Jakarta– Seminar Nasional yang diselenggarakan di UIN Jakarta mengungkap perspektif baru mengenai Khilafat Islam Ahmadiyah, bukan sebagai sistem politik.
Khilafat Islam Ahmadiyah disebut sebagai kepemimpinan spiritual yang berfokus pada hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horizontal antarmanusia.
Konsep ini dianggap relevan dalam menjawab tantangan perdamaian dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Seminar yang digelar di Teater H.A.R. Partosentono ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting, termasuk Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Mln. Mirajuddin Sahid, dan Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Prof. Ismatu Ropi, pada 29 Mei 2024.
Prof. Ismatu Ropi, dalam sambutannya, menegaskan urgensi kepemimpinan rohani dalam memelihara kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Sementara itu, Mln. Mirajuddin Sahid memaparkan pandangan mengenai peran Khilafat dalam menegakkan ajaran Islam yang sarat dengan nilai-nilai cinta dan perdamaian.
Khilfat Islam Ahmadiyah Adalah Ekspresi Cinta dan Rohani
KH. Taslim Slim Syahlan, salah satu pembicara, menekankan bahwa Khilafat Ahmadiyah adalah “ekspresi khilafat cinta” yang mengedepankan nilai-nilai ubudiyah dan kesetaraan sosial.
“Khilafat Ahmadiyah sangat menekankan ubudiyah kita kepada Allah SWT dan menjaga hubungan sosial tanpa ada kesenjangan antara yang miskin dan yang kaya,” ungkapnya.
Dia menjelaskan relevansi Khilafat Ahmadiyah di era modern ini. KH. Taslim menekankan bahwa Khilafat Ahmadiyah bukanlah kepemimpinan yang berorientasi pada politik praktis, melainkan lebih fokus pada dimensi vertikal dan horizontal kehidupan.
“Ini bukan khilafat berbasis politik praktis tetapi khilafat ruhani atau ekspresi khilafat cinta,” tambahnya.
Pandangan ini sejalan dengan Mubaligh Ahmadiyah, Mln. Rahmat Hidayatullah yang melihat Khilafat Ahmadiyah sebagai alternatif bagi masyarakat yang cenderung terjebak dalam politik praktis, dengan fokus pada akhlak dan kerohanian.
Khilafat Islam Ahmadiyah bukan Model Khilafat Konvensional
Prof. Amin Nurdin, dalam analisisnya, membandingkan Khilafat Ahmadiyah dengan model khilafat konvensional.
Ia menyoroti bahwa Khilafat Ahmadiyah merupakan antitesis dari sistem politik yang seringkali dikaitkan dengan konflik dan perebutan kekuasaan.
Sebaliknya, kepemimpinan spiritual ini mengedepankan cinta dan perdamaian sebagai landasan utama dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis.
“Khilafat Ahmadiyah merupakan antitesis dari sistem politik khilafat yang kita dengar selama ini. Ini adalah salah satu cara terbaik untuk menegakkan ajaran Islam di tengah masyarakat karena intinya adalah cinta dan perdamaian,” jelasnya.
Seminar ini juga menyinggung sejarah peradaban Islam, khususnya transisi dari Kekhalifahan Umayyah ke Abbasiyah yang menghasilkan kemajuan signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan budaya.
Prof. Amin Nurdin melihat hal ini sebagai bukti bahwa kepemimpinan yang berfokus pada pengembangan intelektual dan spiritual dapat membawa dampak positif bagi masyarakat.
Sebagai penutup, Prof. Amin Nurdin mengucapkan selamat memperingati hari Khilafat Ahmadiyah yang ke-116.
“Selamat dan semoga tujuan utama dari khilafat, yaitu memberikan cinta kepada seluruh umat manusia, bisa terwujudkan,” ucapnya dengan penuh harap.