Siaran Pers– Proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 telah melewati tahap pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden dan penetapan nomor urut peserta Pemilihan Presiden yang menghasilkan: Nomor urut 1: Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, nomor urut 2: Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan nomor urut 3: Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Kontestasi Pemilu 2024 dipastikan akan semakin massif ketika memasuki tahap masa kampanye Pemilu yang berlangsung dari 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024.
Pada tahap tersebut, segenap elemen bangsa perlu mengambil peran guna memastikan Pemilu 2024 yang damai dan sejuk, serta mengantisipasi potensi-potensi terjadinya pembelahan atau polarisasi masyarakat yang mengakibatkan disintegrasi bangsa sebagai dampak politisasi identitas dalam kampanye politik.
Politisasi identitas melahirkan situasi sosio-kultural yang intoleran dan diskriminatif. Politisasi identitas menempatkan kelompok minoritas dalam kerentanan (vulnerability).
Data longitudinal SETARA Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan (KBB) pada 2007-2022 menunjukkan bahwa politisasi identitas dalam Pemilu atau Pilkada kerap menjadi pemicu terjadinya intoleransi dan pelanggaran atas KBB. Bahkan, ketika upaya untuk menangani satu persoalan intoleransi dan pelanggaran KBB menemui titik terang, politisasi identitas kembali mengacaukannya.
Salah satu upaya untuk mencegah daya rusak politisasi identitas dalam Pemilu 2024, kaum muda dan masyarakat pada umumnya mesti memiliki kapasitas mengenai bagaimana mencegah dan menangani politisasi identitas yang terjadi. Dalam kerangka tersebut, SETARA Institute bekerjasama dengan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) kembali menyelenggarakan Roadshow ke-4 dengan mengunjungi Kota Sukabumi dalam rangka peningkatan kapasitas dalam mencegah dan menangani politisasi identitas jelang Pemilu 2024.
Sebelumnya 3 kota sudah dikunjungi, yakni Jakarta (11-12 Juli 2023), Bandung (26-27 Agustus 2023), dan Salatiga (9-10 September 2023).
Menurut Kandali Achmad Lubis, Pengurus Umur Kharijiah PB JAI, ”pelatihan ini penting dilakukan bukan hanya untuk membekali pengetahuan dan kapasitas anak-anak muda mengenai politisasi identitas dan dampaknya, tetapi juga mendorong anak-anak muda untuk aktif mengambil peran dalam memastikan Pemilu 2024 yang damai dan berkualitas. Selain itu, pelatihan ini juga diharapkan semakin mengokohkan bahwa anak-anak muda bukan objek politik, tetapi sebagai subjek dalam politik itu sendiri”.
“Pelatihan ini mengambil momentum penting dalam kontestasi Pemilu 2024 mendatang, terutama bagi kalangan muda mengingat generasi muda akan semakin menjadi primadona pada hajatan elektoral nanti. Anak-anak muda perlu semakin kritis dan berkontribusi secara konstruktif pada upaya pemelihara solidaritas dan pencegah terjadinya dinamika destruktif terkait Pemilu, sekaligus pegiat advokasi jika terjadi politisasi identitas. Pada ujungnya, anak-anak muda berdiri kokoh sebagai subjek dari politik dan kontestasi elektoral, sehingga juga memicu para pasangan calon (Presiden dan Wapres) untuk menertibkan simpatisan/ pendukungnya agar tidak melakukan kampanye-kampanye yang menurunkan kualitas demokrasi” jelas Ikhsan Yosarie, Koordinator program roadshow peningkatan kapasitas masyarakat sipil ini.
Sama seperti kota-kota sebelumnya, peserta dalam setiap pelatihan ini adalah elemen muda masyarakat sipil setempat dengan rentang usia 17-25 tahun yang berasal dari beragam latar belakang yang berbeda, baik dari identitas agama dan kepercayaan, hingga berasal dari beragam elemen mahasiswa, media, serta aktivis keberagaman. Kegiatan ini memiliki 2 (dua) tujuan, yaitu: (1) Konsolidasi masyarakat sipil untuk membangun langkah bersama dalam memitigasi politisasi identitas; dan (2) Penguatan kapasitas masyarakat sipil, terutama anak muda, agar dapat memiliki daya, upaya, dan kontribusi dalam membangun ekosistem sosial-politik yang harmonis.
Melalui kepesertaan yang diisi anak muda, melalui kegiatan ini diharapkan agar anak-anak muda juga mengambil peran dalam menjaga inklusifitas di daerahnya masing-masing, termasuk daerah Sukabumi (Kabupaten) yang sebelumnya juga memiliki catatan yang kontraproduktif dengan upaya menjaga keberagaman dan inklusifitas melalui penghentiaan seluruh aktivitas Komunitas Muslim Ahmadiyah, termasuk pembangunan sarana dan fasilitas Ahmadiyah di Parakansalak, Kabupaten Sukabumi. Semestinya seluruh pihak, baik aktor negara maupun nonnegara, tidak menyediakan ruang dan peluang terjadinya intoleransi dan persekusi terhadap kelompok minoritas..
Narahubung:
Ikhsan Yosarie, SETARA Institute
Ahmad Masihudin, Jemaat Ahmadiyah Indonesia