Peneliti Senior Indonesia di Human Rights Watch, Andreas Harsono memandang Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 Nomor -8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat menyuburkan praktik diskriminasi terhadap minoritas di Indonesia.
“dengan mendirikan forum kerukunan umat beragama, saya memandang prinsipnya mayoritas mempunyai hak veto terhadap minoritas” ujar Andreas
FKUB dibentuk berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor : 9 Tahun 2006 Nomor -8 Tahun 2006, yang memberikan kewenangan konsultatif dan hak veto terhadap kebijakan pemerintah daerah dalam hal keberagaman dan kerukunan beragama. Menurut Andreas, struktur kepengurusan FKUB yang seharusnya mewakili semua umat beragama diatur berdasarkan sistem proporsional. Artinya kelompok mayoritas di daerah tersebut mendominasi kepengurusan.
Komposisi FKUB mencerminkan persentase agama di setiap daerah, dan oleh sebab itu memberikan kepada agama mayoritas di setiap daerah—seperti umat Muslim di barat Indonesia termasuk Jawa dan Sumatra, Hindu di Bali, dan Kristen di Indonesia timur—kekuasaan untuk mengizinkan atau menolak izin pembangunan rumah ibadah agama minoritas. Banyak dari FKUB ini telah memiliki sejarah buruk dalam memfasilitasi diskriminasi. Penelitian Human Rights Watch pada 2013 menunjukan bahwa FKUB juga menambah peminggiran sosial dan politis terhadap minoritas Muslim macam Syiah dan Ahmadiyah, yang tak pernah dimasukkan dalam keanggotaan FKUB.
Selain Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini, sebelumnya Andreas juga menyebut pasal penodaan agama yang ditetapkan di era Sukarno melalui PNPS Nomor 1 tahun 1965, sebagai dasar hukum yang merugikan minoritas di Indonesia. Kedua aturan ini harus ditinjau bersama dengan semua aturan turunannya.