Tokoh Ahmadiyah yang juga menjabat sebagai Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) terlama, Maulana H. Abdul Basit, Shd., meninggal dunia pada Sabtu (8/10/2022) lalu. Kewafatannya meninggalkan luka yang mendalam bagi warga Ahmadiyah dan juga keluarga yang ditinggalkan.
Semasa hidupnya, pria yang lebih akrab disapa Pak Amir itu pernah berkhidmat sebagai Mubalig Ahmadiyah di berbagai negara Asean, dan terakhir diamanatkan menjadi Amir Nasional JAI. Jabatan Amir yang diembannya berlangsung selama 21 tahun hingga beliau menghembuskan nafas terakhirnya.
Maulana Basit lahir di Bandung pada 16 April 1951. Anak ke-8 dari 11 bersaudara, dari pasangan Maulana Abdul Wahid H.A. dan Raden Taslimah. Sang ayah merupakan Mubalig Markazi (sebutan untuk Mubalig lulusan Jamiah Ahmadiyah di Hidustan) pertama dalam Ahmadiyah yang bukan berasal dari kawasan Hindustan.
Maulana Abdul Wahid juga seorang alumnus Pondok Pesantren Sumatera Tawalib. Karena kecintaannya terhadap Islam, maka setelah menyelesaikan pendidikannya, beliau kemudian mendirikan sekolah setingkat SMA di Tapaktuan, Aceh.
Di tempat itulah Maulana Abdul Wahid bertemu dengan Mubalig Ahmadiyah pertama yang diutus ke wilayah Nusantara (sekarang Indonesia), Maulana Rahmat Ali, H.A.OT. dan ber-baiat masuk ke dalam komunitas Muslim Ahmadiyah tepat pada 25 Desember 1925. Selanjutnya beliau pergi ke Qadian, Hindustan (India), untuk belajar di Jamiah Ahmadiyah dan menjadi Mubalig.
Riwayat Pendidikan dan Masa Kecil
Karena berasal dari keluarga Mubalig, sejak kecil Maulana Basit sangat dekat dengan pendidikan agama. Lalu, beliau mulai masuk ke Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1957 di Yogyakarta, kurang dari satu tahun kemudian pindah ke Tasikmalaya hingga kelas 3 dan menyelesaikan pendidikan SD di Garut.
Pada 1963-1966, Pak Amir kecil melewati masa pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Garut. Selanjutnya, tahun 1966 mulai bersekolah di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Garut, selama tiga tahun hingga lulus.
Pihak keluarga menyampaikan bahwa Maulana Basit sejak kecil memiliki sifat disiplin, selalu berpakaian rapih, tidak suka pakaian yang kusut, paling tampan diantara saudara yang lain, cerdas, hingga tegas. Beliau juga dikenal piawai dalam bidang olahraga, terutama tenis meja.
Di usianya yang ke-5 tahun, sang ayah telah menunjuk Maulana Abdul Basit untuk meneruskan pengkhidmatan sebagai Mubalig. Hal itu disampaikan di hadapan saudara Maulana Basit lainnya.
Diceritakan, seorang adik beliau bernama Abdul Kafi sempat berat hati setelah mendengar wasiat ayahanda itu. Dalam benak Kafi, seorang Mubalig Ahmadiyah harus menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada Khalifah untuk kemudian ditugaskan kemana pun sesuai dengan keperluan yang ada. Kafi ingin Maulana Basit selalu ada di dekatnya, itu didasari atas kecintaannya yang tinggi terhadap kakaknya.
Namun sang ibu, Raden Taslimah, justru mendukung sikap suaminya tersebut. Beliau berprinsip bahwa untuk mewakafkan anak kepada Jemaat (Ahmadiyah) haruslah dipilih sosok anak yang paling pintar diantara saudara yang lain, sehat, dan juga memiliki fisik yang baik.
Tekad Maulana Abdul Wahid untuk mewakafkan putra terbaiknya sebagai Mubalig seringkali diungkapkan, salah satunya kepada para mahasiswa Jamiah Ahmadiyah Rabwah pada tahun 1975, saat beliau berkunjung ke sana.
