Jakarta – Buddha Tzu Chi didirikan oleh Master Cheng Yen pada 1966 di Taiwan. Sejak berdiri Tzu Chi telah membantu di 126 negara dengan relawan yang sudah tersebar di 66 negara. Di Indonesia sendiri Tzu Chi telah ada sejak 1993 dan telah tersebar di 13 provinsi.
Tzu Chi merupakan lembaga sosial kemanusiaan lintas suku, agama, ras dan negara. Dengan berdasar pada prinsip cinta kasih universal, Tzu Chi membagi aktivitasnya ke dalam 4 misi utama yaitu misi amal, kesehatan, pendidikan, dan budaya humanis.
Menurut External Relations dan Partnership Manager Tzu Chi Indonesia, Andry menuturkan bahwa sebagai sebuah organisasi dengan branding Buddhis mengakibatkan timbulnya berbagai tantangan ketika di lapangan, salah satunya seperti penolakan dari warga masyarakat. Hal tersebut terjadi dikarenakan adanya ketakutan dan kecurigaan Buddhanisasi dari segelintir orangt. Selain itu juga selalu dikaitkan-kaitkan dengan perkumpulan tertentu, etnis tertentu dan pengaruh politik luar negeri Tiongkok.
“Tapi memang yang paling sering ditemui itu masalah keagamaan,” tutur Andry saat bertemu rombongan HF Indonesia di Kantor Buddha Tzu Chi di Jakarta Utara pada Kamis (2/6/2022)
Untuk meminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, ia menceritakan bila sebelum masuk ke lokasi, Tzu Chi akan mengadakan sosialisasi terlebih dahulu terkait kegiatan sosial kemanusiaan yang akan dilakukan, setidaknya kepada aparat setempat. Lebih lanjut, Andry mengungkapkan jika orang-orang yang bergabung dalam misi kemanusiaan Tzu Chi terdiri dari berbagai latar belakang agama.
“Jadi belum tentu tempat kita kerja sosial itu bisa merubah keyakinan,” ujar Andry.
Melihat kesamaan misi yang berpatokan pada kemanusiaan tanpa melihat latar belakang itulah, Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana berharap agar Buddha Tzu Chi dapat bekerja sama dengan Humanity First (HF) sebagai salah satu sayap organisasi Ahmadiyah yang juga fokus pada isu-isu sosial kemanusiaan.
“Aneh saja ketika orang takut umatnya direbut kemudian tidak mau membuka ruang-ruang perjumpaan,” ucap Yendra.
“Apalagi soal kemanusiaan,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama salah seorang Mubaligh JAI Namorambe, Maulana Nasrun Aminullah sekaligus relawan HF Indonesia yang ikut hadir dalam pertemuan di Kantor Buddha Tzu Chi mengungkapkan jika sudah ada 2 rumah belajar dengan pengelolaan secara resmi oleh HF Indonesia di Deli Serdang dan Berastagi yang telah berjalan sekitar satu tahun.
“Sebenarnya ada beberapa rumah belajar yang sudah berjalan, namun yang betul-betul di bawah HF ini baru 2,” ungkap Maulana Nasrun.
Menurutnya masih banyak anak-anak di lingkungan sekitar rumah belajar itu yang terlambat bisa membaca. Salah satu faktor yang menyebabkannya diduga karena selama 2 tahun masa pandemi banyak pembelajaran yang dilakukan secara daring.
“Apalagi masa belajar online ini banyak anak-anak SD yang sudah kelas 3, kelas 4 pun banyak yang belum bisa membaca,” kata maulana Nasrun.
“Jadi rumah belajar Humanity First ini sangat bermanfaat bagi lingkungan,” pungkasnya.