Jakarta – Evaluasi dan pencabutan kebijakan diskriminatif dinilai perlu segera dilakukan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD. Tuntutan tersebut disampaikan langsung oleh Koalisi Tim Advokasi untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dalam audiensi di Kantor Kemenko Polhukam RI pada Rabu (5/1/2022).
Kebijakan diskriminatif yang dimaksud ialah turunan Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, termasuk SKB 2 Menteri 2006 tentang Pendirian Rumah Ibadah dan SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah.
Pada pertemuan tersebut, Andreas Harsono dari Human Rights Watch (HRW) mengatakan, kasus intoleransi terhadap kelompok minoritas meningkat.
“Secara statistik, kita melihat bahwa perundungan, intimidasi, serta kekerasan terhadap minoritas agama naik sejak Bakorpakem dipindahkan dari Kementerian Agama ke Kejaksaan Negeri pada 2004,” kata Andreas.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, rentang tahun 2004-2014, sebanyak 125 orang dipenjara karena PNPS 1965. Terdapat kenaikan hingga 1.250 persen per dasawarsa dibanding empat dekade sebelumnya. Angka tersebut tidak menunjukkan adanya penurunan hingga kini, termasuk kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat sejak pemerintahan SBY membuat SKB anti-Ahmadiyah pada 2008. Atas dasar itu, Koalisi Tim Advokasi untuk KBB meminta pemerintah mencabut PNPS 1965.
“Bila pemerintahan Joko Widodo belum mampu mengeluarkan modal politik buat hapus PNPS 1965, termasuk SKB anti-Ahmadiyah dan SKB anti-Millah Abraham, minimal lakukan moratorium,” tegas Andreas.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa betapa pun peliknya urusan agama, kita semua harus berpegang pada janji-janji kemerdekaan Agustus 1945 dimana para pendiri bangsa ini sepakat menjamin kesetaraan warga negara.
“Kami mohon hindari ambil langkah yang akan makin menjauhkan negara-bangsa ini dari UUD 1945,” jelasnya.
Selaras dengan itu, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menambahkan, negara harus berani mencabut kebijakan yang bersifat diskriminatif.
“Selain moratorium PNPS dan pencabutan SKB 2008, kami juga berharap pemerintah tidak perlu khawatir bahwa mencabut SKB 2008 akan menimbulkan potensi anarkisme masyarakat,” ujarnya.
Ismail menilai, masyarakat mengandalkan fatwa MUI tahun 2005 dan tidak ada aspek perlindungan dari diktum keempat dan kelima SKB.
Berkaca dari peristiwa pembubaran salah satu ormas, meski tidak 100 persen apple-to-apple, pembubaran ormas tersebut pun tidak melahirkan gerakan anarkisme. Selain tidak terdaftar sebagai ormas resmi, terhambatnya pembubaran ormas tersebut didasari kekhawatiran akan potensi anarkisme, yang pada akhirnya pemerintah berhasil meredam potensi anarkisme ini.
“Maka, yang dibutuhkan adalah ketegasan dan keberanian pemerintah. Pemerintah tidak perlu khawatir dengan potensi anarkisme. Saya yakin pemerintah punya power besar untuk mencegah anarkisme itu,” imbuh Ismail.
Terkait perlindungan terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) apabila SKB dicabut, Ismail menilai KUHP dan UU cukup untuk melindungi Ahmadiyah dari potensi anarkisme.