BERTAHUN-tahun menjadi pengungsi, perempuan Ahmadiyah di Nusa Tenggara Barat mengalami banyak perlakuan kekerasan dan diskriminasi. Mereka juga sulit mengakses bantuan pemerintah karena tidak memiliki KTP. Mereka pun kesulitan mengakses bantuan kesehatan karena selalu berhadapan dengan berbagai pertanyaan terkait tempat tinggalnya di pengungsian dan pada akhirnya pertanyaan tentang keyakinannya Ahmadiyah.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, pada peluncuran Laporan Tim Gabungan Advokasi Untuk Pemulihan Hak-Hak Pengungsi Ahmadiyah di NTB, di kantor Ombudsman, Jakarta.
Masruchah menambahkan mereka mengalami pemiskinan karena berulangkali diusir dan kehilangan sumber penghidupan terutama kebun, sawah, rumah dan tempat usaha. Perempuan Ahmadiyah di NTB juga kesulitan memulai usaha yang baru karena tidak ada jaminan keamanan.
Sejak mulai adanya kasus Jamaah Ahmadiyah NTB pada 2006 lalu, Komnas Perempuan terus mendorong pemenuhan tanggung jawab negara dalam perlindungan hak-hak warga negara khususnya perempuan untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Antara lain, melakukan pemantauan kondisi penyerangan, melakukan Laporan Pemantauan tentang Perempuan dan Anak Ahmadiyah Mengalami Diskriminasi Berlapis pada Mei 2008, dan mengintegrasikan laporan kondisi perempuan Ahmadiyah dalam berbagai laporan Komnas Perempuan kepada Pemerintah Indonesia dan publik, serta ke komite HAM PBB di antaranya Laporan ke Komite CERD, Laporan ke Komite CEDAW, laporan Universal Periodic Review (UPR);
Selain itu, menurut Masruchah, Komnas Perempuan pada bulan Desember ini juga akan bertemu dengan Tim Pelapor Khusus yang diketuai oleh Shinta Nuriyah Wahid. Sebelumnya Komnas Perempuan juga telah megadakan pelatihan/ workshopdengan Sekda dan Biro Hukum NTB.
Jamaah Ahmadiyah NTB telah menjadi pengungsi selama 13 tahun. Setidaknya terdapat 9 kali penyerangan dalam skala besar yang telah mereka alami. Penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah NTB yang dianggap terbesar dan banyak diliput media adalah pada tahun 2002. Dari sejumlah pengalaman akan penyerangan tersebut, maka tiap kali mengendus akan adanya serangan, beberapa perempuan memiliki kebiasaan menggali tanah di sekitar rumah mereka dan menguburkan beberapa peralatan rumah tangga mereka. Harapannya ketika serangan dirasa mulai reda, mereka kembali mengambil dan menggunakannya kembali.*[BK]