Disampaikan dalam International Peace Symposium bertempat di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada 30 September 2015
oleh Mln. Abdul Basit Sy
Manusia Makhluk Sosial
Kodrat manusia secara thabi’i (alami ) sebagai makhluk sosial ialah hidup bermasyarakat. Dalam keadaan bermasyarakat itu mereka saling memerlukan antara satu dengan yang lain. Kehidupannya bergantung pada sesamanya.
Allah swt telah menciptakan manusia beragam dalam berbagai aspek. Mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Beragam dalam bentuk dan corak warna fisik. Kitab Suci Al-Qur’an secara jelas menyebutkan demikian. Tidak ada kelebihan diantara mereka kecuali karena ketakwaannya.[1]
Allah swt menganugerahkan manusia dengan berbagai potensi alami yang inheren sejak lahir. Potensi alami ini perlu diatur supaya menjadi sumber dan penyebab kemajuan karena kalau tidak akan menjadi kekacauan, keburukan dan malapetaka.
Fungsi Agama
Fungsi agama (syariat Islam) ialah mengatur dan memberikan bimbingan kepada umat manusia sehingga potensi-potensi alamiahnya dapat disalurkan dengan benar sehingga bermanfaat bagi kemajuan jasmani dan rohaninya. Kalau tidak maka potensi-potensi alami itu akan menjadi sumber keburukan dan kekacauan.[2]
Kemajuan itu dicapai secara bertahap yaitu dari keadaan thabi’i (alami) kemudian keadaan akhlaqi dan ke keadaan rohani.[3] Untuk itu bimbingan mendasar yang diajarkan Islam ialah mulai al : mengenai makan-minum[4], cara masuk rumah[5], berpakaian/pardah/hijab dan mandi atau membersihkan diri[6], berjalan[7], berbicara[8], menikah[9], dll. Teladan sempurna dalam mengamalkan ini dan contoh hidup bagi kita kehidupan Rasulullah saw.[10]
Pendeknya, menjadikan orang-orang yang tanpa adab dan tidak mengenal sopan-santun supaya menempati martabat akhlak mendasar. Artinya, mereka mengikuti tata-cara yang manusiawi dalam hal makan-minum, penyaluran syahwat yang benar melalui perkawinan, dan lainnya yang berhubungan dengan peradaban. Mereka tidak telanjang. Tidak memakan bangkai. Tidak memperlihatkan perbuatan yang tidak sopan. Ini merupakan perbaikan dasar diantara perbaikan keadaan alami manusia. Ini membedakannya dari binatang.
Apabila orang itu sudah menguasai sopan-santun manusiawi secara nyata, lalu kepadanya hendaknya diajarkan akhlak-akhlak manusiawi yang tinggi, serta mengajarkannya supaya menggunakan segala potensi insaniah yang ada agar diterapkan pada keadaan dan kesempatan yang tepat. Dalam kerangka ini dalam Islam terdapat ajaran qaul hasan atau berkata baik dan santun[11], tidak berprasangka buruk[12], menahan amarah dan memaafkan[13], bersikap toleran sekalipun terhadap orang yang menyakiti[14], sabar[15], jujur[16], kesaksian yang benar[17] dan seterusnya.
Kalau ini semua dijalankan maka akan terbentuk insan-insan yang beradab, santun, tasamuh (toleran), penyayang, hormat dan tidak merendahkan yang lain, tidak menganggap paling benar sendiri sehingga menghujat dan merusak apalagi memaksakan kebenarannya dengan tindakan anarkis. Semua nilai luhur manusia beradab ini akan kemudian menyebarkan rasa aman, nyaman dan toleran. Itu semua terangkum dalam definisi singkat dan padat serta amat elok dari Nabi Muhammad saw mengenai siapa itu yang dimaksud dengan orang Muslim dan orang Mu-min (beriman), الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ ‘Al-Muslimu man salimal Muslimuuna min lisaanihi wa yadihi wal-Mu’minu man aminahun naasu ‘alaa dimaa-ihim wa amwaalihim.’ – “Yang dimaksud dengan orang Muslim (Islam) ialah orang yang ucapan dan perbuatannya menciptakan perdamaian dan keselamatan orang-orang Muslim lainnya dan yang dimaksud dengan orang Mu-min ialah orang yang dipercaya oleh umat manusia memberikan keamanan dalam hal darah dan harta mereka.”[18]
Tarbiyat Sejak Dini
Oleh karena itu, suatu kebutuhan yang esensial dan mendesak bagi kita untuk mengingatkan kembali dan menerapkan Tarbiyat (pendidikan) yang harus dimulai sejak dini dari rumah, terutama oleh orang tua. Pendidikan yang dimulai dari rumah tersebut harus menanamkan nilai-nilai universal. Nilai-nilai berikut ini diterima oleh siapa pun yaitu keadilan, kejujuran, amanah atau dapat dipercaya, tidak bersikap diskriminatif (membeda-bedakan) terhadap pihak lain yang berbeda agama bahkan yang tidak mempercayai Tuhan sekali pun.
