Jakarta – Sebanyak 22 peserta dari 17 negara yang terdiri dari tokoh komunitas, perwakilan organisasi masyarakat sipil, tokoh agama, pakar, akademisi, wartawan dan praktisi media melakukan kunjungan ke Indonesia.
Mereka tergabung dalam Global Exchange on Religion in Society (GERIS), sebuah program pertukaran Uni Eropa (UE) yang bertujuan menghubungkan peran masyarakat sipil dari seluruh dunia untuk menghasilkan dialog global tentang keberagaman, koeksistensi dan inklusi sosial.
Para peserta tersebut bertemu dengan perwakilan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), diantaranya Juru Bicara Jemaat JAI Yendra Budiana, Ketua AMLA (Ahmadiyya Moeslim Lawyers Association) Indonesia Fitria Sumarni, Sekretaris Umum Perempuan Ahmadiyah Qiqi Farhat Saleh, dan Aktivis Pemuda Ahmadiyah Firdaus Mubarik, di kawasan Jalan Wahid Hasim Jakarta, Kamis (7/7/22).
Sistem Khilafah menjadi topik yang hangat diperbincangkan dalam pertemuan tersebut. Apalagi akhir-akhir ini isu Khilafah kembali diangkat oleh sejumlah media. Selama ini Khilafah Islamiyah seringkali dikaitkan dengan sistem politik. Padahal dalam sejarah dan perjalanannya tidak semua sistem Khilafah berorientasi politik dan kekuasaan. Sebagaimana dengan Khilafah Islam Ahmadiyah yang hanya fokus kepada masalah peningkatan kualitas kerohanian.
Salah seorang peserta Geris yang berasal dari Mesir, Elzahraa ElSayed Ahmed ElSayed ElSabagh, menanyakan perihal persekusi yang dialami oleh JAI dan juga konsep Khilafah Islam Ahmadiyah.
Pertanyaan tersebut langsung ditanggapi oleh Juru Bicara JAI yang menyampaikan bahwa permasalahan persekusi dialami anggota JAI bukan karena permasalahan agama melainkan adanya politisasi agama.
“Terjadinya persekusi terhadap Ahmadiyah bukanlah permasalahan agama tetapi terjadi politisasi agama karena persepsi yang salah tentang Ahmadiyah di Indonesia. Antara Ahmadiyah dengan non-Ahmadiyah atau muslim yang lain jika mengambil definisi apakah Islam atau tidak, melalui pembawaannya yang melihat Nabi Muhammad SAW itu sama, yang meyakini Tuhannya Allah SWT, nabinya Muhammad SAW, kitab sucinya Al-Quran, kemudian Rukun Islam ada 5 dan Rukun Iman ada 6,” jelasnya.
Lebih lanjut Yendra Budian menjelaskan alasan lain mengapa anggota Ahmadiyah seringkali menjadi sasaran persekusi, padahal Muslim Ahmadiyah dan umat muslim lainnya tidak memiliki perbedaan akidah.
“Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Guru Besar Sunan Kalijaga di Yogyakarta, beliau mengatakan bahwa permasalahan Ahmadiyah karena 99% orang Indonesia tidak tahu tentang Ahmadiyah sehingga mudah sekali di politisasi, di aktivasi isu ahmadiyah oleh para kepentingan atas nama kepentingan untuk populis, atas kepentingan untuk politik, atas kepentingan untuk ekonomi, karena isu agama di Indonesia mudah sekali terbakar, mudah sekali dipengaruhi,” ujarnya.
Selain itu Yendra juga mengulas kedudukan Khilafah Islam Ahmadiyah. Dimana akarnya adalah dari kemunculan Imam Mahdi yang telah dijanjikan kedatangannya.
“Kemudian yang kedua, perbedaan khalifah Jemaat Ahmadiyah, Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa di akhir zaman akan datang seorang juru selamat yaitu Imam Mahdi yang dijanjikan. Semua orang Islam percaya bahwa imam Mahdi akan datang sebagai juru selamat, orang Kristen, Buddha, maupun hindu sama meyakini hal itu. Perbedaannya adalah Ahmadiyah meyakini Imam Mahdi sudah datang yaitu sosok pendiri Ahmadiyah, Hadhat Mirza Ghulam Ahmad as, sedangkan yang lain masih menunggu. Khalifah dalam Islam adalah sebagai pemimpin spiritual untuk menegakan moral, etika dan menjadikan manusia sebagai manusia yang diinginkan oleh Tuhan. Kekhalifahan ini tidak membutuhkan teritori kekuasaan. Di Ahmadiyah, tidak perlu ada negara Islam untuk menegakan syariat Islam, untuk menegakan perdamaian, keadilan. Seperti itulah konsep Khalifah dalam Ahmadiyah,” lanjutnya.
Pertanyaan senada berkenan konsep Khilafah dalam Ahmadiyah juga disampaikan seorang peserta Geris dari Bangladesh, Md Al Ifran Hossain Mollah.
Mubalig Ahmadiyah DKI Jakarta Maulana Iskandar Gumay mepertegas kembali penjelasan mengenai Khilafah Islam Ahmadiyah bahwa Khalifah menurut Ahmadiyah hanya mempunyai otoritas dalam domain keagamaan, tidak berpolitik.
“Pemahaman inilah yang kemudian ditentang oleh sebagian besar umat Islam dan dinyatakan (Imam Mahdi) belum datang. Dalam Ahmadiyah setelah sepeninggalan Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as. dilanjutkan oleh para Khalifah. Karena Khilafat dalam pemahaman Ahmadiyah adalah penerus. Hingga sekarang memasuki Khilafah yang kelima, Khilafah yang dibawa bernuansa rohani, dengan tujuan membawa manusia semakin dekat dengan Tuhan, semakin cinta terhadap sesama, semakin membangun peradaban masyarakat dan kasih sayang. Tidak sama sekali memiliki keinginan untuk mendirikan kekuatan politik, negara, teritori maupun memiliki pasukan atau merebut suatu kekuasaan atau menginvasi kekuasaan orang lain. Sama sekali itu tidak ada,” tegasnya.
Menurut Maulana Gumay, konsep Khilafah seperti itu yang menjadikan Ahmadiyah diterima di 224 negara.
“Meskipun di beberapa tempat Ahmadiyah menghadapi persekusi, namun di beberapa tempat lainnya mendapatkan penerimaan yang begitu istimewa seperti di Afrika dengan jumlah Ahmadiyah dalam beberapa dekade puluhan juta, juga di Eropa, Amerika dan lain-lain. Memang di beberapa negara yang berbasis mayoritas Islam, Ahmadiyah menghadapi penentangan. Tetapi dalam faktanya Ahmadiyah tidak pernah dibekukan, tidak pernah dilarang, karena tidak berbasis kepada kepentingan politik. Betul-betul berbasis kepada kepentingan rohani,” pungkasnya.
Kontributor: Qanita Qamarunnisa