Kala itu mentari dilangit Flores nampak sungsang menggenapi almanak yang terjatuh di akhir bulan juli 2015. Bias cayanya menyelimuti gelak manis raut-raut anak PAUD Bustanul Ahmadi yang siap tampil dihadapan orang nomor satu di kabupaten Lembata ini.
Sambutan demi sambutan yang merangkai kegiatan kunjungan kerja Bupat Lembata ini telah usai, namun tak ada satupun dari sambutan itu yang menyinggung anak-anak ini. Hingga mataku mulai berkaca-kaca, saat aku dan anak-anak menunggu kapan akan tampil. Aku beserta anak-anak tetap sabar menunggu saat para tamu santap siang. Namun, kekhawatiran ku terus, terus, terus. dan terus membucah. Khawatir mereka tidak bisa tampil di hadapan Bupati. Padahal kami sudah berlatih jauh-jauh hari untuk membuat Pak Bupati terkesan, untuk membuktikan bahwa di sebuah pedalaman Lembata ini juga terdapat anak-anak emas yang begitu mengagumkan.
Tepat tatkala arloji jatuh di angka 12:30. Kami akhirnya diberi kesempatan untuk tampil menghibur Bupati beserta para pejabat yang tengah duduk belunjur menikmati santapan makan siangnya.
Our school
Surrounding by the forest
No door, no window
Even without toys
But we still keep spirit to study
Begitulah larik demi larik keluar dengan derasnya dari mulut seorang siswa PAUD Bustanul Ahmadi, Adnan Alamsyah di selang-seling penampilan kami. Ia nampak begitu percaya diri, tanpa patah, tanpa gugup meski di hadapannya ada orang nomor satu di kabupaten Lembata ini.
Siapa sangka, pentas seni anak-anak yang penuh dengan balutan bahasa inggris membuat Pak Bupati beserta para pejabat yang hampir mengakhiri santap siangnya terperangah sekejap, sebelum riuhan tepuk tangan diberikan kepada kami. Terdengar dari telinga kanan-kiri ku sorak sorai kekaguman dari arah para penonton yang tiada lain adalah para pejabat daerah.
Hingga tibalah giliranku untuk memperkenalkan PAUD Bustanul Ahmadi kepada Pak Bupati. Saat kumulai merangkai kata, suasana begitu tenang. Hanya hembusan angin dari arah pantai yang menempel pada gemuruh, membuat debu-debu di tanah berhamburan layaknya ombak. Mataku yang sedari tadi berkaca-kaca mecahkan risau yang kupendam. Bergemuruhlah kasihku pada anak-anak ini. Hingga tersusunlah kalimat-kalimat yang entah dari mana datangnya:
“ . . . Benar, laut adalah harta, pun hutan dan ladang adalah harta kita. Namun, mata-mata inilah harta kita yang sesungguhnya. Mata-mata inilah yang akan memanjakan kita di hari tua.” Air mataku mengalir deras. Pandanganku tajam ke hadapan Pak Bupati yang perhatiannya tertarik seutuhnya pada kami. “Mata-mata inilah yang akan memimpin kita, memimpin Lembata suatu saat kelak.” Saruku dengan tersedu-sedu.
Saat itu, aku sudah tak mampu lagi berkata-kata. Suasana menjadi hening. Sapuan angin tak kunjung padam. Hanya seng-seng mesjid yang reot termakan karat, yang terus saja berbunyi tak karuan diterpa sapuan angin. Para pejabat yang sedari tadi sibuk dengan sendok dan obrolannya mulai teralih perhatiannya, mengikuti sebuah ritme yang begitu melankoli.
Usai pertunjukan anak-anak PAUD, aku masih saja hanyut dalam luapan emosi yang sungguh menyayat hati, disamping aku juga sangat bahagia anak-anak didikanku dapat tampil maksimal. Saat suamiku terus membesarkan hatiku, seorang pejabat pemerintah mendatangi kami. Tertulis sebuah nama di sebelah kiri atas pakaiannya, Silvester B. Wungbele. Ternyata, ia adalah kepala PU kabupaten Lembata. Ia banyak bertanya tentang kami dan aktivitas kami di kampung ini. Sebuah kalimat yang membuatku dan suami terharu saat ia mengatakan, “Sepanjang kunjungan Bupati, baru kali ini kami menangis. Saya melihat antara guru dan anak-anak begitu dekatnya.”
Kami berbicara banyak hal dengan Pak Silvester. Di saat-saat pembicaraan itu, Pak Bupati dan jajarannya mengajakku untuk bergerak menuju lokasi PAUD yang jaraknya tidak jauh dari tempat acara. Sementara itu, suamiku dan kepala PU itu masih terus saja melanjutkan obrolannya sambil berjalan.
Sesampainya di PAUD, aku dan suami dipersilahkan mendampingi Pak Bupati. Kami pun larut dalam obrolan-obrolan ringan. Karakternya yang santai dan terbuka membuat perbincangan kami begitu seru dan lepas. Akhirnya, dengan penuh simpati Pak Bupati menyampaikan kepada kami dan para jajarannya bahwa untuk PAUD Bustanul Ahmadi ini akan diberikan sumbangan berupa semen 50 sak dan alat-alat permainan edukatif. Aku dan suami pun di gandrungi oleh para pejabat daerah yang ingin bersilaturahmi lebih dekat lagi dengan kami. Bahkan beberapa kepala daerah mengundang kami untuk hadir di kantor-kantor mereka.
Beribu-ribu rawian puji aku labuhkan Kehadirat-Nya. Kehadirat Tuhan, Tuhan yang Maha dahsyat dengan segala kasih & Ihsan-Nya. Yakinku, semata-mata Dia-lah yang telah menghadiahi kebahagiaan dihari ini, kebahagiaan untukku dan anak-anak PAUD Bustanul Ahmadi. (Riyanti)