Jakarta – Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah (JAI), Yendra Budiana menghadiri acara Buya Syafii Maarif Memorial Lecture yang bertajuk “Pancasila dalam Tindakan: Mengenang Buya Syafii Maarif, Guru Kemanusiaan Penjaga Panggung Kebhinekaan” di Salihara Art Center, Jakarta Selatan, Selasa (05/07/22).
Kegiatan tersebut digelar oleh Maarif Institute bekerjasama dengan Pergerakan Indonesia untuk Semua (PIS) yang didukung oleh Komunitas Salihara dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Republik Indonesia, dalam rangka untuk mengenang 40 hari wafatnya Buya Syafii Maarif sekaligus untuk melanjutkan, menghidupkan dan merawat pemikiran sang guru bangsa.
Hadir dalam acara tersebut juga Wakil Menteri ATR , Raja Juli Antoni yang beberapa kali hadir di acara Jalsah Salana Ahmadiyah Indonesia.
Anggota Dewan Pengarah BPIP/Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. M. Amiin Abdulllah, ketika menyampaikan pidatonya bahwa Buya dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana dan bersahaja. Ia merasakan dan menghayati benar penderitaan rakyat. Ia juga meyakini Islam sebagai pedoman etika dan petunjuk hidup dengan sepenuh hati, namun tanpa kehilangan rasa hormat kepada pemeluk agama lain yang berbeda.
“Pluralis-inklusif, non-diskiriminatif, Cendekiawan- intelektual-ulama berwawasan luas dan terbuka” ujar Amin.
Amin juga menyoroti Buya Ahmad Syafii Maarif dari perspektif bagaimana almarhum menjewatahkan atau menerapkan pandangan hidup seorang Muslim progresif dalam karir hidupnya.
“Muslim Progresif adalah seorang yang beriman/beragama/berislam yang otentik namun penuh semangat patriotic (faithful patriotism) dalam berjuang membela hak-hak kewargaan, kemajemukan, Pancasila, kebhinekaan, toleransi, inklusivitas dan kemanusiaan di tengah hutan belantara keummatan, perpolitikan, keindonesiaan, kebangsaaan dan kenegaraan” ujar Amin
Selanjutnya Amin menyampaikan karakteristik pemikiran muslim progresif-ijtihadis dalam buku Abdullah Saeed, Islamic Though: An Introduction sebagai berikut : (1) mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang pemikiran hukum Islam tradisional memerlukan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Muslim saat ini; (2) mereka cenderung mendukung perlunya fresh ijtihad dan metode baru (al-tajdid al-manhajy) dalam berpikir dan berpandangan keagamaan Islam untuk menjawab permasalahan-permasalahan kontemporer; (3) beberapa diantara mereka mengambil langkah mengkombinasikan kesarjanaan Islam tradisional dengan pemikiran dan Pendidikan Barat modern (4) mereka secara teguh berkeyakinan bahwa perubahan sosial, baik pada ranah intelektual, moral, hukum ekonomi atau teknologi, harus tergambar jelas dan terrefleksikan dalam pemikiran dan pandangan hukum Islam (5) Mereka tidak mengikutkan dirinya terseret dan terjebak pada kubangan dogmatism atau madzhab hukum dan teologi tertentu dalam kajian dan pandangan-pandangan sosial-keagamannya dan (6) mereka meletakkan titik tekan pemikirannya pada keadilan sosial, keadilan gender, HAM, dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim.
“Buya Ahmad Syafii Maarif memenuhi syarat yang dicantumkan oleh Abdullah Saeed. Latar belakang Pendidikan. Baik di tanah air maupun di luar negeri, memenuhi kriteria tersebut. Lebih-lebih lontaran-lontaran pemikiran keislamannya yang disampaikian dalam berbagai kesempatan, baik ceramah, artikel di media, wawancara di televisi maupun buku-buku yang almarhum tulis menjadi saksi dengan sendirinya” lanjutnya
Dalam kegiatan ini perwakilan 4 lembaga menyampaikan sambutannya yaitu Abd. Rohim Ghazali (Maarif Institute), Ade Armando (PIS), Goenawan Mohammad (Komunitas Salihara), dan Yudian Wahyudi (BPIP).
Ketua PIS, Ade Armando, menyampaikan Buya adalah salah satu manusia terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Gagasan dan teladannya sangat penting untuk terus dipelajari, mengingat Indonesia masih sering didera persoalan intoleransi dan ketimpangan sosial.
Pada kesempatan yang sama Komunitas Salihara, Goenawan Muhammad menyampaikan kenangan tentang pertemuannya dengan Syafii Maarif
“saya melihat, Syafii Maarif hidup dalam puasa. Sikap zuhudnya menunjukkan bahwa ibadah puasa bukan cuma ketika Ramadhan — sebuah ritual yang efeknya sementara. Niat berpuasa pada Syafii Maarif adalah kerelaan menjalani transformasi terus menerus ke arah apa yang bisa disebut perjalanan asektis — perjalanan pertapa” ujar Goenawan
“Perjalanan pertapa bukanlah perjalanan menampik hidup, melainkan proses menyatakan rasa syukur bahkan kepada hal-hal yang banal dan sepele” lanjutnya
Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah (JAI), Yendra Budiana menyampaikan pesan kepada generasi muda bangsa Indonesia untuk menjadikan pemikiran-pemikiran dan sikap hidup Buya Syafii Maarif sebagai inspirasi.
“Kepada generasi muda dan generasi bangsa Indonesia, jadikanlah pemikiran-pemikiran Buya Syafii Maarif sebagai inspirasi tapi yang lebih penting adalah perilaku kesederhanaan beliau di dalam segala perilaku kehidupannya, walaupun sudah menjadi orang yang sangat besar beliau tetap menjadi orang yang sangat sederhana” ujar Yendra
“ini selaras dengan apa yang diajarkan dalam islam bahwa sebaik-baiknya manusia adalah orang yang bermanfaat untuk orang lain, dan itu tidak mungkin terjadi jika kita tidak memiliki konsep hidup sederhana sebagaimana juga ditekankan oleh Khalifah Muslim Ahmadiyah didalam 27 tuntutan Tahrik Jadid bahwa seorang Ahmadi harus bisa meneladi Rasulullah SAW salah satunya dari gerakan hidup sederhana sehingga kita bisa bermanfaat dan berbagi untuk seluruh umat manusia”. lanjutnya