Wonosobo, Solo dan Jakarta menjadi kota-kota yang ramah pada kaum minoritas. Wonosobo sebagai kota yang ramah pada kaum Ahmadiyah dan sekte-sekte keagamaan.
Rabu, 24/12/2014 15:50 WIB
Mulya Nurbilkis – detikNews
Jakarta – Wonosobo, Solo dan Jakarta menjadi kota-kota yang ramah pada kaum minoritas. Wonosobo sebagai kota yang ramah pada kaum Ahmadiyah dan sekte-sekte keagamaan. Sementara Solo sebagai kota ramah pada kaum disabilitas.
“Mengikutkan semua sekte dan aliran pada kegiatan yang melibatkan kaum mayoritas yang di tempat lain dilarang. Meski ada SKB 3 Menteri yang melarang Ahmadiyah, tadi dia menerobos,” kata Koordinator Peneliti Abdurrahman Wahid Center, Ahmad Suedy.
Hal itu disampaikannya dalam diskusi Catatan Akhir Tahun 2014: ‘Tatakelola Pemerintahan Inklusif dan Inisiatif Daerah’ di blok G Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (24/12/2014). Diskusi ini dihadiri politisi PDIP Eva Kusuma Sundari dan beberapa PNS Pemprov DKI.
Ia menjelaskan bahwa kemerdekaan para penganut aliran, sekte dan kelompok agama karena kemampuan Kholiq Arif (bupati Wonosobo, red) memimpin.
Penelitian soal kaum minoritas ini dilakukan di 3 kota yakni Wonosobo, Solo dan Jakarta. Di Solo, mereka melihat upaya FX Rudi selaku walikota Solo untuk meramahkan kendaraan umum untuk kaum disabilitas.
Kalau di Jakarta, ia mencontohkan perbaikan PKL Tanah Abang dan relokasi warga Waduk Pluit ke Marunda yang dinilai berhasil. Namun, menurutnya ada banyak kekurangan dari langkah yang dilakukan Jokowi saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI.
“Masalahnya di Tanah Abang jembatan blok G belum kunjung terbangun sampai sekarang. Dan ada kebiasaan kaki lima transaksinya alamiah. Ketika pindah di toko resmi dan tampilannya bersih, tidak ada persiapan kultural dari pedagang dan pemilik gedung sehingga banyak yang tidak siap,” sambungnya.
Politisi PDIP Eva Sundari sendiri mengatakan bahwa para pemimpin daerah tersebut didorong oleh PDIP. Meski begitu, ia mengakui bahwa keberhasilan mereka memberi ruang untuk kaum minoritas karena faktor personal.
“Walaupun secara ideologi PDIP inklusif dan bahkan pada taraf ekstrim melindungi kelompok-kelompok itu, kenapa tidak semua daerah? Saya harus legowo. PDIP memberikan habitat tapi pada inisitif pimpinan daerah,” ucap Eva.
Namun, toleransi tersebut disebut Ahmad terkendali pada sistem hukum dan kemauan politik yang belum maksimal sehingga sangat bergantung pada individu pemimpin daerahnya. Karena itu, ia merekomendasikan agar pemerintah pusat. Membuat langkah-langkah baru yang sistematis dan berkelanjutan yang mendukung pemerintah yang ramah pada kaum minoritas.
(bil/rmd)