TASIKMALAYA – Jemaat Ahmadiyah Tasikmalaya hadiri diskursus terfokus “Waspada SARA Jelang Pilkada Tasikmalaya” pada Minggu, 15 November 2020. Bertempat di Hotel Grand Metro Tasikmalaya, kegiatan tersebut diselenggarakan Forum Bhinneka Tunggal Ika (FBTI) Tasikmalaya.
Berangkat dari kegelisahan atas polemik politik yang masih memainkan identitas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) jelang Pilkada Tasikmalaya 2020, FBTI merasa perlu memupuk solidaritas dan rasa waspada.
Semuanya tampak nyata ketika pemilihan tinggal satu bulan saja, publik dikejutkan oleh baliho SKB 3 Menteri dan tindak diskriminasi terhadap Ahmadiyah Singaparna. Peristiwa-peristiwa tersebut memunculkan tanya, mengapa kontestasi politik selalu diwarnai isu SARA?
Dr. Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PBNU menuturkan bahwa sepanjang sejarah politik Indonesia hampir semua kontestasi politik tidak dapat terlepas dari isu agama. “Karena Indonesia dikenal sebagai bangsa beragama. Sehingga agama dipandang sebagai hal terbaik untuk menarik jumlah suara. Tak jarang ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan kontestasi politik seakan-akan pilihan ini seperti pilihan antara surga dan neraka.”
Selaras dengan hal tersebut, PP Muhammadiyah sekaligus Peneliti LIPI Prof. Ahmad Najib Burhani PhD menuturkan, polemik pemilihan yang singkat memiliki waktu panjang untuk memulihkan diri bagi golongan agama yang terkena dampak langsung.
“Menariknya, meskipun isu agama tidak dapat lepas dari kampanye politik, di beberapa tempat isu SARA justru bukan langkah efektif untuk mengumpulkan suara,” tuturnya.
Kerap terjadi segregasi yang memecah masyarakat, menghadiahi Tasikmalaya sebagai kota paling intoleran dan menjadi perhatian nasional. Banyak orang yang tidak bisa hidup berdampingan, sehingga melahirkan ortodoksi untuk menyingkirkan saja mereka yang berbeda.
Asep Rijal Asy’ari, Ketua Forum Bhinneka Tunggal Ika (FBTI) menegaskan bahwa SARA bukan lagi sesuatu yang harus ditakuti sehingga perlu dipertentangkan lagi. Menebar kebencian SARA termasuk kejahatan luar biasa dan jelas harus diperangi.
Peristiwa-peristiwa intoleran jelas mengundang tanda tanya besar, apa tidak ada cara efektif mencegah intoleransi? Najib Burhani menguraikan temuannya, “Sedikitnya ada dua pola yang terjadi, yakni kolektif toleran dan kolektif intoleran. Dimana terjadinya kolektif intoleran didasari karena elit politik menjalin hubungan dengan kelompok radikal islamis dan melakukan konsolidasi.”
Menyikapi itu, Asep Rijal menaruh harapan besar kepada mereka yang menyalonkan diri tahun ini, “Siapapun yang nantinya menang, kelompok yang dianggap minoritas (meskipun bagi saya tidak ada minoritas-mayoritas dalam membicarakan Indonesia) harus tetap menjadi perhatian.”
Kontributor: Jihan