Donor darah adalah proses pengambilan darah dari seseorang secara sukarela untuk disimpan di bank darah yang kemudian digunakan untuk keperluan transfusi darah. Aktivitas ini memberikan banyak manfaat kepada diri sendiri dan orang yang membutuhkan. Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap maupun komponen darah.
Biasanya donor darah sering dilakukan di kalangan remaja sampai kalangan dewasa. Kebiasaan ini perlu dimulai sejak usia remaja akhir agar terwujud jiwa sosial. Pendonor terkadang hanya menyumbangkan darahnya secara sukarela untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan tanpa mengetahui siapa yang akan menerimanya.
Namun, tidak semua individu dapat menjadi pendonor karena ada beberapa persyaratan dan kriteria tertentu, seperti harus berusia 17-60 tahun, berat badan minimal 45 kg, tekanan darah 100-180 (sistole) dan 60-80 (diastole), menandatangani formulir pendaftaran dan lulus pengujian kondisi berat badan, hemoglobin, golongan darah serta pemeriksaan dokter.
Khusus pada bulan Ramadhan ini, muncul berbagai pertanyaan mengenai boleh dan tidaknya melakukan donor darah saat berpuasa. Berikut penjelasan dari Ahmadiyah.
Suatu kali ada yang bertanya kepada Khalifah Muslim Ahmadiyah Kedua, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra, apakah bagi orang yang puasa melakukan setiap jenis suntikan dilarang? Apakah suntikan yang diberikan dari pemerintah bisa dilakukan terhadap orang yang berpuasa?
Huzur (panggilan penghormataan Khalifah) menjawab, “Ketika Allah Taala memberikan keringanan bahwa seandainya seseorang sakit, maka ia harus berpuasa setelah sehat. Keterpaksaan seperti apa sehingga dapat berpuasa meskipun dalam keadaan sakit. Suntikan diperlukan karena seseorang sakit atau menurut dokter diperlukan suntikan untuk menahan penyakit atau pemerintah memerintahkan suntikan untuk mencegah penyakit dan kesempatan ini tidak akan didapat di kemudian hari. Dalam keadaan demikian, diizinkan untuk berbuka puasa. Jadi, dalam keadaan puasa tidak lagi muncul pertanyaan berkenaan dengan penyuntikan.
Puasa tidak menjadi batal dengan suntikan kulit, misalnya suntikan penyakit cacar. Akan tetapi, puasa menjadi batal karena suntikan interamuscular atau interavenous. Demikian pula, puasa menjadi batal dengan mendonorkan darah.” (Fiqih Ahmadiyah versi bahasa urdu, halaman 299).
Perlu untuk diketahui bahwa suntikan interamuscular merupakan suntik yang jarumnya masuk hingga ke otot, misalnya vaksin Covid-19. Sedangkan suntikan interavenous adalah jenis suntikan yang jarumnya sampai ke pembuluh darah, misalnya obat-obat suntik dan donor darah.
Dalam kesempatan lain, Huzur juga mendapatkan pertanyaa, apakah puasa orang yang mendonorkan darahnya kepada pasien karena kecelakaan menjadi batal?
Huzur menjawab, “Puasa tidak menjadi batal hanya dengan mendonorkan darah. Akan tetapi, dikarenakan melakukan hal demikian timbul kelemahan, maka kita hendaknya berbuka puasa. Karena donor darah terkadang diperlukan untuk menyelamatkan nyawa seseorang dan setelahnya diizinkan untuk puasa serta Allah Taala telah memberikan keringanan ini, maka kita hendaknya mendonorkan darah. Barangsiapa yang mahrum dari mengkhidmati seseorang karena alasan puasa semata, maka dia tidak melakukan suatu kebaikan apapun.” (Fiqih Ahmadiyah versi bahasa urdu, halaman 301).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan disini. Mungkin tampak seolah-olah fatwa pertama dan kedua kontradiktif. Namun perlu diketahui bahwa fatwa pertama diberikan dalam keadaan normal, sedangkan fatwa kedua dalam kondisi darurat atau mendesak, dimana donor darah diperlukan untuk menyelamatkan pasien yang membutuhkan darah.
Perlu diketahui juga bahwa donor darah saat berpuasa dapat meningkatkan risiko seseorang menjadi pingsan. Hal itu terjadi salah satunya karena tubuh kekurangan energi serta asupan makanan dan minuman.
Selain itu, orang yang sedang berpuasa juga sering mengalami dehidrasi alias kekurangan cairan dalam tubuh, karena tidak mendapat asupan cairan dalam waktu yang cukup lama. Padahal, tubuh terus-menerus mengeluarkan dan kehilangan cairan, seperti saat berkeringat, saat buang air kecil hinga buang air besar. Cairan dalam tubuh juga bisa hilang dari pembuluh darah yang kemudian mengganggu sirkulasi darah.
Hal-hal itulah yang kemudian menjadi pemicu tubuh menjadi tidak bertenaga, pusing, hingga meningkatkan risiko pingsan. Saat donor darah, sejumlah besar zat besi dalam tubuh akan hilang. Akibatnya bisa menyebabkan tubuh kekurangan zat besi dan memengaruhi kadar hemoglobin. Kurangnya kadar hemoglobin dalam tubuh bisa menyebabkan organ otak tidak mendapat oksigen yang cukup, dan bisa mengganggu peredaran darah dalam tubuh.
Oleh karena itu, fatwa yang kedua, dimana ada kebutuhan mendesak untuk melakukan donor darah maka Huzur memberikan saran untuk membatalkan puasa karena adanya kelemahan yang ditimbulkan setelah melakukan donor darah. Fatwa kedua diberikan sebagai bentuk kepedulian sosial sesama manusia. Jangan sampai ketika dihadapkan kondisi penting tersebut, kita mahrum untuk membantunya.
Penulis: Maulana Muhammad Talha, Mubalig cabang Lahat Sumatera Selatan.