Bogor (5/9/2022). Dalam rangka pembekalan dan pengetahuan tentang hukum dan penegakan hukum, Ahmadiyya Muslim Lawyers Association Indonesia (AMLA) melaksanakan pertemuan kelas pembekalan hukum kepada mubaligh-mubaligh yang akan mulai bertugas pada tahun ini.
Jemaat Ahmadiyah Indonesia baik secara organisasi maupun secara individu penganutnya seringkali mendapat tekanan, diskriminasi, dan bahkan persekusi di banyak daerah Indonesia. Untuk menghadapi hal-hal tersebut, JAI secara organisasi perlu menguatkan dan menciptakan sumber daya manusia yang paham hukum dan mampu berdaya ketika dihadapkan dengan kasus-kasus di daerah. Sementara itu, ujung-ujung tombak penyebaran Ahmadiyah ke setiap daerah adalah para mubalighin. Maka dari itu penting sekali untuk setiap mubaligh Ahmadiyah menguasai pengetahuan hukum.
Pertemuan ini dihadiri oleh 16 Mubaligh baru dan 2 pemateri dari AMLA Indonesia. Ketua AMLA Indonesia Fitri Sumarni, S.H, membawakan materi SKB 3 Menteri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus JAI dan Warga Masyarakat. Lalu materi ke-2 tentang Hak Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan yang dibawakan oleh Andi Wijaya, S.H, anggota AMLA Indonesia dan juga merupakan Direktur LBH Pekanbaru.
Acara berlangsung sekitar 2 jam dimulai dari pukul 10.00 s.d 12.00 WIB. Fitri Sumarni memaparkan, SKB 3 Menteri itu bukan hanya untuk mengatur JAI, melainkan untuk mengatur masyarakat juga dalam merespons perkembangan JAI di masyarakat. Untuk pihak Ahmadiyah melanggar SKB 3 Menteri dapat menyebabkan sanksi pidana dan pembubaran organisasi. Hal yang sama juga berlaku untuk masyarakat yang melanggar hal tersebut, yaitu dapat dikenakan sanksi pidana. Adapun perihal teknis yang mengatur SKB diatur oleh SEB (Surat Edaran Bersama) yang diterbitkan tahun 2008. Fitri juga menegaskan “Kita tidak perlu takut dipidana karena selama ini Ahmadiyah memang tidak melakukan pencemaran kepada ajaran Islam, Ahmadiyah tetap meyakini Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan Nabi Besar”. Tambahnya.
Menurut riset Setara Institute, Andi mengutip selama 12 tahun terakhir telah terjadi pelanggaran KBB sebanyak 2400 kasus, pengerusakan masjid salah satu kasus yang paling banyak diantaranya. “Itu merupakan sebuah modal penting untuk para mubaligh agar selalu waspada bisa saja sewaktu-waktu kekerasan tersebut diarahakan kepada pihak Ahmadiyah. Sebetulnya, hak kebebasan beragama dan berkepercayaan sudah dijamin didalam UUD 1945 sebagai konstitusi kita dan bahkan saat ini sudah banyak regulasi yang mengatur jaminan tersebut antara lain adalah UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (hak sipil & politik), Deklarasi Universal HAM 1948 serta juga terdapat beberapa prinsip universal yakni Prinsip Siracausa dan Prinsip Johannesburg.” Tambahnya.
Dalam pembahasan, terdapat juga regulasi yang bertolak belakang dengan semangat kebebasan beragama dan berkepercayaan di Indonesia. Yaitu UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama yang juga merupakan salah satu dasar pertimbangan terbitnya SKB 3 Menteri. Undang-undang ini kontroversial karena sampai saat ini definisi tentang “Penodaan Agama” yang dimaksud dalam undang-undang tersebut tidak jelas. Ditambah dituliskan terkait agama resmi, dengan kata lain agama atau kepercayaan yang diluar 5 agama resmi tersebut tidak diakui. Hal ini tentu bertolak belakang dengan hak beragama dan berkepercayaan yang tercantum di konstitusi sebagai non derogable rights atau hak yang tidak dapat dikurangi sedikitpun.
Kontributor : Nabil Ali Ahmad