Intelektual muda NU, Zuhairi Misrawi, yang akrab disapa Gus Mis, tiba di lokasi Jalsah Hari Khilafat Wilayah DKI Jakarta tak lama berselang setelah Bapak Amir Nasional memimpin sesi kedua.
Ia duduk di barisan paling depan. Lesehan, berbaur dengan para peserta. Padahal, kursi tamu undangan telah disediakan. Ia mengikuti jalannya acara dengan khidmat.
Gus Mis bukan simpatisan baru Ahmadiyah. Ia telah berteman lama dengan Jemaat. Kiprahnya dalam membela hak-hak warga Jemaat sudah tak terhitung.
Sebelum Bapak Amir Nasional menyampaikan pidato penutup, Gus Mis dipersilahkan menyampaikan satu dua patah kata. Kata Bapak Amir, cuma 10 menit yah Gus. Tapi, karena tamu undangan yang satunya tidak hadir, pimpinan sidang memberikan dispensasi 5 menit tambahan.
Dalam sambutannya, pria kelahiran Madura ini menyampaikan bahwa ia dan Mas Iqbal (tamu undangan kedua) sebenarnya punya acara yang sama pada hari minggu ini, tapi ia lebih mendahulukan Ahmadiyah.
Seisi Masjid Al-Hidayah, Kebayoran, yang telah disesaki oleh seribuan orang sontak terdengar riuh. Wajah-wajah yang terlihat lemas menunggu beduk maghrib tetiba segar kembali.
Gus Mis menyampaikan, “Konsep Khilafat Ahmadiyah benar-benar baru, benar-benar otentik. Di dalamnya tidak ada sama sekali nuansa politik kekuasaan. “
Ia melanjutkan, Khilafat Ahmadiyah adalah Khilafat Cinta, love For all hatred for none. Karena yang dibangun oleh Khilafat Ahmadiyah adalah ajaran cinta.
Ia mencontohkan, cinta kepada sesama, cinta kepada musuh, dan cinta kepada orang yang berbeda keyakinan.
Gus Mis adalah non-Ahmadi yang paling banyak tahu tentang seluk-beluk Ahmadiyah dari A sampai Z. Tak terhitung sudah berapa banyak buku Ahmadiyah yang ia lahap. Sudah berapa banyak kegiatan-kegiatan Jemaat yang ia hadiri.
Bahkan, dalam kesempatan lain, ia suka berguyon, saya sebenarnya sembilan puluh sembilan persen Ahmadiyah, tinggal satu persen lagi.
Gus Mis menyampaikan bahwa salah satu akhlak RasuluLlah saw adalah berbicaranya pelan. Itulah mengapa, katanya, orang-orang Madinah berbondong-bondong masuk Islam.
“Pernah gak Huzur (Khalifah-e-Waqt) saat berbicara volumenya dinaikkan?“ tanyanya. Para peserta sontak menjawab, tidak.
“Dulu ketika RasuluLlah datang, orang-orang Arab ngomongnya kayak orang Papua sama Madura. Sateee..”, guyon khas santri Madura ini akhirnya dikeluarkan. Suasana pun menjadi makin riuh. Tapi ia belum selesai.
Gus Mis berkeyakinan, jika orang berbicara tidak ditentukan oleh volume ia berbicara, tetapi suara yang lahir dari batin, kecintaan ia terhadap umat, Khilafat Ahmadiyah ini akan terus tersebar. Ini sudah menjadi gerakan yang tidak terbendung lagi.
“Nareee takbir.. (Allahu Akbar)
Nareee takbir… (Allahu Akbar)
Khilafat – e- Ahmadiyah… (Zindahbad)
Khilafat – e- Ahmadiyah… (Zindahbad)”
“Nare Takbir” menggema di setiap sudut masjid. Sahut-sahutan para peserta mengalun keras, tegas dan penuh emosi.
Tentu, keyakinan semacam itu telah ada bahkan ketika para sahabat awalin ditinggal pergi Hadhrat Masih Mau’ud as. Saat itu Jemaat Ahmadiyah masih seperti bayi yang baru lahir. Lemah, rapuh, tak berdaya dari sisi dunia.
Orang-orang dengan nada mengejek mengatakan, setelah kepergian Mirza Ghulam Ahmad Jemaatnya akan musnah.
Tapi keyakinan bahwa Khilafat setelah kenabian Hadhrat Masih Mau’ud as akan terus berlangsung hingga hari kiamat terus hadir sampai kini.
Kudratnya senantiasa menampakkan tanda-tanda agung nan luhur, bahwa di belakang Khilafat ini ada Tangan Tuhan yang bekerja.
Jika seorang Zuhairi Misrawi saja bisa memiliki keyakinan seperti itu, bagaimana dengan kita, setiap Ahmadi yang benar-benar tengah berada di bawah naungan Khilafat?
Bahkan, untuk hal ini Gus Mis sampai mengatakan, “Jemaat (Ahmadiyah) tak perlu takut, tak perlu bersedih, laa tahzan.” (abu sayyal)