Tempo pernah memuat liputan tentang sejumlah Masjid Ahmadiyah yang disegel oleh golongan tertentu maupun pemerintah melalui SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri. Konsep kerukunan beragama SBY yang melahirkan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) memang membuat minoritas makin terjepit oleh arogansi mayoritas. Pembangunan rumah Ibadah minoritas makin dipersulit. Rumah ibadah yang sudah berdiri jauh lebih lama dari SKB 3 menteri pun ikut terkena dampaknya. Penyegelan rumah ibadah dan persekusi terhadap komunitas Ahmadiyah terus terjadi. Terutama di Jawa Barat.
Ada sebuah kecenderungan bahwa di dunia ini ada banyak orang yang membenci apa yang tidak diketahuinya. Orang yang tidak tahu Syiah akan membenci Syiah. Orang yang tidak tahu Ahmadiyah akan membenci Ahmadiyah dan hal-hal lainnya. Ketidaktahuan membawa seseorang pada perilaku intoleransi. Riset dari Kemenag pada tahun 2010 tentang Kekerasan atas Nama Agama menyimpulkan bahwa semakin sedikit ilmu seseorang tentang agama, semakin membentuk perilaku intoleran. Jadi, silakan bercermin, saat seseorang mengkafirkan orang lain, apakah ilmunya sudah tinggi? Jika ada sebuah lembaga yang mengkafirkan umat beragama lain, apakah ia sudah benar-benar meneliti tentang agama/kepercayaan yang ia kafirkan?
Kata Rumi, dengan mata cinta, segalanya jadi indah. Bagaimana jika kita melihat dengan mata kebencian? Bukankah akan terjadi sebaliknya? Itulah mengapa, sebaiknya orang yang ingin tahu lebih jauh tentang ajaran yang hendak ia tentang mengetahui langsung dari sumber pertama berita. Bukan sekedar kata mereka. Kata ulama. Atau desas desus belaka. Gunakan prinsip verifikasi sekalipun anda bukan jurnalis. Toh agama sudah mengajarkan tentang konsep tabayyun.
Hari ini aku berkunjung dan sholat Jum’at di satu-satunya masjid Ahmadiyah Jogja. Masjid ini bernama Masjid Arif Rahman Hakim. Arif Rahman Hakim adalah seorang pemuda dalam puisi “Karangan Bunga” karya Taufik Ismail yang ditembak aparat di depan Istana Negara pada 25 Febuari 1966. Belum banyak orang yang tahu bahwa dia adalah seorang muslim Ahmadiyah.
Jamaah Ahmadiyah di masjid ini ramah-ramah. Mereka tidak memandangku dengan aneh saat shalat dengan menggunakan turbah untuk bersujud. Mereka juga tidak mempersoalkan aku yang sholat tanpa bersedekap. Berbeda jika aku shalat di masjid biasa. Orang biasanya akan memandangku dengan aneh dan bertanya ini itu mengenai perbedaan fiqih. Beberapa kali juga pernah langsung dituduh macam-macam hanya karena berbeda dalam fiqih. Bukankah ada perbedaan fiqih juga di tubuh Ahlussunah Waljamaah antara Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali? Sedikit perbedaan itu juga seharusnya bukan sesuatu yang perlu dipertentangkan lebih jauh. Karena sebanyak apapun tafsir maupun intepretasi umat terhadap agama, sumbernya tetap Satu. Kita menyebutnya Tuhan, Allah dan nama-nama Agung lainnya.
Jamaah Ahmadiyah tata cara sholatnya sama seperti Ahlussunah Waljamaah. Dari takbiratul ihram, bersedekap, rukuk, sampai bersujud. Mereka juga bershahadat, melakukan shalat, berpuasa, zakat dan haji. Persis seperti Muslim Sunni. Sayangnya, pemda Tasikmalaya sudah memberlakukan aturan bahwa jamaah Ahmadiyah dilarang melakukan ibadah Haji. Tentu saja ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan melakukan ibad
Khatib Shalat Jumat Ahmadiyah siang tadi berbicara tentang pentingnya pertemuan-pertemuan rohani untuk memperkuat silaturahmi antar anggota Ahmadiyah. Tidak ada khotbah kebencian terhadap pengikut aliran lain atau kepada capres tertentu. Wajar, Ahmadiyah memang menjunjung tinggi perdamaian. Di tembok masjid Ahmadiyah ini terpampang motto yang selalu dijunjung tinggi oleh para jamaah Ahmadiyah. ” Love for All Hatred for None .”
Siapa yang siang tadi dapet khotbah sholat Jumat yang berisi kebencian dan provokasi? Mau pindah tempat sholat Jumat nggak? :))
PS :
Terimakasih untuk sahabat Ahmadi ku Fatimah Zahrah, yang memperbolehkan aku ikut mengunjungi sekaligus beribadah di masjid Arif Rahman Hakim ini. Terimakasih juga untuk Sita Magfira , mbak-mbak Filsafat UGM yang mau mengantar kami berdua ke masjid ini dan kemana-mana seputar Jogja di tengah kesibukan seputar perkuliahan dan perpacarannya. *peluk satu-satu*
Sumber : Syahar Banu