SEPERTI diketahui, setelah sempat memunculkan polemik soal frasa ‘membuat jera’ sekte-sekte seperti Ahmadiyah dan Syiah, Gerindra kembali dikritik terkait manifesto perjuangan di bidang agama. Pasalnya, partai besutan Prabowo Subianto itu menyuarakan negara wajib menjamin ‘kemurnian agama’.
Merdeka.com – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah tudingan perihal wacana ‘kemurnian agama’ dalam manifesto perjuangan partainya yang disebut-sebut bakal menghancurkan kesatuan Indonesia. Menurutnya, wacana itu sudah dipelintir sedemikian rupa.
“Jadi ini memang banyak simpang siur. Kami tidak pernah membuat suatu pernyataan resmi soal itu. Kalau semangat manifesto kebetulan saya yang menyusun tahun 2008. Kita mengakui, bahwa setiap agama dan keyakinan itu dijamin oleh UUD atau konstitusi. Kita ini negara plural, kalau Gerindra menghargai kebinekaan sehingga agama dan keyakinan harus diakui dan harus dijamin soal kebebasan menjalankannya,” kata Fadli di kantor DPP Gerindra, Jakarta, Rabu (30/1).
Dia menjelaskan, dalam manifesto itu memang disebut negara menjamin kemurnian agama yang diakui dari bentuk penistaan. Namun, kata Fadli, hal itu hanya ditujukan bagi mereka yang meresahkan masyarakat lewat agama.
Bila ada tudingan yang menyatakan manifesto itu bakal menghancurkan beberapa agama yang sudah dicampur dengan kebudayaan, Fadli berkukuh bahwa anggapan itu salah.
“Itu sebenarnya sangat normatif, setiap agama berhak dan dilindungi termasuk kepercayaan lokal. Kita bermaksud kalau ada yang meresahkan masyarakat seperti ada yang mengaku nabi, atau mengaku sebagai Tuhan dan membuat masyarakat resah. Ini yang menurut kami negara perlu menegakkan aturan agama, sehingga kebebasan menjalankan agama tidak bermasalah,” jelasnya.
“(Wacana kemurnian agama) itu banyak yang dipelintir,” tambahnya lagi.
Ketika disinggung lebih jauh soal pandangan Gerindra terhadap Ahmadiyah, loyalis Prabowo Subianto ini enggan berkomentar panjang. Menurutnya, untuk hal itu harus didiskusikan kepada lembaga agama terkait.
“Setiap agama selalu ada perbedaan keyakinan. Dalam hal ahmadiyah harus didialogkan, pimpinan komunitas Islam seperti NU, Muhammadiyah dan MUI harus berdialog jangan menggunakan kekerasan. Kami yakin akan ada solusi,” terangnya.
Seperti diketahui, setelah sempat memunculkan polemik soal frasa ‘membuat jera’ sekte-sekte seperti Ahmadiyah dan Syiah, Gerindra kembali dikritik terkait manifesto perjuangan di bidang agama. Pasalnya, partai besutan Prabowo Subianto itu menyuarakan negara wajib menjamin ‘kemurnian agama’.
“Setiap orang berhak atas kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/kepercayaan. Namun, pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.”
Kutipan di atas tercantum dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerindra halaman 40 yang dikutip merdeka.com dari situs resmi partai, Rabu (23/4).
Dosen Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi, menilai ‘kemurnian agama’ merupakan indikasi pergeseran menuju fasisme. “Ini terjadi ketika kemerdekaan agama dipinggirkan atas nama pemurnian agama dan hal itu akan terinkorporasi dalam elemen hegemoni negara,” ujar dia.