pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kepolisian DIY ke sejumlah pelaku aksi intoleransi yang menabrak hukum.
“DILIHAT perkembangannya, mereka dulu giat menyerang minoritas dalam Islam, seperti Syiah dan Ahmadiyah, tapi sekarang sudah menyasar nonmuslim,” ujarnya.
TEMPO.CO, Yogyakarta – Merebaknya aksi intoleran yang menggunakan kekerasan merupakan sinyalemen kelompok muslim berpaham agama eksklusif semakin artikulatif dalam menyuarakan gagasannya. Hal itu diungkapkan sosiolog dan peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada, Najib Azca.
Dia mengatakan pentingnya tindakan tegas pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kepolisian DIY ke sejumlah pelaku aksi intoleran yang menabrak hukum. Bahkan, menurut dia, penanganan kasus tidak cukup dalam bentuk penindakan hukum dan kecaman.
“Pernyataan tegas sultan dan polisi harus lebih ekspresif agar ada pesan kuat bahwa DIY bukan tempat kelompok intoleran yang bertindak semaunya,” kata pemilik disertasi yang telah dibukukan berjudul After Jihad: A Biographical Approach to Passionate Politics in Indonesia ini pada Ahad, 1 Juni 2014.
Dia menduga ada kristalisasi pertentangan antara pendukung toleransi dengan kelompok-kelompok eksklusif yang merasa perlu tampil secara ekspresif. “Dilihat perkembangannya, mereka dulu giat menyerang minoritas dalam Islam, seperti Syiah dan Ahmadiyah, tapi sekarang sudah menyasar nonmuslim,” ujarnya. (Baca juga: Umat Katolik di Sleman Diserang Kelompok Bergamis).
Dalam situasi seperti ini, Najib menganggap penting adanya kerja sama antara pemerintah daerah, kepolisian, dan organisasi massa Islam moderat dengan pengikut mayoritas, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, untuk membendung gelombang intoleransi. Dia bependapat, selain penindakan tegas kepada semua pelanggar hukum, perlu ada dialog untuk membangun rekonsiliasi dengan kelompok-kelompok berpaham keras.
“Tentu yang dibutuhkan bukan acara dialog seremonial, tapi upaya mengajak kelompok-kelompok ini berdialog secara informal dan menyasar pengikutnya yang ada di level bawah, bukan elitenya saja,” tuturnya.
Dia mengatakan sebenarnya potensi konflik beraroma intoleransi di DIY sudah ada sejak lama. Dalam risetnya, dia menemukan banyak eksmujahid Poso dan Ambon membangun komunitas di Yogyakarta pasca-2000-an.
“Tapi mereka terpolarisasi dalam banyak kelompok dan memiliki ekspresi paham agama yang keras berbeda-beda. Ada yang sekadar eksklusif tapi juga ada yang menganggap aksi keluar komunitasnya penting,” katanya.
Mengingat beragamnya karakter kelompok muslim konservatif dan eksklusif di DIY, Najib menilai pendekatan secara dialogis ke semua kelompok segara dilakukan. Alasannya, ujar dia, ekspresi keagamaan yang keras sangat mungkin bermetamorfosis, tergantung konteks sosial dan politik lokal atau nasional yang mempengaruhinya.
“Konsolidasi dialog dengan kelompok radikal di level bawah sangat penting. Mereka harus ditarik masuk ke pergaulan sosial dan diajak bersedia menghormati hak warga negara lain,” kata Najib.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM