Jakarta – Praktik-praktik inklusi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) direkam oleh Setara Institute ke dalam sebuah buku. Buku yang berjudul “Inklusi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Keindonesiaan” itu diharapkan mampu mengikis stigma eksklusivitas yang melekat pada Ahmadiyah.
Berbicara di hadapan para wartawan dalam acara diseminasi dengan awak media pada Kamis (21/4/2022), Juru Bicara JAI, Yendra Budiana mengatakan bahwa Ahmadiyah sangat inklusif dalam interaksi hubungan sosial kemasyarakatan. Namun disisi lain, ia menuturkan jika dalam praktik peribadahan diperlukan adanya eksklusivitas bagi semua pemeluk agama.
“Beragama itu menurut tokoh NU justeru dalam hal ibadah harus eksklusif,” kata Yendra.
“Inklusivitas diimplementasikan dalam hubungan sosial kemasyarakatan,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan oleh salah satu penulis yang juga merupakan peneliti di Setara Institute, Ikhsan Yosarie yang mengungkapkan bila perilaku inklusivitas Ahmadiyah dapat ditemukan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan mereka sehari-hari. Ia menyebut gotong royong menjadi salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan JAI sebagai cerminan sikap inklusif mereka selaras dengan budaya bangsa Indonesia sejak dulu.
“Di tengah tingkat intoleransi yang begitu tinggi mereka masih membuka diri,” ucap Ikhsan.
Interaksi hubungan sosial yang dilakukan Ahmadiyah baik dengan warga masyarakat maupun pemerintah itu bersandar pada motto “Love For All Hatred For None” yang harus diimplementasikan oleh seluruh anggota JAI. Melalui Humanity First (HF) Indonesia, sayap organisasi Ahmadiyah yang banyak bergerak dalam bidang sosial kemanusiaan, Ahmadiyah berkontribusi memastikan bantuan-bantuan harus sampai kepada orang-orang yang membutuhkan.
Sementara itu Sayyidatul Insiyah atau biasa disapa Sisy menuturkan jika di dalam penelitiannya ia kemudian menemukan fakta bahwa kaum perempuan Ahmadiyah yang tergabung dalam Lajnah Imaillah (LI) ternyata adalah calon pendonor mata terbesar di Indonesia, sehingga dapat dikatakan bila inklusi sosial juga terjadi terhadap perempuan, bahkan anak-anak Ahmadiyah.
Ia mengatakan bila organisasi Lajnah Imaillah Indonesia berkontribusi aktif dalam memberikan donasi terhadap korban tsunami Aceh dan juga mengirimkan para dokter ke lokasi bencana.
“Lajnah Imaillah Indonesia sudah cukup inklusi, sudah cukup membaur dengan masyarakat,” kata Sisy.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnasper), Dewi Kanti melihat bahwa gerakan perempuan menjadi salah satu pelopor penggerak perubahan dan perdamaian. Mereka menjadi aktor penting di dalam perilaku inklusivitas Ahmadiyah.
Ia pun menyatakan komunitas Ahmadiyah bisa meretas prasangka dan meretas diskriminasi dengan nilai-nilai kemanusiaan dengan mengembangkan kerja sama yang mampu menembus sekat perbedaan.
“Kawan-kawan JAI memiliki karakter yang humanis dan selalu menyebarkan kasih,” ujar Dewi.
Lebih lanjut, ia berharap buku tersebut mampu membuat masyarakat lebih mengenal dan memahami JAI sebagai bagian dari warga bangsa yang sebetulnya bukan ancaman. Menurut Dewi, Ahmadiyah justeru ikut berkontribusi di dalam merawat keindonesiaan dan nilai-nilai kearifan lokal.