Sejak dipindah ke Wisma Transito, penganut Ahmadiyah Lombok hidup dalam ketidakjelasan. Sebagian besar mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk menyambung hidup mereka bekerja serabutan, jadi kuli dan tukang ojek.
MATARAM, Indonesia — Pemukiman Wisma Transito di Kelurahan Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) sekilas tampak seperti perkampungan biasa. Tiap rumah kumuh layaknya kos-kosan dengan kamar berderet-deret.
Hal yang membedakan pemukiman itu dengan perkampungan lain adalah pagar yang mengelilinginya. Wisma Transito merupakan tempat penampungan Jemaat Ahmadiyah. Karena berbeda dalam menafsirkan ajaran Islam, kehidupan mereka diintimidasi hingga terpaksa mengungsi dari kampung halaman mereka dan mencari tempat tinggal baru. Mereka menemukannya di Wisma Transito.
Jemaat Ahmadiyah di Transito tinggal di 3 gedung aula yang ada di sana. Dalam satu aula terdapat sekitar 9 bilik sempit yang telah disekat satu sama lain dengan penerangan seadanya.
Tirai untuk menyekat pun beragam. Ada yang menggunakan tripleks, kayu bekas, sarung, kardus bekas, bahkan spanduk untuk kampanye partai politik. Bilik-bilik di penampungan ini rata-rata berukuran 3 x 3 meter persegi. Di dalam ruangan yang kecil ini, tempat tidur dan dapur menjadi satu.
Mengungsi di negeri sendiri
Selasa, 5 Mei 2015, peserta Lokakarya Pers Kampus yang diselenggarakan oleh Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman (SEJUK) mengunjungi Jemaat Ahmadiyah di Wisma Transito. Penulis merupakan bagian dari rombongan ini.
Di sana kami mendengar cerita dari mereka, orang-orang yang sudah hampir 10 tahun harus menjadi pengungsi di negerinya sendiri. Saat kami menginjak turun dari kendaraan nampak anak-anak kecil sedang bermain di halaman depan. Di sudut yang lain beberapa warga asyik mengobrol. Sejurus kemudian Syahidin (49), koordinator pengungsi Jamaah Ahmadiyah datang menyambut dan mempersilakan kami masuk masjid.
Di dalam masjid, Syahidin berbagi pengalaman pilu mengenai kehidupannya sendiri dan kawan-kawannya yang senasib.
“Kami diusir dari rumah oleh saudara sesama muslim sendiri yang terprovokasi. Padahal, sebelum itu tidak terjadi apa-apa. Kami hidup damai berdampingan, sampai akhirnya terjadi peristiwa itu,” kata Syahidin.
Peristiwa yang dimaksud Syahidin terjadi sekitar 1999. Saat itu masjid milik pengikut Jemaat Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat, dibakar masyarakat. Mereka menuntut Jemaat Ahmadiyah keluar dari keyakinannya. Satu orang meninggal dalam peristiwa tersebut.
Di pulau yang berjargon Lombok Pulau Seribu Masjid ini, kasus yang sama terulang lagi 7 tahun kemudian. Pada Februari 2006, Jemaat Ahmadiyah yang bermukim di Ketapang, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat menjadi korban perusakan dan pembakaran rumah.
Peristiwa tahun 2006 ini juga berbuntut pengusiran. Jemaat Ahmadiyah tidak berani kembali ke rumah mereka.
Berakar pada salah paham
Ahmadiyah menafsirkan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat muncul nabi berikutnya sebagai pembaharu. Dialah Mirza Gulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Ini kemudian, membuat sebagian kalangan Islam mengatakan bahwa Ahmadiyah bukanlah Islam.
Namun bagi para pengikutnya, Ahmadiyah tetaplah bagian dari Islam. Tidak ada yang membedakannya dari segi syariat maupun syahadat. Nabi Muhamamad SAW rasul mereka.
“Kitab suci kami pun sama, Al-Quran,” kata Nashirudin, mubalig Ahmadiyah yang saat itu menemani Syahidin.
“Kami sangat menyayangkan kesalahpahaman terhadap ajaran Ahmadiyah. Karena kesalahpahaman itu yang membuat kami menjadi seperti sekarang ini. Hal itu (kesalahpahaman) semakin bertambah pula saat Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa ajaran Ahamadiyah tidak bisa diterima kalangan umat Islam lainnya,” tutur Syahidin.
Sebagai informasi, MUI memang telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa ajaran Ahmadiyah sesat, fatwa yang kerap digunakan sebagai alasan untuk menyerang Ahmadiyah.
Bayang-bayang ketidakjelasan
Sejak dipindah ke Wisma Transito, penganut Ahmadiyah hidup dalam ketidakjelasan. Sebagian besar mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk menyambung hidup mereka bekerja serabutan, seperti menjadi kuli hingga tukang ojek.
