Rekomendasi tim gabungan lima lembaga negara itu merupakan hasil penemuan bersama mendapati sejumlah temuan hilangnya hak-hak dasar pengungsi Ahmadiyah.
Merdeka.com – Beginilah nasib pengungsi Ahmadiyah di di asrama Transito, Mataram, Lombok Barat, dan gedung bekas rumah sakit di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menurut laporan gabungan tim advokasi untuk pemulihan hak-hak pengungsi Ahmadiyah. Perempuan dan anak-anak paling rentan tertekan.
Lantaran tidak memiliki akte kelahiran, anak-anak di Transito terganjal saat masuk sekolah. Mereka pun terkena cap buruk, seperti sepuluh siswa Sekolah Dasar Negeri 42 Mataram. Di buku rapor mereka ada tulisan Rapor Anak-anak Ahmadiyah.
Sejumlah anak di pengungsian Transito pada masa awal menerima perlakuan berbeda ketika mendaftar ke sekolah dasar. Mereka diuji membaca Alquran. Tapi syarat tes itu tidak berlaku bagi anak-anak non-Ahmadiyah.
Para perempuan Ahmadiyah juga mengalami penurunan kondisi mental dan kejiwaan. Tidak tahan melihat langsung pembakaran rumah milik mereka, ada yang sampai stres hingga dirawat beberapa hari di rumah sakit jiwa di Mataram. Empat perempuan Ahmadiyah mengaku mengalami kekerasan seksual saat penyerbuan.
Seorang perempuan jamaah Ahmadiyah memiliki gudang pisang dan kelapa di Pasar Bertais, Lombok Barat, tidak bisa berjualan karena ada ancaman gudangnya akan dirusak. Dia kemudian menitipkan usahanya kepada seseorang namun akhirnya ditipu.
“Rekomendasi tim gabungan lima lembaga negara itu merupakan hasil penemuan bersama mendapati sejumlah temuan hilangnya hak-hak dasar pengungsi Ahmadiyah,” kata Ombudsman. Ancaman pemerkosaan dan pelecehan seksual di tempat pengungsian, penyerangan, serta pengusiran berulang terhadap pengungsi.
Selama di pengungsian tidak ada bantuan kesehatan bagi mereka. Perempuan Ahmadiyah menyampaikan mereka tidak memiliki sumber kehidupan layak untuk melanjutkan masa depan. Mereka juga mudah tertekan lantaran kesulitan usaha padahal tuntutan biaya pendidikan anak dan kebutuhan keluarga terus meningkat.