“Nous avons besoin d’appeler un chat un chat”
Pepatah Prancis di atas menjadi pembuka jawaban Iffat Aulia Ahmad atas sebuah pertanyaan seputar konsep Khilafat menurut Ahmadiyah. Dilafalkan dengan langgam Prancis yang sangat fasih, sontak membuat 18 orang dari Human Right Working Group (HRWG) terkesima dan menarik sepenuhnya perhatian ke arah narasumber ketiga ini.
Merupakan satu anugerah bagi Jemaat Ahmadiyah di DKI Jakarta kedatangan tamu-tamu dari HRWG kemarin siang. Mereka datang untuk belajar Ahmadiyah langsung dari sumbernya.
Hal ini disambut gembira dan semangat oleh Tim Da’i Ibukota. Segala macam rangkaian persiapan diatur. Alat-alat penunjang kegiatan dipersiapkan. Konsep acara yang menarik dibuat. Tujuannya hanya satu, para tamu yang datang jadi tahu dan paham seperti apa Ahmadiyah.
Sebelum Mubaligh Daerah DKI menyampaikan pengantar singkatnya, sebuah video berdurasi 10 menit diputar. Judulnya, setelah diberikan subtitle “Khilafah Islam Sejati”.
Video ini seolah membuka cakrawala baru bagi ke-18 orang ini tentang Ahmadiyah. Video yang berisi perjalanan Huzur keliling ke negeri Barat untuk mempromosikan Islam yang damai, Islam yang penuh kasih sayang, seperti memberi secercah sinar kebenaran di tengah gelapnya stigma yang melekat tentang Ahmadiyah dalam pikiran mereka.
Ke-18 orang dari HRWG ini larut menyelami setiap detik video tersebut. Wajah-wajah takjud dan kagum terlukis sekelebat. Video 10 menit tadi seolah membuka tabir yang terang benderang tentang Ahmadiyah bahwa Ahmadiyah adalah bagian dari Islam dan tengah berjuang menegakkan nama lain dari Islam, yakni “Kedamaian”.
Berakhirnya pemutaran video. Suasana terlihat lengang. Ruang Rapat Gedung Rahmat Ali Jakarta Pusat makin terasa dingin. Semilir udara dari AC di beberapa titik semakin menenteramkan tanda tanya besar yang sedari tadi menggunung di kepala mereka.
Bapak Mubaligh Daerah (Mubda) DKI, Mln. Iskandar Gumay menyampaikan setelahnya bahwa berbicara tentang Ahmadiyah adalah berbicara tentang persatuan. Berbicara tentang keadilan. Berbicara tentang cinta dan kasih sayang.
Bapak Mubda DKI meneruskan, “Alhamdulillah dengan karunia Allah, pada tahun ini Jemaat Ahmadiyah telah tersebar di 213 negera. Dimana tahun lalu “dua satu dua” negara.
“Joke colongan” 212 tadi rupanya memecah suasana menjadi lebih santai dan rileks. Sesuai dengan fitrah para peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa dan aktivis NGO.
Mubaligh yang lama bertugas di Kalimantan Barat ini menyampaikan juga bahwa kami meyakini, cara yang kami tempuh adalah cara yang mendatangkan Ridho Tuhan. Sebab, pada tahun ini lebih dari 660 ribu orang masuk ke dalam Ahmadiyah.
Session tanya jawab dimulai. Kamis siang itu, pada 22 Agustus 2019 kemarin, setelah kaki ke-18 orang tadi akhirnya berhenti di Jalan Balikpapan, menjadi saksi nyata bahwa selalu ada saja orang-orang yang ingin mencari seperti apa itu kebenaran.
Pertanyaan pembuka datang dari Rinto Leanardo. Pertanyaannya cukup mengagetkan Pak Mubda DKI. Sebagai baru pertanyaan pembuka sudah membahas masalah kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as.
Untuk di Indonesia, pertanyaan seputar kenabian Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad as cukup menjebak. Pasalnya, kalau dijawab “Ya” tentu akan menyinggung sensitivitas yang telah terbentuk lama tentang tertutup pintu kenabian pasca Nabi Muhammad saw.
Kalau dijawab “tidak”, tentu ini bukanlah jawaban yang berdasar pada teologi Ahmadiyah itu sendiri.
Namun, Mln. Iskandar Gumay terlihat sangat lihai dalam memecah kebekuan soal diskursus kenabian yang amat sensitif ini. Beliau menjawab, ketika ditanya posisi Mirza Ghulam Ahmad nabi atau tidak, saya jawab bisa ya bisa juga tidak.
Kenapa seperti itu? Beliau melanjutkan. Ini bergantung pada pemahaman anda mengenai definisi nabi itu sendiri. Kalau yang anda pahami bahwa nabi selalu membawa agama baru, membawa kitab baru, maka jawaban kami Mirza Ghulam Ahmad itu bukan nama dalam versi anda.
Jika anda memahami bahwa nabi tidak selalunya membawa agama baru, membawa kita baru, maka Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dalam corak itu.