Sudah menjadi sifat dasar dan alami manusia untuk tidak mau disakiti, ditipu, dibohongi, dianiaya dan diperlakukan jahat lainnya. Poin dasarnya ialah kita hendaknya tidak melakukan sesuatu tindakan kepada orang lain yang kita sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu sebagaimana pernah disabdakan oleh Junjungan kita, Nabi Muhammad saw, ((وَأَنْ تُحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، وَتَكْرَهَ لَهُمْ مَا تَكْرَهُ لِنَفْسِكَ)) ‘wa an tuhibba lin naasi ma tuhibbu li nafsika, wa takraha lahum ma takrahu li nafsika.’ – “Engkau menyukai perlakuan terhadap sesama manusia yang engkau juga menyukainya terjadi atas diri engkau. Dan engkau benci sesuatu yang terjadi atas mereka yang mana itu juga engkau benci terjadi atas diri engkau.”[19] Noktah ini harus ditanamkan pada diri anak-anak kita.
Implementasi Toleransi
- Mulailah dari diri kita sendiri.
- Peranan institusi pendidikan baik formal maupun informal dalam mengembangkan sikap toleransi dan harmoni. Akhlak ini lebih ditekankan dan ditanamkan serta akan lebih berkesan kalau para pendidik/pengajar mengamalkannya dan memberikan contoh.
- Peran tokoh masyarakat yang sangat mewarnai masyarakat dengan pola pikir santun dan toleransi.
- Peran pemerintah dan aparatnya yang menentukan karena di tangan merekalah wewenang untuk menertibkan dan menjaga ketentraman warga. Sikap adil sangat diperlukan sekali.
- Terakhir, kerjasama semua pihak dalam kebaikan dan ketakwaan hal mana Kitab Suci Al-Qur’an juga telah menyarankannya. Surah Al-Maaidah, 5:3, menyebutkan وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.”
Sekian terima kasih semoga Allah swt selalu membimbing kita dalam membangun masyarakat Indonesia yang toleran dan berkemajuan.
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Dan akhir doa kita ialah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
[1] Kitab Suci Al-Qur’an, Surah al-Hujurat, 49:14. Penomoran ayat dalam makalah ini dengan menghitung basmalah sebagai bagian ayat pertama tiap surah kecuali surah at-Taubah yang merupakan lanjutan/bagian dari Surah al-Anfal. Silakan merujuk pada Kitab Hadits Shahih Muslim Kitab shalat bab hujjah man qala al-basmalah ayatun min awwali kulli surah siwa al-bara-ah (bab tentang dasar pendapat basmalah adalah ayat awal tiap surah kecuali Bara-ah/at-Taubah); kitab Sunan Abi Daud, kitab shalat, bab man jahara biha, no. 784 dan 788 dan Sunan ad-Daruqutni Kitab shalat.
[2] Surah Yusuf, 12:54
[3] Islami Ushul ki Filasafi (bahasa Urdu, terjemahannya Filsafat Ajaran Islam), Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908), terjemahan diterbitkan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Bogor, 1996, h. 20-21
[4] Surah Al-Maaidah, 5:4, 5 dan 91; Surah Al-A’raf, 7:32
[5] Surah Al-Baqarah, 2:190 dan Surah An-Nur, 24:28
[6] Surah An-Nur, 24:31-32; Surah Al-Mudatstsir, 74:5-6;
[7] Surah Luqman, 31:20
[8] Surah An-Nisa, 4:87
[9] Surah An-Nisa, 4:20 dan 23; Surah Al-Maa-idah; 5:6;
[10] Status Nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah (teladan terbaik) tercantum dalam Surah Al-Ahzab, 33 : 22 dan khuluqin azhim (akhlak agung) tercantum dalam Surah Al-Qalam, 68:5
[11] Surah Al-Baqarah, 2:84; Surah Al-Hujuraat, 49:12
[12] Surah Al-Isra, 17:37
[13] Surah Ali Imran, 3:135, Surah Asy-Syura, 42:41
[14] Surah Ali Imran, 3:174
[15] Surah Al-Baqarah, 2:178
[16] Surah Al-Hajj, 22:31
[17] Surah Al-Baqarah, 2:284
[18] Kitab Hadits Jami’ at-Tarmidzi, Kitab tentang iman, no. 2627
“Seorang muslim (yang sejati) adalah orang yang mana orang muslim lainnya selamat dari (bahaya) lisan dan tangannya, dan seorang mukmin (yang sejati) adalah orang yang mana manusia lainnya selamat dari (bahayanya) pada darah dan harta mereka.”
[19] Musnad Ahmad ibn Hanbal, Musnad al-Anshar r.’anhum, hadits Muadz ibn Jabal ra