Pada tahun keempat sesudah Hijrah, dua suku Arab, suku Adi dan Qarah, mengirim delegasi kepada Rasulullah s.a.w. untuk mengatakan bahwa orang-orang mereka cenderung kepada Islam. Mereka mengajukan permintaan kepada Rasulullah s.a.w. supaya mengirim kepada mereka beberapa orang yang mahir dalam ajaran Islam untuk tinggal di antara mereka dan mengajar mereka Agama Baru itu. Sesungguhnya hal itu tipu muslihat yang dilancarkan oleh Banu Lahyan musuh besar Islam. Mereka mengirim delegasi itu kepada Rasulullah s.a.w. dengan menjanjikan upah besar. Rasulullah s.a.w. menerima permintaan itu tanpa curiga dan mengirim sepuluh orang Muslim guna mengajar suku-suku itu dasar-dasar dan asas-asas Islam. Ketika tim itu tiba di daerah Banu Lahyan, pengawal mereka menyuruh orang menyampaikan berita kepada orang-orang sesukunya dan meminta supaya menangkap atau membunuh mereka. Atas anjuran jahat itu, dua ratus orang bersenjata dari Banu Lahyan berangkat mengejar rombongan Muslim itu dan akhirnya dapat menyusul di tempat bernama Raji. Suatu pertempuran terjadi antara sepuluh orang Muslim dan dua ratus orang musuh. Orang-orang Muslim itu sarat (penuh) dengan keimanan. Musuh tak berkepercayaan apa-apa. Sepuluh orang Muslim itu memanjat suatu ketinggian dan menantang dua ratus musuh itu. Musuh mencoba menundukkan orang-orang Muslim itu dengan tipuan yang kotor.
Mereka menawarkan keselamatan asalkan mereka itu mau turun. Tetapi, kepala rombongan itu menjawab bahwa mereka telah cukup melihat janji-janji yang dibuat oleh orang-orang kufar. Sambil berkata demikian mereka menghadapkan muka kepada Tuhan dan mendoa. Tuhan mengetahui benar akan keadaan mereka. Apakah tidak selayaknya Tuhan memberitahukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w.? Ketika orang-orang kufar melihat bahwa rombongan Muslim yang kecil itu keras hati, mereka melancarkan serangan. Rombongan itu berkelahi tanpa maksud menyerah. Tujuh dari sepuluh orang jatuh dan syahid. Kepada tiga orang selebihnya menawarkan lagi keselamatan dengan syarat harus turun dari puncak bukit itu. Tiga orang itu mempercayainya dan menyerah. Segera sesudah menyerahkan diri, mereka diikat. Seorang di antara mereka bertiga berkata, “Inilah pelanggaran pertama dari janjimu. Hanya Tuhan Yang mengetahui apa yang kamu perbuat berikutnya.” Dengan berkata demikian ia menolak ikut mereka. Kaum kufar mulai menganiaya korban mereka dan meghelanya di sepanjang jalan. Tetapi mereka begitu kagum oleh perlawanan dan tekad bulat orang yang satu ini sehingga mereka membunuhnya di tempat itu juga. Dua orang lainnya mereka bawa, dan kemudian mereka jual sebagai budak kepada kaum Quraisy Mekkah. Seorang di antaranya bernama Khubaib. Yang lainnya lagi Zaid. Pembeli Khubaib ingin membunuhnya sebagai pembalasan atas kematian bapak orang itu di Badar. Pada suatu hari Khubaib meminjam pisau cukur untuk membersihkan mukanya. Khubaib sedang memegang pisau cukur itu, ketika seorang anak dari keluarga itu mendekatinya karena ingin tahunya. Khubaib mengangkat anak itu dan memangkunya. Ibu anak itu melihat peristiwa itu dan sangat terkejut. Pikiran yang penuh dengan perasaan bersalah dan sekarang orang yang beberapa hari lagi akan mereka bunuh