konsep kenabian lintas aliran, perspektif Sunni, Ahmadiyah, dan Syiah” ini membahas tentang implementasi islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam perbedaan.
Satu Islam, Jakarta – Konsep kenabian ditinjau dari pandangan lintas madzhab diseminarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 17 September 2014. Seminar teologi yang mengundang perwakilan dari tiga mazhab Islam dengan tema “konsep kenabian lintas aliran, perspektif Sunni, Ahmadiyah, dan Syiah” ini membahas tentang implementasi islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam perbedaan.
Pandangan Ahmadiyah tentang kenabian yang disampaikan oleh Prof. Abdul Rozak. Ia membedahnya melalui tinjauan teks atau dari dalil al-Qur’an dan Hadist. Berdasarkan tafsir Ahmadiyah yang didasari dari Qur’an dan Hadist, bahwa kenabian diibaratkan seperti dua mata uang.
Sisi pertama memiliki peran hanya sebagai penerima kabar gaib dari Allah. Abdul Rozak juga menyampaikan pandangan kenabian dari sisi yang kedua. Menurutnya, seorang Nabi selain menerima kabar ghaib dari Allah, juga memiliki peran penyampai, dalam hal ini menyampaikan kabar ghaib tersebut kepada umat manusia.
Kenabian pada sisi pertama tentunya masih dibuka oleh Allah. Nabi yang seperti ini syarat pertama, harus menjadi umat Muhammad saw. Syarat kedua menjalankan dan mentaati syariat Muhammad saw. Syarat ketiga menyampaikan risalah dari Nabi Muhammad saw.
”Allah SWT sendirilah yang mengangkat seseorang menjadi Nabi karena ketaatannya kepada baginda Nabi Muhammad Saw”, ujarnya.
Nabi penutup atau khotamun nabiyyin menurut Ahmadiyah adalah Nabi [penutup] yang membawa syariat, yakni Nabi Muhammad saw.
“Nabi [penutup] pembawa syariat adalah Nabi Muhammad.” kata Abdul Rozak.
Kenabian menurut Sunni yang disampaikan oleh Edwin Syarif. Ia terlebih dahulu menceritakan bagaimana kronologis sebab munculnya Ahlussunnah waljamaah yang keberadaannya di Indonesia, kemudian hari bermetaforfosis sebagai NU atau Nahdlatul Ulama.
Dari aspek historis ,di tengah-tengah umat islam pernah muncul perdebatan teologis yang mebicarakan tentang akidah. Saat itu terjadi perbedaan pandangan kelompok antara Muktazilah dan Maturidiyah.
”Lalu ada kelompok yang mengklaim garis tengah atau moderat yang desebut sebagai Asy’ariyah. Dari sinilah paham ahlussunah NU berasal”, ujar Edwin Syarif pada seminar tersebut.
Teologi ini muncul ketika pasca wafatnya Nabi Muhammad saw tepatnya pada saat arbitrasi antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Di lain pihak muncul kelompok khawarij yang menuding bahwa siapapun yang tidak berhukum berdasarkan hukum Allah SWT maka dia adalah kafir. Oleh karena itu, dari sanalah munculnya perdebatan teologi.
Sunni yang asy’ariyah tidak sebagaimana muktazilah yang menggunakan akal secara keseluruhan dalam melihat teologi. ”Sunni menggabungkan antara wahyu dan akal, namun porsi wahyu lebih besar dari pada porsi akal”, klaim Edwin.
Sunni menilai kenabian, lanjut Edwin, sudah ditutup dengan kata lain tidak ada lagi Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad saw. Arti khatamun nabiyyin adalah Nabi penutup.
Pintu berita ghaib yang berhubungan antara yang transenden dan imanen yang disebut sebagai wahyu sudah tertutup menurut pandangan sunni,”ujar Edwin.
Namun, demikian lanjut Edwin, masih ada berita ghaib yaitu yang disebut sebagai ilham. Sedangkan ilham hanya diturunkan kepada wali-wali Allah swt..
Sementara itu kenabian menurut Muhsin Labib yang dari Syiah meninjaunya dari aspek filosofis. Dia mendahului paparannya dengan pernyataannya yang enggan mengklaim dirinya sebagai representasi Syiah.
“Untuk menjadi Syiah tidaklah mudah karena Syiah itu berjenjang,”kilah Muhsin Labib.
Muhsin Labib dalam paparannya, terlebih dahulu memeperjelas perbedaan antara konsep dengan sosok. Lalu mulai dengan memperjelas posisi konsep.
Menurut Labib seseorang harus mendahulukan ‘apa’ dari pada ‘siapa’. Karena, lanjutnya, sebelum mengenal sosok Nabi, harus mengenal terlebih dahulu konsep kenabian.
”Konsep kenabian yang dimaksud adalah mediasi antara yang mutlak dan yang relatif”,ujar Labib.
Ia beralasan Tuhan yang naha suci tidak mungkin bercampur dengan manusia yang maha dekil. Yang mutlak tidak mungkin bercampur dengan yang relatif.
Ditambahkannya sesuatu yang suci bila tercampur dengan yang tidak suci, maka kedua-keduanya akan menjadi tidak suci. Tidak ada afinitas antara yang mutlak dengan yang tidak mutlak.
“Karenanya, dalam relasi itu meniscayakan seseorang yang bisa menghubungkan antara yang mutlak dengan yang tidak mutlak”, ujar Labib.
Dia seseorang manusia yang berperan sebagai penghubung. Penghubung yang dimaksud harus memiliki aspek kesucian. “Penghubung itulah yang kita kenal sebagai Nabi,” ujarnya.
Menurut Muhsin, konsep kenabian adalah deduktif, sedangkan sosok nabi adalah induktif. Hukum dialektika mengatakan yang induktif berada di bawah yang deduktif.
Seminar ini dihadiri kebanyakan dari civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Suasana seminar sesekali diwarnai tepuk tangan saat Muhsin Labib usai menyampaikan pandangannya.