Niat merupakan hal yang sangat penting dalam setiap amalan, terlebih berkenaan dengan ibadah. Islam mengajarkan bahwa baik buruknya amalan tergantung kepada niatnya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Rasulullah SAW:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap perbuatan (hanya sah) dengan niat dan setiap orang akan mendapatkan imbalan sesuai dengan niatnya”. (HR Bukhari Muslim).
Dalam riwayat lain, Nabi Suci SAW juga menyiratkan bahwa Allah Ta’ala hanya akan memberikan ganjaran amalan hamba-Nya berdasarkan niat yang dimilikinya. Bukan dari tampilan luar yang umumnya terlihat oleh manusia.
إِنَّ الله لا يَنْظُرُ إِلى أَجْسامِكْم، وَلا إِلى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
“Allah tidak memandang seseorang berdasarkan kondisi fisik dan rupanya. Melainkan kepada hatinya.” (HR Muslim).
Selaras dengan itu, niat dalam berpuasa juga tidak boleh ditinggalkan. Terkadang kita lengah, padahal berniat sebelum puasa merupakan hal yang sangat fundamental.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang belum berniat (untuk puasa) di malam hari sebelum terbitnya fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Jami’ at-Tirmidzi, Kitab as-Saum).
Memperkuat pentingnya niat dalam berpuasa, Khalifah Muslim Ahmadiyah kedua, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra menjelaskan:
“Untuk berpuasa, niat sangat diperlukan. Tanpanya, tidak ada pahala. Niat berasal dari hati. Seseorang diperbolehkan untuk makan dan minum sampai mereka melihat cahaya dari ufuk timur. Jika seseorang mengambil tindakan pencegahan dan kemudian diberitahu bahwa fajar telah terbit, puasanya akan tetap ada. Rentang waktu antara makan dan salat Subuh bagi Nabi Suci SAW sama dengan waktu yang dihabiskan untuk membaca 50 ayat.” (Al Fazl, 28 Juli 1914).