Menempuh Perguruan Tinggi
Keinginan sang ayah untuk melanjutkan tugas sebagai Mubalig mulai dipenuhi oleh Maulana Basit. Setelah lulus SMA, pada tahun 1972 Pak Amir berangkat ke Rabwah Pakistan untuk melanjutkan pendidikan di Jamiah Ahmadiyah (lembaga pendidikan Mubalig Ahmadiyah setingkat perguruan tinggi). Beliau menceritakan motivasinya bersekolah di sana.
“Awalnya saya ingin membahagiakan orang tua, terutama ayah saya sebagai Mubalig. Saya memiliki 11 orang saudara, dan semuanya sekolah di universitas (umum) di Indonesia. Saya tahu betul keinginan beliau (ayah), mesti ada salah satu anaknya yang melanjutkan pekerjaan beliau sebagai Mubalig,” ungkap Maulana Basit.
Namun seiring berjalannya waktu, setelah datang di Rabwah dan mulai belajar, motivasi tersebut berkembang lebih luas lagi. Maulana Basit benar-benar ingin menyerahkan seluruh kehidupannya untuk menjadi seorang pengkhidmat Islam melalui Ahmadiyah.
Para Mubalig yang pernah belajar satu masa bersama Pak Amir di Jamiah Ahmadiyah Rabwah selalu bercerita mengenai sosok almarhum yang disiplin, tegas dan hobi olahraga tenis meja. Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan keluarga tentang kepribadiannya saat masa kanak-kanak.
Meskipun demikian, beliau juga sosok yang sangat humoris. Sebagaimana yang diceritakan oleh Maulana Fazal Muhammad Mubasyir.
Ketika sampai di Rabwah untuk masuk ke Jamiah, Maulana Basit sudah berada di tingkat akhir pendidikannya. Saat itu, Maulana Fazl disambut oleh almarhum sambil melontarkan candaan.
“Kesan pertama bertemu beliau orangnya rilek, baik sekali dan gak tegang. Ketika beliau pertama kali bertemu dengan saya, beliau tanya dari cabang mana, kenapa mau masuk jamiah menjadi Mubalig, kenapa gak bidang lainnya,” ujar Maulana Fazl.
Tidak sampai di situ, pria asal Tangerang itu juga sangat terkesan karena almarhum menjadi penerjemah ketika Khalifah Ahmadiyah memberinya nama. Hingga setelah almarhum menyelesaikan pendidikan dan hendak pulang, beliau masih sempat menanyakan permintaan apa yang diinginkan Maulana Fazl dari dirinya. Hal itu menggambarkan sifat almarhum yang sangat dekat dan perhatian dengan orang lain.
Selanjutnya Missionary In-charge Jamaat Muslim Ahmadiyah Malaysia, Maulana Ainul Yakin Syahid, juga mengungkapkan bahwa almarhum sangat dikenang oleh juniornya di Jamiah. Terbukti saat beliau telah lulus, namun namanya masih sering disebutkan. Sehingga meskipun Maulana Ainul datang ke Rabwah ketika almarhum sudah lulus, sosoknya seakan sangat familiar dengannya. Di sana almarhum dikenal dengan julukan Kang Basit.
Di Jamiah Ahmadiyah Rabwah, Maulana Abdul Basit pernah menjadi ketua atau pemimpin para mahasiswa asing dari berbagai negara. Saat itu jumlahnya mencapai 50 mahasiswa.
Ketika mahasiswa, almarhum dikenal sosok yang pintar memasak. Hobi masak tersebut juga masih sangat kental hingga beliau bertugas ke lapangan.
Berkhidmat Sebagai Mubalig Ahmadiyah
Delapan tahun belajar di Jamiah Ahmadiyah Rabwah, Maulana Basit akhirnya lulus pada 1980 dan mendapatkan gelar Syahid (Shd). Gelar ini diberikan kepada Mubalig Ahmadiyah yang telah menempuh pendidikan minimal selama 7 tahun, Jika dilihat waktu pendidikannya, gelar ini setingkat Magister.
