“Love for All and Hatred for None”, membaca kata-kata itu, ada yang berubah dalam pemikiran saya, tadinya resah, saya menjadi penasaran, apa Ahmadiyah itu.
Blog Zulfirmansyah Ry*
*Member of YIPC Indonesia, Advokasi Sosialiasisi dan Promosi Non Violence Study Circles and Ambasaddor at Indonesia Youth Confrence.
.
JUDUL tulisan ini, sengaja saya kutip dari kata-kata yang terpampang di tempat pusat dakwah dan perpustakaan jemaah Ahmadiyah di Jogjakarta ketika saya dan para peacemaker di Young Interfaith Peacemaker Community Indonesia (YIPC) berkunjung kesana.
Perjumpaan saya dan Ahmadiyah lewat sesi dialog interfaith pada Youth Interfaith Peacemaker National Confrence 2014 adalah awal dari sebuah langkah mengenal yang berbeda dalam penafsiran terhadap teks suci Tuhan (Al-Qur’an).
Seperti yang kita ketahui bersama kehadiran Ahmadiyah di Indonesia yang notabenenya beragama islam yang secara principle keyakinan agak sedikit berbeda.
Namun pada tulisan ini saya tidak ingin mengajak kita semua untuk kembali melakukan penghakiman benar atau salah dalam klaim kebenaran (Truth Claim) dan klaim keselamatan (Claim Salvation) serta mempeributkan otoritas kepemilikan surga atau neraka sebagaimana cara keberagmaan kebanyakan orang.
Saya hanya ingin berbagi sebuah hasil renungan dan dialog intrafaith dengan mereka.
.
PADA mulanya ketika bis yang kami tumpangi melaju ke markas besar Ahmadiyah, ada semacam keresahan di dalam hati saya ketika mendengar kata salah satu kawanku bahwa kami akan jumatan di sana.
Keresahan ini bukan karena ketidaksiapan saya berdialog dengan mereka, namun rasa resah itu tiba-tiba muncul ketika pikiran, dan persasaan saya mulai dihantui oleh apa yang saya liat diberitakan di TV tentang kekerasan yang mereka alami, pikiran saya selalu terbayang-bayangi oleh bagaimana dan seperti apa Ahmadiyah yang saat ini kukenal hanya lewat pendapat orang-orang diluar mereka terhadap mereka.
Ketika bis yang kami tumpangi berhenti di seberang jalan markas dan mesjid Ahmadiyah, saya tersentak dan bangkit dari tempat duduk saya, dengan agak sedikit ragu mulai melangkahkan kaki masuk ke bangunan itu.
.
SESAMPAINYA di sana, tepat di depan pintu masuk, mata saya menatap ke arah sudut yang di sana ada sebuah binner yang bertulisan “Love for All and Hatred for None”, membaca kata-kata itu, tiba-tiba ada yang berubah dalam pemikiran saya yang tadinya resah, saya menjadi penasaran akan apa sebenarnya Ahmadiyah itu.
Setelah bersalaman dan disuguhi makan siang serta dilanjutkan sesi perkenalan antara kami dan mereka.
Di sela-sela makan siang itu, saya melirik ada sederatan buku-buku yang tertata rapi di rak buku di sekitar tempat duduk kami.
Mata saya melotot ke arah sebuah buku yang mengusik pemikiran saya waktu itu dan rasa resah yang tadinya berganti penasaranpun muncul kembali.
Judul buku yang kuliat itu “Alasan mengapa Ahmadiyah tidak boleh bermakmun pada yang lain”.
Saya hendak membacanya namun suara adzan sebagai pertanda sebentar lagi shalat jum’at akan dilaksanakan.
Saya meninggalkan buku itu dan memaksakan diri saya untuk mengikuti shalat jumat bersama jamaah Ahmadiyah meskipun masih ada bayangan tentang Ahmadiyah seperti yang kebanyakan orang ceritakan serta judul buku yang barusan saya lihat juga mengusik hati kecil saya akan shalat berjmaah bersama mereka (Ahmadiyah).
.
SETELAH berwudhu saya bergegas menuju mesjid Ahmadiyah yang terlentak di dalam bangunan itu. bersama dengan teman-teman muslim (dari YIPC) kami mengikuti khotbah jumat dan dari wajah mereka saya melihat sepertinya apa yang saya rasakan waktu itu juga mereka rasakan.
Khotbah jumat yang dibawakan khatib, tidak seperti biasanya saya dengar di mesjid-mesjid pada umumnya.
