Cideng, (15/8). “Hari itu memang ada yang berbeda. Biasanya begitu bangun tidur Saya langsung nyalakan kompor. Tapi pagi itu Saya duduk dulu di kursi. Mendadak jantung ini berdebar, terasa deg-degan seperti akan terjadi sesuatu. Namun rasa ini tidak Saya hiraukan, Saya kemudian ke kamar mandi, lalu ke dapur. Karena tabung gasnya habis, Saya kemudian memasang yang baru. Tidak ada bau, tidak ada suara aneh, namun tiba-tiba ketika saya nyalakan kompor, seketika api menyala lantas membesar menyambar kesana-sini. Saya kaget, lalu berusaha memadamkannya dengan membasahi kain dan sekuat tenaga mencegah api namun malah semakin besar”. Demikian tutur Ibu Fatimah menggambarkan kronologi terjadinya kebakaran satu malam yang lalu kepada para pengurus LI Jakarta Pusat yang kala itu datang mengunjungi para korban kebakaran di kantor RW 06 yang menjadi posko pengungsian sementara.
“Kejadiannya sekitar pukul 4 pagi”. Lanjutnya sambil memperlihatkan bekas luka bakar di tangan dan kakinya. “Sebetulnya awalnya Saya tidak terkena, tapi karena berusaha memadamkan sebisa Saya, jadinya kena”.
“Apa daya, gas yang masih baru terpasang rupanya menjadi bahan bakar api yang semakin merajalela menghanguskan tangga, plafon tetangga dan terus merambat kemana-mana. Bahkan suami Saya yang tidur di lantai dua terpaksa harus loncat, dibantu untuk turun karena tangganya sudah habis terbakar. Untung tidak semua atap tertutup. Sehingga masih ada celah untuk suami Saya keluar”.
Firasat Bu Fatimah pagi itu rupanya pertanda akan adanya kebakaran yang kemudian meluluh-lantakkan 7 rumah di Jl. Cideng Timur 2 – Petojo yang hanya berjarak tiga blok saja dari Masjid Al Hidayah Jakarta Pusat.
Kini mereka mengungsi. Kaum ibu di Kantor RW, sementara kaum bapak dibuatkan posko sementara. Terlihat ada 2 orang ibu paruh baya, 2 lansia, beberapa anak perempuan dan seorang bocah laki laki yang sedang tidur saat kami datang. Bocah itu tampak lelap tertidur tanpa alas dilantai, usianya 3 tahun.
Ibunya bercerita tadi malam ia menangis tidak bisa tidur dan mengajak pulang kerumah. Sang ibu hanya diam. Pagi harinya diajaklah sang putra kembali kerumah yang rupanya tinggal puing puing dan rata dengan tanah. Sang anak dengan polos bertanya “Kenapa rumahnya jadi hitam ya Bu?” Saat datang kesana beliau berupaya mengais barang-barang yang tersisa. Namun nihil, semua habis tak bersisa, hanya puing dan abu belaka yang ada. Benar benar hanya pakaian yang melekat di badan. Ada juga korban yang sempat membawa surat-surat berharga, namun kebanyakan dari mereka tidak.
Pengurus LI Jakpus mendengarkan dengan seksama cerita yang mengalir dari Bu Fatimah dan tetangga-tetangganya. Ada sebulir ketegaran disana dan berupaya mengambil hikmah dari apa yang telah terjadi.
Ada juga yang memperlihatkan video saat kebakaran terjadi. Betapa besar api yang melalap rumah-rumahnya. Mereka berterima kasih atas kedatangan rombongan LI atas simpati yang diberikan. Pelukan dan eratnya gengaman tangan berupaya memberikan sedikit dukungan atas apa yang menimpa.
Para Lajnah berdoa hening sebelum pamit. Terangkai pinta agar mereka diberikan kesabaran dalam menghadapi musibah ini dan diberikan ganti terbaik atas apa yang telah hilang.
Pak RW yang berjaga beserta para pengurus pengungsi mengucapkan terima kasih atas perhatian dan bantuan dari LI Jakpus, yang telah membawa pakaian layak pakai, perlengkapan mandi, susu, beras dan lainnya sesuai kebutuhan. Semoga dapat membantu meringankan kesulitan mereka. Aamiin.
Kontributor : Ny. Rokhila Farida