itu memegang pisau cukur sangat dekat dengan anak mereka. Wanita itu yakin bahwa Khubaib akan membunuh anaknya. Khubaib melihat rasa takut dan khawatir pada wajah wanita itu, lalu berkata, “Nyonya menyangka aku akan membunuh anakmu. Janganlah berpikir sejauh itu barang sejenak pun. Aku sama sekali tak mungkin berbuat sekotor itu. Orang-orang Muslim tidak pernah berbuat curang.” Wanita itu sangat terkesan oleh sikap dan perilaku yang jujur Khubaib itu. Ia senantiasa ingat akan hal itu dan ia sering berkata tak pernah melihat seorang tawanan seperti Khubaib. Akhirnya, Khubaib dibawa oleh orang orang Mekkah kesebuah lapangan terbuka untuk merayakan pembantaian di muka umum. Ketika saat yang ditetapkan telah tiba, Khubaib meminta izin untuk melakukan sembahyang dua rakaat. Orang-orang Quraisy mengabulkan dan Khubaib melakukan sembahyangnya kepada Tuhan bumi ini di muka umum. Ketika ia usai sembahyang, ia mengatakan bahwa ia masih ingin meneruskan tetapi tak mau berbuat demikian, khawatir jangan-jangan mereka akan menyangka bahwa ia takut mati. Maka dengan tenang ia menyerahkan lehernya kepada algojo. Sementara berbuat demikian ia mendendangkan sajak:
“Sementara aku mati sebagai orang Muslim, tak kuhiraukan badanku yang tak berkepala akan rebah ke kanan atau ke kiri. Dan mengapa harus aku hirau? Kematianku adalah di jalan Allah; jika Dia menghendaki, Dia dapat memberkati tiap-tiap bagian badanku yang tak beranggota lagi” (Bukhari).
Baru saja Khubaib usai menyenandungkan sajaknya, pedang algojo jatuh mengenai lehernya dan kepalanya pun jatuh ke arah lain. Di antara mereka yang berkumpul untuk merayakan pembantaian di muka umum itu termasuk seorang bernama Sa’id bin Amr yang kemudian masuk Islam. Konon,kapan pun pembunuhan Khubaib diceriterakan di muka Sa’id, ia jatuh pingsan (Hisyam).
Tawanan yang kedua, Zaid, juga dibawa keluar untuk dibunuh. Di antara penonton hadir juga Abu Sufyan, seorang pemimpin Mekkah. Abu Sufyan menengok ke Zaid dan bertanya, “Tidakkah kamu lebih suka Muhammad menggantimu? Tidakkah kamu lebih suka diam di rumah dengan sentosa dan Muhammad ada di tangan kami?”
Zaid menjawab dengan gagah, “Apa, Abu Sufyan? Apa yang kau katakan? Demi Allah aku lebih suka mati dari pada Rasulullah tertusuk duri di lorong Medinah.” Abu Sufyan tak boleh tidak jadi terkesan oleh kesetiaan yang demikian. Zaid dipandangnya dengan heran dan Abu Sufyan menyatakan tanpa ragu-ragu, tetapi dengan suara tertahan, “Demi Allah, aku belum pernah melihat seseorang mencintai orang lain seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad” (Hisyam, jilid 2).
Kira-kira waktu itu beberapa orang Najd juga menjumpai Rasulullah s.a.w. untuk minta orang-orang Muslim mengajar agama Islam kepada mereka. Rasulullah s.a.w. tidak percaya kepada mereka. Tetapi Abu Bara’, pemimpin suku ‘Amir kebetulan ada di Medinah. Ia menawarkan diri menjadi jaminan untuk suku itu dan meyakinkan Rasulullah s.a.w. bahwa mereka itu tidak akan berlaku jahat. Rasulullah s.a.w. memilih tujuh puluh orang Hafiz Qur’an. Ketika rombongan ini mencapai Bi’r Mauna, seorang di antara mereka, Haraam bin Malhan, pergi kepada pemimpin suku ‘Amir (kemenakan Bara’) untuk menyampaikan tabligh Islam.