Maulana Basit kemudian mendapatkan tugas pertama di Sumatera Utara dan Aceh, hingga tahun 1985. Setelah itu mutasi ke Thailand yang juga bertugas menjangkau Malaysia dan Singapura. Di sana almarhum menjabat selama 2 tahun, sejak 1985 sampai dengan 1987.
Dari Thailand, Maulana Basit sempat berkhidmat di negeri asalnya, tepatnya di Jawa Tengah selama satu tahun. Hingga pada 1988 beliau ditugaskan ke Malaysia sebagai Raisutabligh Malaysia sampai tahun 2001.
Maulana Basit sangat dikenang oleh para anggota Ahmadiyah Malaysia. Beliau banyak berkontribusi untuk kemajuan Ahmadiyah di sana. Salah satu warisan yang beliau tinggalkan adalah Masjid Baitussalam di Selangaor. Almarhum berusaha mengumpulkan dana untuk memulai pembangunan tersebut. Hingga saat ini Masjid Baitussalam menjadi pusat (markas) Jamaat Muslim Ahmadiyah Malaysia.
Dalam masa tugas tersebut, Maulana Basit sempat diminta ke London untuk berkhidmat sebagai penerjemah di Indonesia Desk MTA (Muslim Television Ahmadiyah) Internasional, mulai tahun 1996 sampai dengan 1997. Sekembalinya dari London, beliau ditunjuk menjadi In-charge Kursus Mualimin Malaysia hingga tahun 2001.
Ketika bertugas di Malaysia, almarhum juga sempat ditugaskan untuk menjadi penerjemah utama Khalifah Ahmadiyah saat berkunjung ke Indonesia pada tahun 2000. Ketika itu beliau diperintahkan langsung oleh sang Khalifah.
Menjabat Sebagai Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia
Setelah berkhidmat di Malaysia selama kurang lebih 13 tahun, Maulana Basit bertugas di Indonesia dan terpilih sebagai Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam Majelis Syuro tahun 2001.
Sejak saat itu, Maulana Basit mulai menjabat sebagai Amir Nasional JAI menggantikan bapak Lius Ma’ala yang telah berkhidmat sejak tahun 1996-2001.
Selama menjabat sebagai Amir, Maulana Basit selalu berpesan kepada putra-putri Ahmadiyah agar dapat berkontribusi terhadap bangsa Indonesia. Meskipun di sisi lain masa jabatannya terbilang cukup berat karena berbagai ujian kerap kali dialamatkan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia.
Tepat pada 2001, tahun pertama beliau menjabat sebagai Amir Nasional JAI, Ahmadiyah Pancor Lombok Timur mengalami kejadian persekusi. Rumah anggota Ahmadiyah di sana diserang, mereka pun dipaksa pergi dari kampungnya. Kejadian penyerangan serupa terhadap Ahmadiyah terus berlanjut di tahun-tahun berikutnya hingga tahun ini. Seperti penyerangan kantor pusat JAI di Parung, Bogor, pada tahun 2005, persekusi di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada 2011, dan kejadian-kejadian lainnya.
Maka tak mengherankan jika Jurnalis Senior dan Peneliti Human Right Watch, Andreas Harsono, menyebutkan bahwa Maulana Basit memimpin JAI selama 21 tahun dalam masa yang sulit.
Untuk meredam situasi tersebut, almarhum kerap kali memerintahkan kepada anggota Ahmadiyah Indonesia untuk senantiasa mengadakan silaturahmi ke berbagai pihak, di kalangan Ahmadiyah dikenal sebagai Rabtah. Tak cuma memerintahkan, Maulana Basit menjadi sosok panutan dalam kegiatan Rabtah.
Sebagaimana yang telah dilakukan, beliau bersilaturahmi dengan Ketua Umum Nahdlatul Ulama, mendatangi Kantor Staf Presiden, berkunjung ke Pengurus Pusat Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), dan bertemu dengan berbagai pihak lainnya, baik dari kalangan tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun aparat pemerintah.