Bontang – Mubalig Jemaat Ahmadiyah Bontang, Maulana Andhika Ibrar Ahmad menghadiri seminar jurnalistik dalam rangka Hari Jadi Forum Jurnalis Bontang (FJB) ke-6, Kamis (10/11/2022).
Acara tersebut mengusung tema “Jurnalisme Data dan Dosa-dosa Media”, bertempat di Ruang Rapat Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Dispopar) Bontang.
Kehadiran Maulana Andika tidak lepas dari jalinan komunikasinya dengan Ketua FJB selaku Pemred di Bontang Post, yang kemudian mengundangnya dalam seminar tersebut.
Mubalig Ahmadiyah asal bogor itu menyampaikan bahwa saat ini pemberitaan Ahmadiyah di media mainstream sudah mulai berimbang. Hal itu merupakan sesuatu yang layak diapresiasi.
Meskipun ia juga menyadari, masih banyak pemberitaan tentang Ahmadiyah yang negatif sehingga menyulut perbuatan diskriminatif. Padahal banyak angle pemberitaan positif mengenai Ahmadiyah yang bisa dikembangkan, seperti kecintaan Ahmadiyah terhadap negeri ini.
Maulana Andika menyebutkan banyak anggota Ahmadiyah yang berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, salah satunya adalah WR. Soepratman.
“Ahmadiyah cinta tanah air. Pencipta lagu Indonesia Raya yang kita nyanyikan diawal bersama-sama WR. Soepratman adalah orang Ahmadiyah,” tegasnya.
Bontangpost.id melansir bahwa media dan jurnalis masih kerap melakukan kesalahan dalam melakukan peliputan soal isu perempuan dan anak. Alih-alih membangun masyarakat yang inklusif, akibatnya media justru melanggengkan stigma atau pelabelan negatif dan peminggiran terhadap mereka sebagai kelompok rentan.
Hal tersebut ditanggapi oleh Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief sebagai salah satu narasumber. Ia menjelaskan, untuk mewujudkan masyarakat inklusif diperlukan ekosistem media yang peka terhadap kelompok terpinggirkan.
“Untuk mewujudkan masyarakat inklusif, diperlukan ekosistem media yang peka terhadap kelompok terpinggirkan,” jelasnya.
Yavantra Arief menyadari bahwa selama ini memang belum terdapat regulasi atau aturan secara spesifik terkait hal itu.
“Untuk media saat ini belum ada aturan secara spesifik untuk itu dan sedang diupayakan. Seringkali tantangan ini ada karena masing-masing media punya bias tersendiri,” tuturnya.
Di tengah situasi tersebut, Yavantra Arief menyadari bahwa masih ada media yang secara terang-terangan memperjuangkan kelompok-kelompok yang rentan mengalami diskriminasi, salah satunya Sejuk.
“Seingat saya ada SeJuk dan temen-teman media mendorong kearifan dalam membicarakan kelompok rentan. Contohnya agama-agama yang didiskriminasi,” ujarnya.
Terakhir, ia berpesan agar kelompok-kelompok yang rentan mengalami diskriminasi untuk tidak beranggapan merasa sendiri. Nyatanya masih ada temen-teman media yang terus mendorong ke arah inklusi.
“Banyak temen-temen media yang berupaya untuk itu, menyuarakan dan mengubah mindset-mindset mereka. Ternyata stigma-stigma itu muncul karena kurang komunikasi. Saya rasa nggak mesti aturan itu ada, toh tetap bisa berjalan dan temen-teman tetap melakukan pelatihan-pelatihan. Oleh karena itu, lebih penting mengubah mindset jurnalistik,” pungkasnya.
Editor: Rafi Assamar