Untuk DPRD kabupaten atau kota, masing-masing berjumlah antara 20-50 orang, tergantung populasi. Makin banyak populasi makin banyak pula anggota DPRD kabupaten atau kota.
Dari website Komisi Pemilihan Umum, Norman bisa mendapat nama-nama calon legislatif DPR, DPD dan DPRD Jakarta, yang bisa dipilih warga Jakarta Pusat:
Nanti saat pemilihan, Norman akan dapat tiga lembar kertas suara. Norman hanya mencoblos satu nama dari setiap kertas.
Berapa jumlah masing-masing dewan tersebut?
Menurut UU Pemilihan Umum tahun 2012, jumlah anggota DPR adalah 560 orang.
Jumlah anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan empat. Indonesia sekarang ada 34 provinsi –dari Aceh sampai Papua– sehingga 34 provinsi x 4 utusan = 136 anggota DPD. Norman harus memilih satu dari 35 calon senator dalam daftar pemilihan di Jakarta.
Bagaimana dengan DPRD (provinsi) Jakarta?
Menurut UU Pemilihan Umum, untuk DPRD provinsi, setiap DPRD memiliki antara 35-100 politisi. Jakarta akan punya 106 karena penduduknya besar sekali.
Papa sudah cek semua calon legislator dari ketiga daftar tersebut.
Untuk DPRD Jakarta, dari total 132 politisi untuk daerah pemilihan Jakarta Pusat –rumah kita di Senayan masuk Jakarta Pusat– hanya satu orang yang Papa kenal namanya: Wahyu Effendi dari Nasdem.
Kebetulan Wahyu Effendi seorang aktivis. Wahyu ikut menulis buku Tionghoa dalam Cengkeraman SKBRI pada 2008. Sisanya, 131 politisi, tak ada satu pun yang Papa kenal. Kita harus pakai Google bila ingin tahu track record 131 politisi tersebut.
Untuk DPR dan DPD, Papa kenal cukup banyak dari mereka lewat media –misalnya Sabam Sirait dan AM Fatwa dari daftar DPD. Kebanyakan politisi tak dikenal masyarakat. Banyak politisi juga berasal dari keluarga-keluarga kaya. Norman perlu mempelajari masing-masing calon dan pilihlah politikus yang Norman anggap bermutu, yang integritas dan karakternya, bisa dipercaya.
Norman tentu tahu bila hendak menilai orang, nilailah mereka berdasar karakter dan integritasnya. Dari pergaulan dalam keluarga, Norman tentu belajar bahwa jangan menilai orang dari kelas sosial, etnik, agama atau ideologi. Kita perlu tahu etnik, agama, kelas dan ideologi guna memperkaya pemahaman kita tapi, at the end of the day, pada akhirnya, kita harus menilai orang dari karakter dan integritas mereka.
Papa kira demokrasi, thus masa depan, Indonesia, akan ditentukan oleh generasi muda macam Norman. Papa sering menerangkan bahwa demokrasi sebenarnya adalah cara-cara damai buat melakukan pergantian pemimpin. Demokrasi ini tak datang dengan mudah. Banyak penguasa tak mau diganti oleh orang di luar orang yang dia percaya, terutama keluarganya. Demokrasi sekarang ada berdasarkan perjuangan dan pengorbanan banyak orang, termasuk beberapa teman Papa, yang mati, yang diculik, dan yang hilang sampai sekarang.
Tanggung jawab kalian adalah menjadikan demokrasi ini menjadi demokrasi yang melindungi hak asasi manusia, kebebasan sipil, serta berbagai kaum minoritas di Indonesia.
Selamat memakai hak pilih dalam demokrasi di Indonesia.
—
Ralat: Saya mulanya menulis pemilihan 1999 yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono. Seharusnya ia adalah pemilihan 2004. Naskah ini sudah dikoreksi. (ANDREAS HARSONO)
GAMBAR: Jamila Trindle (kanan), seorang wartawan televisi Philadelphia, serta Andreas Harsono (memegang payung), Lexy Rambadeta (kameramen) dari Offstream, pergi ke Pulau Lombok guna meliput para pengungsi Ahmadiyah pada Maret 2009. Liputan diadakan oleh International Center for Journalists serta disponsori Carnegie Corporation. Naskah ini, dalam bentuk lebih singkat, dimuat majalah Gatra “Mereka Yang Teraniaya dan Terusir” pada Februari 2010. Andreas Harsono ikut menandatangani petisi Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
(Foto oleh Maulana Basyir Aziz; AndreasHarsono.net)
_
Pada 26 Februari 2014 lalu, dua redaktur IndoPROGRESS, Coen Pontoh dan Sari Safitri Mohan menyempatkan diri untuk merancang wawancara dengan Andreas Harsono (wartawan senior, aktivis HAM) ketika berkunjung ke New York City.
Melalui Coen, IndoPROGRESS mengajukan beberapa pertanyaan kepada Andreas tentang masalah HAM di Indonesia kaitannya dengan Pemilu 2014 yang tak lama lagi akan dihelat.
Saya pikir uraian-jawab dari Andreas atas beberapa pertanyaan yang diajukan Coen penting menjadi
pertimbangan, terlebih untuk para “calon pemilih”.
Seperti apakah itu? Jelasnya silakan simak video wawancara ini.