Tiba-tiba rasa ngantuk saya kala itu hilang berganti mata melotot memandang dengan serius apa yang disampaikan oleh khatib, bagi saya khotbah ini adalah jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di sela-selah ras resahku akan Ahmadiyah.
Khatib bercerita panjang tentang sejarah Ahmdiyah dan cara hidup orang Ahmdiyah. Waktu itu ketika mendengarnya jujur rasah resahku bercampur aduk dengan rasah penasaran bertambah.
Puncaknya ketika shalat jumat bersama mereka, jujur saya agak tidak khusyu karena melirik ke sana, ke sini, seraya bergumam dalam diri “Kok sama ya gerakan shalat kita? Mana ya perbedaan yang seperti orang banyak ceritakan tentang mereka itu? Kok, saya tidak ketemu di sini?”
.
SETELAH usai shalat jumat, kami kembali menuju ruang perpustakaan dan akan melanjutkan sesi dialog interfaith (sesi yang amat saya tunggu untuk berdialog langsung dengan mereka). Saya sebelum mengekuti sesi itu saya kembali membaca isi buku “Alasan mengapa Ahmadiyah tidak boleh bermakmun pada yang lain”.
Setelah membaca dengan seksama dan saya mulai memahami kenapa mereka tidak bisa bermakmun kepada yang lain.
Namun, tidak cukup sampai di situ.
Setelah para pemuka Ahmadiyah yang hadir saat itu memperkenalkan Ahmadiyah kepada kami, saya secara spontan manganjungkan tangan untuk bertanya.
Pertanyaan saya kepada mereka sama seperti judul buku di atas. Namun jawabanyya tetap sama yakni fatwa para ulama mereka memang seperti demikian, kata mereka hal ini dipicu karena klaim kafir mengkafirkan yang dilontarkan orang-orang di luar mereka.
Jujur, setelah mendengar penjelasan itu, bukan saya tidak mau menerima perbedaan, namun bagi saya sebagai seorang muslim dengan pemahaman fiqih yang saya yakini, bahwa ada saatnya kita bisa bertoleransi namun dalam hal-hal muamalah, dan ketika itu berurusan dengan Amal maka kembali melihat Al-Qur’an dan As-Sunnah.
.
SAYA bukannya tidak mau menerima Ahmadiyah. Tetapi cara menerima Ahmadiyah, bagi saya, adalah lewat terlebih dahulu saya menerima prinsip keyakinan saya.
Sehingga, setelah materi itu dan ketika waktu shalat Assar kebetulan kami masi di situ, namun kali ini saya memilih untuk tidak melawan kata hati saya, dan saya memilih untuk shalat Ashar di luar, karena masih terbayang oleh isi buku yang tadi saya baca.
Ini bukan tentang salah atau benar tetapi tentang keyakinan.
Cara terbaik menerima Ahmadiyah adalah berteman dengan mereka dan bersinergi dengan mereka dalam hal muamalah.
Masih banyak persoalan bersama yang harus kita hadapi bersama.
Cukuplah untuk tidak selalu mempersoalkan hal-hal kecil menjadi besar sementara hal-hal besar cenderung terabaikan.
Semoga tidak ada lagi prinsip keyakinan pribadi [yang] kita korbankan hanya karena memenuhi prasyarat definisi toleransi.
Toleransi yang ideal dibangun di atas kejujuran, bukan berarti yang berbeda dengan kita menimbulkan kebencian kita terhadap mereka.
Tetapi, hemat saya, “Love for All and Hatred for None” solusi untuk itu.
Kita boleh tidak suka terhadap orang lain (kelompok lain), itu hal yang manusiawi bagi saya.
Namun jangan mengekspresikan rasa tidak suka itu dengan cara-cara yang tidak disukai Tuhan.
.
TERIMAKASIH untuk Ahmadiyah yang dengan “Love for All and Hatred for None” telah mengusir jauh-jauh rasa resahku dan prasangka terhadap yang berbeda.
Sekali lagi ini bukan tentang siapa benar atau siapa salah.
Tetapi, tulisan ini hanyalah cerita tentang aku dan Ahmadiyah.
Akhirnya, sesamaku adalah pribadiku yang lain.
Cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri.
Bersama-sama mari kita nikmati apa yang telah diKarunaiakan-Nya, dan cara terbaik merayakan keberagaman adalah dengan merangkulnya bukan untuk memisahkannya.
Salam, peace, salom.
_
Gambar ilustrasi: Jamaah Ahmadiyah DIY sedang menunaikan ibadah sholat di Masjid Fadhli Umar, Senin (7/2/2011). (Tribun Jogja)