“Ini sangat berbeda dengan kondisi saya dulu saat di kampung halaman. Dulu saya memiliki toko yang menjamin penghidupan sehari-hari,” ujar Asisudin (55) salah satu penganut Ahmadiyah.
Sebelum pergantian pemerintahan pada 2014, penganut Ahmadiyah kesulitan mendapatkan layanan publik dari pemerintah, seperti membuat kartu identitas. Namun sejak 2014, akhirnya mereka bisa memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan diakui sebagai warga.
Terkait penyerangan dan perusakan yang pernah dialami Jemaat Ahmadiyah, Syahidin mengaku belum mendapatkan keadilan sepenuhnya.
“Kami sudah melapor, namun sampai saat ini belum ada kejelasan soal proses hukum,” kata Syahidin.
Anak-anak turut menjadi korban
Derita tidak hanya menimpa orang-orang dewasa, tapi juga anak-anak pengikut Ahmadiyah. Seringkali mereka menerima perlakuan diskriminatif, seperti tidak diterima oleh lingkungan teman-temannya, diejek, bahkan dipukul.
Nur Aini Syahidah misalnya, Siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 16 Mataram ini dulu sering dikucilkan ketika duduk di tingkat akhir Sekolah Dasar. Aini bercerita bahwa teman-temannya yang mengetahui bahwa orang tuanya penganut ajaran Ahmadiyah sering mencemooh dirinya.
“Kamu nabinya bukan Muhammad,” kata Aini menirukan ejekan temannya.
Akhirnya ‘transit’ di pemukiman yang terbuka
Terusir dari kampung halamannya, warga Ahmadiyah cukup diterima oleh lingkungan sekitarnya di Kelurahan Majeluk.
“Kami sangat terbuka. Kami juga sering mengundang mereka (penganut Ahmadiyah) saat kita ada acara. Begitu juga sebaliknya,” kata seorang ibu warga Majeluk.
Menurut seorang ibu lainnya, saat kelurahan mengadakan kerja bakti, Jemaat Ahmadiyah Transito juga turut hadir berpartisipasi.
“Perbedaan keyakinan tidak lantas membuat kami tidak saling berinteraksi dengan Jemaat Ahmadiyah itu,” katanya.
Selama 9 tahun menempati Wisma Transito, Jemaat Ahmadiyah juga tidak pernah mengalami gesekan dengan warga sekitar. Hal tersebut ditegaskan oleh Asisudin, salah seorang pengikut Ahmadiyah.
Menurut Asisudin beginilah seharusnya situasi yang ideal. Setiap orang semestinya menerima perbedaan yang ada termasuk dalam persoalan agama.
Masih berharap pada pemerintah
Syahidin mengaku tidak tahu sampai kapan akan ditempatkan di Wisma Transito ini. Namun ia berharap pemerintah lebih memperhatikan lagi nasib mereka.
“Kami ini kan warga Indonesia, namun perlakuan yang kami peroleh selama ini seolah kami ini menumpang di negeri sendiri,” kata Syahidin.
Ahmad Muzakky Al-Hassan aktif di pers mahasiswa di Singaraja, Bali.
Tulisan ini hasil workshop pers kampus yang diselenggarakan Serikat Jurnalisme untuk Keberagaman (SEJUK)
sumber : http://sejuk.org/2015/05/18/terusir-penganut-ahmadiyah-lombok-hidup-menetap-di-pengungsian/
Khalifah ahmadiyahnya saja udah gak peduli dgn nasib penganut ahmadiyah di berbagai negara. khalifah palsu berlindung dan hidup enak di inggris dan gak peduli nasib pengikutnya. ni org gak tobat2 juga ajaran sesat dipertahankan.
Msh mending paus katolik, ketika katolik atw kristen dibantai paus mengecam tindakan itu. bahkan mencoba berusaha menghentikan dgn berbagai cara utk menghentikan. beda khalifah ahmadiyah, muslim dibantai diam, pasukan inggris dibantai malah mengecam. malah khalifah ahmadiyah cuma bilang DAMAI, DAMAI, DAMAI. boro2 peduli muslim dgn nasib pengikut ahmadiyah sendiri, khalifah palsu ahmadiyah ini gak peduli, anehnya penganut ahmadiyah g’ sadar2 juga ditipu khalifah antek inggris ini. segera bertobatlah
Ini jelas pelanggaran HAM dan KBBB yg dibiarkan oleh negara terhadap pelaku intoleransi.
Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok intoleransi tidak akan mengubah keyakinan orang-orang Ahmadiyah, bahkan saya melihat mereka kelompok Ahmadiyah semakin maju dengan proses persekusi yang mereka alami. Hal ini yang tidak disadari oleh kelompok -kelompok intolerans.