MENTERI Agama Suryadharma Ali kembali mengeluarkan pernyataan tak pantas apalagi diucapkan oleh seorang menteri agama. Pekan lalu, dalam acara dialog antar-umat beragama di Semarang, Jawa Tengah, Suryadharma mengatakan solusi terbaik untuk aliran keagamaan, seperti Ahmadiyah, adalah dibubarkan. Ini untuk kedua kalinya dia memberi pernyataan serupa. Seharusnya, sejak awal Presiden Yudhoyono menegur anak buahnya yang bersikap diskriminatif seperti ini.
Pernyataan itu muncul setelah Suryadharma membuka acara dialog tersebut di Semarang. Dia menuduh kepercayaan atau agama baru sebagai penyebab konflik antar-umat beragama yang belakangan kerap terjadi. Agama yang menyerupai tapi tidak sama dengan agama mayoritas itu, kata Suryadharma, kemudian menyulut kemarahan, terutama umat Islam yang mayoritas.
Sebagai solusi yang paling efektif, Suryadharma mengusulkan pelarangan, seperti di Malaysia. Atau, aliran sejenis Ahmadiyah dianggap sebagai agama yang berbeda dengan Islam, seperti di Pakistan. Ia pun menyarankan agar pelarangan itu dilakukan oleh Kementerian Agama.
Pernyataan Suryadharma ini bertentangan dengan segala hal. Pertama, dengan konstitusi. Pasal 28E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Hak ini juga dijamin dalam Pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Jadi, apa pun alasannya, melalui pernyataan itu, Suryadharma telah melanggar konstitusi. Dengan melarang warga negara-dalam hal ini pemeluk Ahmadiyah-memiliki keyakinan tertentu dan menjalankan ibadah mereka, Suryadharma telah melanggar kedua pasal konstitusi. Sebagai atasan langsung, Presiden seharusnya memberi teguran. Teguran bukan hanya untuk pernyataannya yang terakhir, tapi juga untuk ucapannya yang serupa dua tahun lalu, dalam acara Partai Persatuan Pembangunan di Yogyakarta. Jika Presiden membiarkan saja menterinya yang menabrak konstitusi, ini juga merupakan pelanggaran.
Kedua, dalih pelarangan itu bertentangan dengan akal sehat. Logikanya salah. Sejak zaman Nabi Adam, tak pernah ada pelarangan terhadap keyakinan yang berhasil. Pelarangan, bahkan pembantaian terhadap pemeluknya sekalipun, mungkin menurunkan aktivitas pemeluknya. Tapi keyakinan mereka tak bisa diubah.
Ketiga, pelarangan itu juga bertentangan dengan asas kemanusiaan yang universal. Melarang sebuah agama untuk diyakini karena ada paksaan dari sekelompok orang dari kelompok mayoritas adalah kesewenang-wenangan. Kelompok mayoritas menjadi diktator, memaksakan apa yang mereka mau.
Klaim Suryadharma bahwa sebagian besar pemeluk Islam menentang Ahmadiyah patut pula dipertanyakan. Tapi, benar atau tidak klaim itu, tak ada hak bagi siapa pun untuk melarang orang berkeyakinan. Kita memilih demokrasi sebagai alat “berkomunikasi” bernegara karena, hanya dengan demokrasi, hak-hak kelompok minoritas dilindungi. Jika kelompok mayoritas bisa melarang kehadiran kelompok minoritas, apa gunanya berdemokrasi?
Sumber: Tempo (rilis: 12 November 2013, 01.55 WIB; akses: 15 November 2013, 16.45 WIB)