Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan ada 5 isu penting di bidang agama yang saat ini jadi perhatian pemerintah.
Hingga tahun 80-an misalnya, masyarakat yang berbeda afiliasi organisasi keagamaan saja bisa berujung pada pembangunan tempat ibadah yang berbeda walaupun mereka tinggal di lingkungan yang sama. Contoh musala Muhammadiyah atau langgar NU, hingga masjid Ahmadiyah.
Pewarta: Novi Abdi
Balikpapan (ANTARA News) – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan ada 5 isu penting di bidang agama yang saat ini jadi perhatian pemerintah. Isu-isu ini penting karena menyangkut kelangsungan hajat hidup orang banyak.
“Pertama tentang posisi penganut agama di luar agama yang diakui pemerintah,” papar Menteri Syaifudin di Balikpapan, Minggu (24/11).
Para penganut agama selain Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu, berharap keyakinan mereka juga bisa disebutkan di dalam kartu tanda penduduk (KTP), akta kelahiran, buku nikah, dan lain-lain dokumen yang mencantumkan kolom agama.
Lebih jauh, mereka juga ingin praktik-praktik ritualnya mendapat tempat sewajarnya di tengah masyarakat.
Kedua adalah pendirian rumah ibadah dan tempat ibadah. Menurut Menteri Syaifudin, sampai hari ini pendirian tempat ibadah selalu memiliki potensi konflik, baik di kalangan para pengikut sesama agama maupun antarumat beragama.
Hingga tahun 80-an misalnya, masyarakat yang berbeda afiliasi organisasi keagamaan saja bisa berujung pada pembangunan tempat ibadah yang berbeda walaupun mereka tinggal di lingkungan yang sama. Contoh musala Muhammadiyah atau langgar NU, hingga masjid Ahmadiyah.
Ketiga, Menteri Agama juga melihat banyaknya muncul gerakan keagamaan baru, yang semakin lama semakin menunjukkan grafik peningkatan seiring dengan semakin terbukanya masyarakat karena informasi global.
“Keempat itu kekerasan antarumat beragama, terutama terhadap kelompok minoritas,” sebut Menteri Syaifudin. Ia juga menambahkan, sebutan mayoritas dan minoritas tidak hanya berdasar wilayah geografis tertentu, tapi bisa hingga dalam ruang lingkup organisasi atau kelompok tertentu. Seseorang yang bekerja pada sebuah perusahaan yang pemiliknya atau mayoritas karyawan lainnya beragama berbeda, juga bisa rawan mendapatkan perlakuan kekerasan, baik secara fisik maupun psikis.
Hal kelima, menurut Menteri, adalah penafsiran keagamaan yang sempit yang kemudian mengancam kelompok agama yang memiliki tafsir berbeda. Penafsiran sempit ini bisa mengancam toleransi, malah sampai pada aksi kekerasan, baik kepada antarumat beragama, maupun antara sesama penganut agama yang sama.
Menteri mencontohkan, bahwa ada kelompok yang memahami jihad sebagai perang terhadap musuh-musuh yang memiliki keyakinan berbeda atau yang mendukung musuh berkeyakinan berbeda itu.
“Padahal, berperang di jalan Allah, hanya satu hal dari jihad. Setiap usaha yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Allah adalah jihad,” tegas Menteri.
Editor: B Kunto Wibisono
_
Dikutip di tempat lain: Liputan6.com; Indonesia Times.