Jakarta – Setara Institute mencatat sebanyak 570 tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) telah terjadi terhadap Ahmadiyah di Indonesia. Jumlah pelanggaran KBB yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) tersebut terjadi selama periode 2007-2020.
Tindak pelanggaran KBB terhadap Ahmadiyah mayoritas terjadi di provinsi Jawa Barat (Jabar). Menurut Setara Institute ada 244 kasus intoleransi dalam kurun waktu 2007- 2017 di berbagai daerah di Jabar.
Bentuk pelanggaran KBB yang sering terjadi terhadap JAI yaitu pelarangan dan pembubaran kegiatan; penyegelan, perusakan, perobohan bahkan pembakaran masjid; penolakan penerbitan e-ktp, pencatatan nikah dan ibadah haji. Hal yang paling menyedihkan ialah adanya perundungan yang terjadi terhadap anak-anak Ahmadiyah baik di lingkungan bermain maupun sekolah.
“Produk-produk hukum yang melakukan pelarangan kepada Ahmadiyah banyak diterbitkan oleh Gubernur, Walikota, dan Bupati,” ungkap Sayyidatul Insiyah saat berbicara pada Kamis(21/4/2022). Sisy, sapaan akrab perempuan tersebut adalah seorang peneliti di Setara Institute yang sekaligus penulis buku “Inklusi Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam Keindonesiaan”.
Kasus-kasus intoleransi yang terjadi, diduga, dipicu akibat adanya sentimen keagamaan yang tinggi di Jabar. Hal itu kemudian diperkuat dengan terbitnya peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif.
“Adanya produk hukum yaitu pergub tentang larangan Ahmadiyah di Jawa Barat yang menjadikan angka intoleransi sangat tinggi,” ujar Ikhsan Yosarie, saat menyampaikan pemaparan di Wisma Rahmat Ali Jakarta Pusat.
Selain itu menurut Ikhsan, menjamurnya kelompok-kelompok Islamis dan rendahnya kesadaran keberagaman menjadi pupuk yang menyebabkan tumbuh suburnya praktik-praktik intoleransi terhadap JAI di Jabar.
Kenaikan tindakan intoleransi terhadap Ahmadiyah pun dipengaruhi oleh keadaan perpolitikan di Indonesia. Nuansa politik identitas yang muncul saat kontestasi dalam Pemilu dan Pilkada disebut-sebut ikut berkontribusi memperburuk tindakan intoleransi dan diskriminasi terhadap JAI.
Menurut Peneliti di Setara Institute tersebut tingginya tindakan pelanggaran KBB yang dialami JAI selama ini juga tak lepas dari ketidaktegasan pemerintah. Maka dari itu, satu harapan Setara Institute kepada pemerintah khususnya Kementerian Dalam Negeri ialah agar mendorong pemerintah daerah untuk mengimplementasikan tata kelola pemerintahan yang mampu memperkuat kebhinekaan dan menghimpun keanekaan latar belakang masyarakat di daerah, termasuk keberagaman identitas agama.
“Pendekatan kamtibmas menjadi legitimasi untuk mengingkari hak-hak konstitusional Ahmadiyah,” ucap Ikhsan.
“Alasannya untuk perlindungan,” imbuhnya.
Berkaitan dengan tindak pelanggaran tersebut Sisy mengatakan agar pemerintah segera mencabut SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah beserta dengan aturan-aturan turunannya. Ia melihat jika SKB 3 Menteri dan turunannya sering kali menjadi dasar pembenaran bagi kelompok-kelompok intoleran untuk mempersekusi Ahmadiyah.
Lebih jauh, ia menegaskan bila diktum SKB tersebut memuat pelarangan tentang penyebaran faham keagamaan, yang menurutnya jelas-jelas bertabrakan dengan konstitusi.
“Diskriminasi dan intoleransi ini seolah dilegal formalkan oleh lembaga negara,” kata Sisy.
“Penyebaran faham keagamaan adalah satu kesatuan dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan,” tegasnya.
Ia pun mengharapkan seluruh elemen masyarakat agar terus gencar membangun ruang-ruang perjumpaan dan dialog lintas iman, sehingga masyarakat dapat saling memahami dan dapat menepis serta mengikis stigma yang telah melekat pada kelompok-kelompok keagamaan marjinal, termasuk Ahmadiyah.
Pada kesempatan yang sama Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana mengatakan bahwa buku tersebut terbilang berani karena isinya mengungkapkan hal senstif tentang tindakan pelanggaran KBB yang dialami oleh Ahmadiyah selama ini.
“Hal paling menarik adalah buku ini berani memetakan hal-hal yang sensitif terkait persekusi yang terjadi terhadap Ahmadiyah,” tutur Yendra.