[dropcap]F[/dropcap]ENOMENA langka Gerhana Matahari Total (GMT) di Indonesia tahun ini sangat ramai dibicarakan orang, baik di media sosial, televisi maupun lainnya. Wajar, fenomena alam ini hanya terjadi tiap tiga puluh tiga tahun sekali. Di tayangan televisi saya menyaksikan kabar orang-orang juga bersemangat melihat GMT dengan menyiapkan kacamata khusus yang bisa menyaring cahaya matahari, sehingga GMT dapat dinikmati tanpa merusak mata.
Tak mau ketinggalan, kejadian alam luar biasa ini membuat saya bersemangat untuk mengabadikannya melalui hobi memotret saya. Setelah shalat Subuh di hari Rabu, tanggal 9 Maret 2016 pagi, saya memutuskan untuk menyiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk berburu foto GMT.
Awalnya sedikit kebingungan dengan filter lensa yang akan saya gunakan, karena saya tidak memiliki filter khusus yang cukup gelap pekat untuk memotret GMT. Saya teringat masa sekolah dulu saya pernah melihat gerhana sebagian dengan menggunakan lembar hitam pekat pada bagian dalam disket penyimpan data komputer.
Baca juga: [feed url=”http://warta-ahmadiyah.org/tag/gerhana/feed” number=”3″]
Saya teringat pernah menyimpan disket ukuran kecil dari semasa SD. Segera saya membongkar lemari alat tulis dengan harapan disket yang tersisa itu masih tersimpan dengan baik. Saya mendapati dua buah disket 3,5″ koleksi lama saya yang sudah tak terpakai. Tanpa membuang banyak waktu, segera saya mulai membongkar untuk mengambil isi disket yang berwarna hitam pekat.
Lembar hitam pekat tersebut kemudian saya potong menjadi beberapa bagian dan ditempel di kacamata untuk digunakan saya dan adik saya. Saya siapkan juga beberapa potongan isi disket untuk saya tempel di filter kamera Prosumer saya.
Dengan sedikit keterampilan tangan, saya berhasil menutupi seluruh permukaan filter kamera saya dengan beberapa keping isi disket lalu saya pasangkan filter tersebut di ujung lensa kamera saya. Menutup filter dengan potongan isi disket ini cukup tricky, karena sisi-sisi potongannya jika tumpang tindih akan menciptakan garis yang lebih gelap. Sementara jika tidak tertutup sempurna, cahaya matahari akan ‘bocor;’ cahaya akan masuk langsung ke dalam lensa.
Setelah semua siap, saya naik ke atap rumah dengan kamera dan tripod untuk berburu GMT. Bersyukur, atap rumah saya memiliki bidang datar yang dapat saya gunakan untuk memasang tripod dengan stabil dan saya sendiri dapat berdiri dengan aman. Selama hampir 60 menit saya berada di atap rumah untuk mengabadikan proses bulan menutupi matahari ini.
Berbagai shooting mode di kamera saya coba, semula menggunakan Shutter Priority, Aperture Priority dan Manual. Akhirnya saya menemukan setting yang paling tepat adalah di Manual, begitu juga dengan fokus lensa saya atur di modus Manual juga. Hal ini menyebabkan saya harus menemukan fokus lebih dahulu sebelum menekan tombol shutter di kamera. Kamera saya memiliki digital zooming hingga 700mm. Saya memasang zoom hingga kapasitasnya yang paling maksimal. Pada posisi ini, jika kita tidak menggunakan timer, getaran jari ketika menekan tombol shutter akan menyebabkan gambar menjadi blur. Oleh karenanya, memasang timer adalah pilihan terbaik pada saat itu.
Panasnya terik matahari pagi yang terasa di kepala juga menyertai perburuan saya untuk memotret GMT ini. Terlalu lama melihat matahari dapat membuat penglihatan pudar dan keseimbangan badan sedikit terganggu, namun itu semua hanya bersifat sementara. Untuk mengatasi ini, saya menutup kepala saya bersama-sama dengan badan kamera, sehingga tidak langsung terkena sinar matahari dan melihat GMT melalui tampilan layar kamera.
Setelah melihat hasil foto, saya merasa sangat puas. Karena dengan peralatan dan trik sangat sederhana, saya bisa menghasilkan karya. Ide dan kreatifitas tanpa batas akan menembus keterbatasan alat yang kita miliki dalam membuat suatu karya.
Dan juga, saya sangat bersyukur dapat menikmati salah satu kebesaran Allah SWT secara langsung. Karena hanya dengan kehendak-Nya segala sesuatu dapat terjadi di muka bumi ini.
Penulis: Rizka Argadianti R.
Editor: Dikki Shadiq A.