Pada lahirnya Haraam diterima baik oleh anggota-anggota suku itu. Tetapi ketika ia sedang berbicara kepada pemimpin suku, seorang laki-laki menyelinap dari belakang dan menyerang Haraam dengan tusukan sebilah tombak. Haraam syahid di tempat itu juga. Ketika tombak itu menembus leher Haraam, kedengaran ia berseru “Allahu Akbar. Tuhan Ka’bah menjadi saksi, aku telah mencapai tujuanku” (Bukhari).
Setelah membunuh Haraam dengan cara yang keji itu, pemimpin-pemimpin suku menghasut agar sukunya menyerang guru-guru Islam selebihnya. “Tetapi,” kata anggota-anggota suku itu, “ketua kami, Abu Bakar telah bertindak sebagai penjamin; kita tak dapat menyerang rombongan itu.” Lantas para pemimpin suku, dengan bantuan dua suku yang telah pergi menghadap Rasulullah s.a.w. untuk meminta guru-guru Islam, dan beberapa suku lainnya menyerang rombongan Muslim itu. Imbauan sederhana, “Kami datang untuk bertabligh dan mengajar, bukan untuk bertempur”, tak memberi kesan apapun. Mereka mulai membunuhi rombongan itu. Semuanya, kecuali tiga orang dari ketujuh puluh orang, syahid. Seorang dari antara yang selamat itu orang cacat dan telah mendaki sebuah bukit sebelum perkelahian mulai. Dua lainnya telah pergi ke hutan untuk memberi unta mereka makan. Sepulang dari hutan mereka jumpai enam puluh enam kawan mereka telah syahid di medan. Dua orang itu berunding.
Salah seorang berkata, “Kita harus segera melaporkan peristiwa ini kepada Rasulullah s.a.w.”
Tetapi yang kedua berkata, “Aku tak dapat meninggalkan tempat ini, tempat pemimpin rombongan kita, yang ditunjuk oleh Rasulullah s.a.w. sebagai pemimpin kita, telah terbunuh.” Dengan berkata demikian ia melompat dan menyerbu kaum kufar seorang diri dan gugur. Yang lainnya tertawan, tetapi kemudian dibebaskan sesuai dengan sumpah yang telah dikatakan oleh kepala suku itu. Dalam rombongan yang syahid itu termasuk juga ‘Amir bin Fuhaira, orang merdeka bekas budak Abu Bakar. Pembunuhnya bernama Jabbar yang kemudian menjadi Muslim. Jabbar mengatakan bahwa bai’atnya itu disebabkan oleh pembantaian besar-besaran orang-orang Muslim itu.
“Ketika aku mulai membunuh ‘Amir,” kata Jabbar, “Kudengar ‘Amir berkata, “Demi Allah aku telah mencapai tujuanku. “Kutanya ‘Amir mengapa seorang Muslim mengatakan perkataan semacam itu jika menemui ajalnya. ‘Amir menerangkan bahwa orang-orang Muslim memandang mati di jalan Allah sebagai rahmat dan kemenangan. Jabbar begitu terkesan oleh jawaban itu sehingga ia mulai mempelajari Islam secara sistematis dan akhirnya masuk Islam (Hisyam dan Usud-al Ghaba).
Berita mengenai dua peristiwa menyedihkan itu, saat kira-kira delapan puluh Muslim menemui ajal sebagai akibat tipu muslihat jahat, tiba di Mekkah bersama-sama. Mereka yang menjadi korban pembunuhan itu bukan orang-orang biasa. Mereka itu pengemban ajaran Al-Qur’an. Mereka tak melakukan kejahatan dan tidak menyakiti siapa pun. Mereka tak pernah ikut serta dalam pertempuran. Mereka telah dipancing ke tangan musuh dengan dusta dan tipu-muslihat atas nama Tuhan dan agama. Kenyataan-kenyataan itu membuktikan dengan gamblang bahwa permusuhan terhadap Islam itu tegas dan mendalam. Sebaliknya, gelora semangat orang-orang Muslim untuk menunjang Islam tegas dan mendalam pula.
(Dikutip dari buku “Riwayat Hidup Rasulullah”, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra, Hal 81-86)