Mubaligh yang baru 6 tahun bertugas di Ibukota ini memberikan contoh. Contohnya seperti Nabi Musa as dan Nabi Harun as. Kedua Nabi tersebut hidup dalam satu zaman, siapa yang membawa agama dan kitab? Tentu Nabi Musa as. Sedang Nabi Harun as adalah yang membantu dan meneruskan syari’at yang dibawa oleh Nabi Musa as.
Pertanyaan pembuka tadi dilanjutkan dengan rentetan pertanyaan yang banyak di belakangnya. Hingga slot waktu yang harusnya berakhir jam 4 sore harus ditambah setengah jam lagi. Padahal, dialog tersebut telah dimajukan beberapa menit lebih awal.
Anggi Dwi Utami adalah satu di antara para penanya. Ia terlihat terus menyangga dagu dengan tangan kanannya. Pandangannya tajam. Fokus mencengkeram setiap tangkai kata yang keluar dari mulut para narasumber dari balik kacamatanya yang bundar. Ia nampak seperti kehausan. Tanda tanya besar seperti meliputi setiap jengkal keingin-tahuannya.
Pertanyaan yang mengemuka sebenarnya yang biasa dipertanyaan oleh orang. Cuma yang menarik adalah beberapa peserta visiting HRWG bertanya seputar pandangan Ahmadiyah seputar Ateisme, LGBT, juga Aborsi. Tak hanya itu, di penghujung acara, seorang peserta bertanya apa pandangan Ahmadiyah atas sebuah peristiwa yang sedang ramai dibicarakan, yaitu tentang kasus Ustad Abdul Somad.
Bapak Fazle Mujib, Da’I dari Lenteng Agung begitu piawai menjawab isu-isu terkini soal Ateisme, LGBT dan Aborsi. Dengan langgam “Pakistani” yang tak mungkin hilang dari lidahnya, ia memaparkan pandangan Ahmadiyah seputar tema-tema kekinian tersebut.
Visiting kedua para peserta dari HRWG ini yang pada akhirnya mereka memilih untuk bergumul dengan masalah-masalah teologi yang rumit, membuat kopi di tangan kanan, juga pastel di tangan kiri tak mampu berbuat banyak atas kantuk dan lelah yang mulai menyerang.
Beberapa dari peserta sudah mulai menjamah smartphonenya. Seolah mereka butuh semacam ice-breaking untuk memecah kekakuan bahasan teologis ini.
Bapak Mubda DKI lagi-lagi menunjukkan kepiawaiannya dalam mem-breaking kejumudan suasana. Ketika sedang membahas sumbangsih Ahmadiyah untuk negeri ini, ada satu “joke colongan” yang beliau ciptakan.
Beliau bercerita bahwa untuk menolong sesama, Jemaat Ahmadiyah rela melepaskan jubah ke-Ahmadiyah-annya, semata-mata demi kemanusian.
Suatu kali saya pernah mendonorkan darah saya kepada seseorang, beliau bercerita. Ahmadiyah punya sebuah aplikasi yang bernama “give blood”, tujuannya adalah mempertemukan antara orang yang membutuhkan darah dengan si pendonor darah.
Tak lama berselang, rupanya baru ketahuan orang yang membutuhkan darah saya adalah anggota FPI. Dalam hati saya berujar, ya gak apa-apa, sekarang telah mengalir darah orang Ahmadiyah yang halal dalam tubuhnya.
Sontak. Hal ini memecah suasana yang tengah kritis menjelang penghujung acara.
Seorang narasumber cukup menyita perhatian para peserta dialog. Ia adalah Iffat Aulia Ahmad. Seorang khadim yang tengah kursus Bahasa Prancis. Bahan bacaannya adalah yang serba Prancis. Bahkan tak jarang kalimat-kalimat yang dominan “ikhfa”-nya ia sertakan sebagai penguat.
Contohnya adalah ini: “Nous avons besoin d’appeler un chat un chat” (artinya: kita harus menyebut seekor kucing sebagai seekor kucing)
Tak hanya saat menjawab seputar masalah Khilafat yang “njelimet”. Ia juga sempat menghadirkan Jean Paul Sartre tentang teori filsafatnya tentang “eksistensialisme” untuk menjawab pertanyaan seputar masalah LGBT.
Hal ini membuat seorang peserta yang duduk di barisan depan bersama para narasumber berbisik pelan kepada moderator, itu siapa namanya? Umur berapa? Banyak sekali bahasa yang dia kuasai?
Rasa kagum diliputi ketidak-percayaan seperti menghantui Rinto Leonardo, pemuda asal Padang, Sumatera Barat ini. Bahkan, pertanyaan yang sama diulang untuk kedua kalinya kepada moderator.
Wajah-wajah penuh kepuasaan menyelimuti setiap orang yang hadir di Gedung Rahmat Ali ini. Baik itu peserta dialog dengan para Da’I yang memberikan jawaban juga yang menyimak.
Semata-mata dengan karunia Allah Ta’ala jalannya dialog dengan HRWG berjalan dengan lancar.
Peserta dengan tanpa segan menyampaikan keinginannya untuk melanjutkan diskusi menarik ini di masa mendatang dan hal ini diamini oleh panitia.
Kontributor : Mln. Muhammad Nurdin