Sintang – Jemaat Ahmadiyah Balaigana di desa Balaiharapan, Kecamatan Tempunak, di bulan Rajab ini selenggarakan Mi’raj wal Isra’ seperti umat Islam pada umumnya, dalam format khasnya “Shiratun Nabi.” Acara itu berlangsung di Masjid Miftahul Huda dengan tema “Mi’raj dan Isra Nabi Muhammad SAW Dua Peristiwa yang Berbeda Waktu.”
“Shiratun Nabi” adalah istilah dalam komunitas Ahmadiyah untuk acara kajian yang mendalami berbagai aspek kehidupan dan keteladanan Nabi Muhammad SAW.
Acara diawali dengan tilawatil Qur’an oleh Lukman Parmuji dan lantunan Nazm oleh Mln. Abdul Nasir.
Dalam kata sambutannya, Karsono, Ketua Jemaat Ahmadiyah Balaigana menyampaikan rasa syukurnya atas terselenggaranya Shiratun Nabi, dan berterimakasih kepada semua yang hadir.
Sekretaris Waqfe Nou PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Ahmad Abdurrahman yang sebelumnya telah gelar pertemuan orangtua dan anak Waqafe Nou juga beri sambutan.
“Ada pelajaran dalam Mi’raj Nabi Muhammad Saw, yaitu seorang hamba hendaknya selalu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Kemudian, setiap orangtua harus memberikan perhatian penuh pada tarbiyat anak-anaknya, karena mereka nanti sebagai generasi penerus kita”, tuturnya.
Tema Shiratun Nabi dibahas secara mendalam oleh pembicara tunggal, Mubaligh Sajid Ahmad Sutikno.
Hakikat Mi’raj dan Isra’
Dalam acara itu Mubaligh Sajid Ahmad menawarkan perspektif berbeda dari pemahaman umum tentang peristiwa besar tersebut.
“Mi’raj dan Isra adalah dua peristiwa berbeda yang terjadi pada waktu yang berlainan. Lebih dahulu Mi’raj, 7 tahun kemudian baru terjadi Isra”, jelasnya.
- Mi’raj terjadi pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian, seperti yang dijelaskan dalam QS. An-Najm: 7-17. Peristiwa ini menandai perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW menuju kedekatan tertinggi dengan Allah Ta’ala (taqarrub ilallah). Dalam Mi’raj, Nabi Muhammad SAW mencapai tingkat Sidratul Muntaha, simbol puncak kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.
Dalam QS. An-Najm ayat 8-9, digambarkan bagaimana Nabi Muhammad SAW mencapai kedekatan yang luar biasa:
“Tsumma danaa fatadallaa. Fakaana qaaba qausaini aw adnaa”, yang artinya “Kemudian dia mendekat kepada Allah dan semakin mendekat, Allah pun kian mendekat kepadanya. Maka jadilah ia bagaikan “seutas tali dari dua busur panah atau lebih dekat lagi.”
- Isra terjadi sekitar tujuh tahun kemudian, pada tahun ke-11 atau 12 kenabian. Disebutkan secara khusus dalam QS. Al-Isra: 1, Isra menggambarkan perjalanan rohani Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram (Mekkah) ke Masjidil Aqsha (Yerusalem). Peristiwa ini memberikan isyarat nubuwatan yang pertama yaitu kekuasaan Islam di Palestina, yang terealisasi pada masa Khalifah Umar bin Khattab RA. Kedua, tentang penyebaran Islam dimasa datang.
Makna Mi’raj dan Isra
Mubaligh Sajid Ahmad menjelaskan kembali bahwa Mi’raj menggambarkan hubungan Nabi Muhammad SAW yang sangat dekat dengan Allah, di mana beliau menerima perintah shalat lima waktu. Ia menekankan bahwa Sidratul Muntaha tidak dipahami sebagai tempat fisik, tetapi simbol pertemuan rohani antara Nabi dan Allah.
Isra bisa maknai simbol kemajuan Islam di masa depan. Masjid Al-Aqsha diartikan sebagai “masjid yang jauh,” mencerminkan penyebaran Islam ke wilayah-wilayah yang jauh dari Mekkah (negeri-negeri jauh). Kini, Islam tersebar luas di seluruh dunia dan sudah ada di lebih 200 negara.
Penekanan Kajian
Mubaligh Sajid Ahmad menegaskan bahwa kedua peristiwa ini dialami Nabi Muhammad SAW secara rohani (kasyaf), bukan jasmani. Isra, menurut riwayat hadits, hanya menggambarkan perjalanan Nabi hingga Yerusalem dan kembali ke Mekkah pada malam yang sama. Tidak ada indikasi melanjutkan perjalanan ke langit (Mi’raj) dalam Isra.
Kesimpulan
Kajian ini memberikan pemahaman mendalam tentang Mi’raj dan Isra, menekankan aspek spiritual dan simbolis dari kedua peristiwa tersebut. Pesan utamanya adalah bagaimana Mi’raj dan Isra menggambarkan hubungan hamba dengan Tuhannya serta visi penyebaran Islam ke seluruh dunia. Kajian ini menjadi refleksi penting bagi umat Islam untuk memahami peristiwa besar dalam sejarah Nabi Muhammad SAW secara lebih mendalam.
Kontributor: Sajid Ahmad Sutikno