Jakarta 24/08/2022 – Perempuan Muslim Ahmadiyah mengikuti Workshop pendalaman materi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bagi pendamping lintas iman. Perempuan Mahardika bersama Hivos (Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial) menyelenggarakan acara yang berlangsung di Hi Hotel Senen hingga Jum’at (26/8.2022).
Mutiara Ika Pratiwi, Ketua Perempuan Mahardika, menyampaikan tujuan pelatihan ini adalah, agar peserta mendapatkan pembekalan tentang keterampilan Hukum Acara dalam penanganan kasus kekerasan seksual di komunitasnya. Serta membawa bekal keterampilan yang dapat menjadi model untuk dikembangkan di komunitas masing-masing.
Pada agenda workshop, Peserta mendapat gambaran tentang alur advokasi Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Peserta juga mendapatkan pendalaman tentang latar belakang dan terobosan UU TPKS. Lantas kedepannya dapat bersinergi untuk mengawal implementasi UU TPKS dalam advokasi korban secara khusus di lingkup lembaga lintas iman. Sejak ditandatangani Presiden pada 9 Mei 2022 dan diundang-undangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 120, UU TPKS sebenarnya sudah dapat diimplementasikan. Tetapi fakta di lapangan menceritakan hal yang sebaliknya, kasus KS (Kekerasan Seksual) terus bermunculan. Urgensi tersebut sangat tepat jika melibatkan tokoh lintas iman untuk memahami kasus, aturan serta tindak lanjut penanganan demi membantu dalam implementasi baik di komunitasnya masing-masing, ataupun lingkungan di mana ia tinggal.
Narasumber yang mengisi diantaranya, Ratna Batara Munti, (Direktur LBH Apik Jawa Barat), Asni Damanik (Pengurus Asosiasi LBH Apik Indonesia), Sri Nurherawati (Yayasan SUKMA). Diawali dengan Pre-test seputar pengetahuan awal Kekerasan Seksual. Lalu para Narasumber mengisi materi diantaranya, Pengenalan Gender dan Seksualitas, Kekerasan Berbasis Gender di Indonesia, Kekerasan berbasis Gender (GBV), Teori Hukum berperspektif Gender, Proses Peradilan TPKS (Pelaporan,Penyidikan, Penuntutan dan Pemerikasaan Pengadilan), Hukum Acara UU TPKS, Alat Bukti, Reintegrasi Sosial (Hak Korban atas Pemulihan), Restitusi dan Layanan Pemulihan (Hak Korban dari Pelaku).
Atas amanat Pengurus Pusat, telah hadir Perempuan Ahmadiyah yang di wakili Sofia Farzanah, mengaku mendapatkan banyak ilmu baru. Pendalaman proses konseling, mempelajari alur menangani kasus berat yang akhirnya mendapatkan payung hukum yakni kekerasan seksual, yang mana urgensinya masih sangat tinggi di Negara Indonesia dan ditemukan kasus yang beragam. Sudah waktunya bersatu berkolaborasi untuk melindungi Indonesia. Bagaimana setiap orang dapat paham isu, mencegah, menangani dan mendampingi korban kekerasan seksual.
“Saya merasa sangat senang, terlebih selain di jelaskan tentang materi undang-undang, kita juga diarahkan bagaimana penanganan dan pendampingan korban. Ini menjadi ilmu bagi saya dalam mengadvokasi jika ada korban dengan kasus kekerasan seksual” ujar Carmelia, seorang peserta perwakilan komunitas keagamaan, yang juga seorang advokat.
Sepakat dengan anggapan tersebut, Harkintan, perwakilan agama Sikh, mengaku sangat senang, banyak ilmu yang ia terima dan bagaimana penanganan kasus kekerasan seksual yang special diantara kasus lain. Ia juga berharap selain pendampingan, pencegahan juga dapat dilaksanakan serempak di setiap komunitas atau organisasi keyakinan.
Peserta beragam datang dari perwakilan agama dan kepercayaannya. Diantaranya, Lajnah Imaillah (Perempuan Muslim Ahmadiyah), PP Fatayat Nahdlatul Ulama, PP Nasyatul Aisyiah, SGPP KWI (Sekretariat Gender Pemberdayaan Perempuan Konferensi Wali Gereja Indonesia), BPA PGI (Biro Perempuan dan Anak Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), WBI (Wanita Budhis Indonesia), PERKHIN (Perempuan Khonghucu Indonesia), WHDI (Wanita Hindu Dharma Indonesia), PUANHAYATI MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia), Komunitas Baha’i, Fathimiyyah IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia), Komunitas Sunda Wiwitan, Komunitas Sikh, Vihara Mahavira Graha Pusat, Komunitas TAO, Muslimah ABI (Ahlulbait Indonesia), Gereja Ortodoks Indonesia, Komunitas Yahudi Indonesia, Wanita Bethel Indonesia, PGPI (Persekutuan Gereja Gereja Pentakosta Indonesia), PGLII (Persekutuan Gereja Gereja dan Lembaga Injili Indonesia). Selain keragaman keyakinan tersebut, profesi yang di dominasi peserta perempuan ini sangat beragam, mulai dari mahasiswa, notaris, advokat, konselor, ibu rumah tangga, hingga pengurus pusat lembaga keagamaan.
Berbeda dengan workshop lain, rencana tindak lanjut di acara ini sangat nyata, semangat peserta terlihat dengan terealisasinya pendirian lembaga bantuan yang sifatnya gratis dan langsung didaftarkan oleh notaris yang juga mengikuti workshop. “Harapan saya, dengan adanya lembaga bantuan lintas iman ini, menjadi wadah bagi kita pegiat lintas iman membantu tanpa memandang background, mencegah dan menjadi ruang aman khususnya para perempuan yang kerentanannya sangat banyak. Saya sangat senang dengan semangat rekan-rekan semua” pungkas Hiashinta, seorang notaris, penggagas berdirinya lembaga bantuan ini.
Harapannya, agar warga negara Indonesia bisa berkarya tanpa intervensi, dan tidak ada lagi korban kekerasan seksual. Umat beragama dan berkeyakinan sudah sepatutnya saling support dan berkolaborasi untuk menjaga Indonesia semakin kuat dan maju.
Kontributor : Sofia Farzanah