Sepanjang yang saya ketahui, Muhammadiyah dan NU tidak pernah secara resmi menyatakan Syiah dan Ahmadiyah itu bukan Islam. Kalau pun ada pernyataan keras terhadap Syiah dan Ahmadiyah, itu biasanya dinyatakan secara individu oleh seseorang yang dikenal sebagai tokoh dari suatu ormas Islam.
Di sebuah mesjid di Makassar, beberapa waktu yang sudah lampau, ada spanduk berbunyi: Syiah Bukan Islam. Hasil penelitian beberapa peneliti Balitbang Kemenag Makassar, saat pemaparan hasil penelitian mereka, menyatakan bahwa Syiah dan Ahmadiyah dikategorikan sebagai aliran sesat.
Disebut sesat karena mereka mendefinisikan sesat adalah semua paham dan keyakinan yang berbeda/berlawanan dengan paham dan keyakinan Islam yang merupakan arus utama (mainstream/mayoritas).
Pemuka NU, KH Mustofa Bisri (Gus Mus), mengingatkan warga NU untuk bersikap toleran kepada pihak yang berbeda keyakinan. Gus Mus menegaskan bahwa sikap toleran demikian adalah dinyatakan dalam khittah NU.
Dia berpendapat, setiap orang yang akan jadi pengurus NU sebaiknya membaca dan melaksanakan khittah tersebut. Garis khittah itulah yang seharusnya dipakai di dalam melihat Syiah dan Ahmadiyah.
Kemiskinan
Din Syamsuddin, pemuka Muhammadiyah, di forum internasional di Teheran, menyatakan bahwa Sunni dan Syiah tidak berbeda dalam dasar agama. Perbedaan keduanya hanya pada segi-segi furu’.
Karena itu, sebaiknya keduanya bekerja sama mengatasi dua hal: kemiskinan dan keterbelakangan umat. Din tidak mau ikut gerakan pembubaran Ahmadiyah, sekali pun dia tetap memegang keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menilai Ahmadiyah sesat.
Karena itu, dia menganjurkan agar dilakukan dakwah kepada Ahmadiyah agar kembali kepada kebenaran, karena dia berpendapat Ahmadiyah adalah bagian dari Islam.
Sementara tokoh Muhammadiyah DKI Jakarta, KH Risman Muchtar, memandang bukan hanya Syiah dan Ahmadiyah, tapi juga LDII (Lembaga Dakwah Islamiah Indonesia) adalah kelompok sesat. Serupa dengan itu, Ketua MUI KH Cholil Ridwan memandang Syiah dan Ahmadiyah adalah aliran sesat.
Adapun KH Habib Riziq, pemuka Forum Pembela Islam (FPI), setelah melihat pengusiran umat Syiah di Madura (Sampang), berpendapat bahwa umat Sunni sebaiknya menahan diri dan umat Syiah tahu diri. Maksudnya, umat Syiah jangan menyebarkan keyakinannya di tengah mayoritas Sunni; demikian pula sebaliknya.
Dari pandangan-pandangan di atas, tampak bahwa secara internal hubungan sesama Muslim masih rentan dengan perpecahan. Pandangan yang moderat bisa lahir dari tokoh tertentu secara individual.
Sekat
Kedua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU, secara resmi organisasi belum menegaskan keseimanan Muhammadiyah-NUdengan Syiah-Ahmadiyah. Masih ada sekat yang tebal di antaranya.
Dengan demikian, secara logika dapat dirumuskan bahwa antarsesama umat Muslim saja (Muhammadiyah-NU dan Syiah-Ahmadiyah) terdapat sekat yang tebal, tentu lebih sulit lagi kalau hal itu dikembangkan kepada hubungan lintas agama yang berbeda.
Satu hal lagi yang perlu disadari adalah bahwa organisasi yang mengusung keyakinan tertentu boleh dilarang oleh negara, tetapi keyakinan itu sendiri tetap bisa menyebar meski organisasinya dilarang.
Jadi, keliru pula kalau keyakinan minoritas dilarang disiarkan di tengah keyakinan mayoritas yang beda. Dalam hal ini yang tepat dipakai adalah semangat Alquran: fastabiqul khairat, berpacu di dalam kebaikan. Siapa yang lebih unggul memberi kebaikan, tentu akan diikuti.
Muhammadiyah dan NU sedang bermuktamar. Muktamar Muhammadiyah mengusung tema Islam berkemajuan. Sedang muktamar NU mengusung tema Islam Nusantara. Tema besar kedua muktamar itu bisa menjadi dentuman positip bagi bangsa dan dunia, kalau muktamar berhasil mengurai dan menembus sekat Ahmadiyah, Syiah, dan Sunni (Muhammadiyah dan NU).
Kalau tidak, maka kedua muktamar itu gagal membuat dentuman dan kedua tema besar tersebut hanya retorika belaka dari para muktamirin, ulama, dan pemuka mereka. (*)
Oleh;
M. Qasim Mathar
Guru Besar UIN Alauddin Makassar
Sumber : Muhammadiyah-NU dan Syiah-Ahmadiyah