MATARAM – Beberapa hari yang lalu tepatnya pada Jumat 12 Februari 2020, warga Ahmadiyah yang mengungsi di Asrama Transito Mataram kembali menggelar kegiatan donor darah. Mereka rutin melaksanakan kegiatan serupa setiap tiga bulan sekali.
Dalam kesempatan tersebut, tercatat 43 kantong labu darah yang berhasil dikumpulkan. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan pada masa sebelum pandemi dikarenakan aturan pembatasan sosial.
Mubalig Ahmadiyah Nusa Tenggara Barat, Maulana Saleh Ahmadi menjelaskan bahwa antusiasme para pendonor tetap tinggi meskipun virus Covid-19 masih merebak. Aksi donor darah dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
“Alhamdulillah, hari ini saudara-saudara kita muslim Ahmadi di Transito begitu bergairat datang berbondong-bondong sesuai dengan petunjuk protokol kesehatan untuk melaksanakan kegiatan donor darah ini. Sehingga (darah) dari bapak-bapak ibu-ibu terkumpul begitu banyak,” kata Maulana Saleh.
Para anggota Ahmadiyah telah menempati pengungsian Transito sejak 2006 silam setelah kaum intoleran mengusir paksa mereka dari kampung halamannya. Sebenarnya status warga Ahmadi itu adalah pengungsi. Namun tak seperti pengungsi pada umumnya karena belasan tahun telah berlalu, mereka belum dapat kembali ke rumahnya sendiri.
Keadaan tersebut tidak menghalangi para Ahmadi untuk berkontribusi pada negeri ini. Terbukti dengan rutinnya donor darah massal yang mereka selenggarakan. Mereka sudah menjadikan donor darah sebagai gaya hidupnya.
Darah yang terkumpul disalurkan melalui PMI untuk memenuhi permintaan masyarakat yang membutuhkan. Para pendonor Ahmadi tersebut bahkan tidak tahu siapa yang menggunakan darahnya. Tujuan mereka hanya ingin memberi manfaat kepada orang lain secara suka rela.
Kontribusi warga Ahmadi Transito dalam mendonorkan darah nampaknya sudah cukup terkenal di wilayah Lombok. Seringkali darah mereka diminta secara tiba-tiba oleh masyarakat yang sedang membutuhkan. Bahkan pihak PMI pun senantiasa mengarahkan para pencari darah ke Asrama Transito.
“Tidak jarang (masyarakat) meminta darah para Ahmadi di pengungsian Transito, bahkan pihak PMI yang mengarahkan ke warga Ahmadiyah,” ungkap Parmono, pengurus Jemaat Ahmadiyah Cabang Mataram.
Diantara para pengungsi tersebut, ada empat Ahmadi yang telah melakukan donor darah lebih dari seratus kali, diantaranya Parmono, Sarim Ahmadi, Sulaeman Ahmad Damanik dan Abdul Hadi. Kiprah mereka itu diakui oleh PMI dan Pemerintah Daerah (Pemda). Pihak Pemda menghadiahi mereka dengan mengundang makan bersama.
Selain itu juga terdapat belasan orang yang sudah mendonorkan darahnya lebih dari lima puluh kali. Ketika sudah tiga bulan berlalu setelah melakukan donor darah, jiwa warga Ahmadiyah seakan terpanggil untuk kembali berdonor.
Tak jarang diantara mereka meraih kenikmatan tersendiri setelah mendonorkan darahnya. Bukan hanya dalam sisi psikologi karena telah memberikan manfaat kepada orang lain, namun juga merasakan badan yang lebih sehat.
“Mayoritas para Ahmadi yang sudah mendonorkan darah badannya terasa ringan. Kalau tidak didonor badan terasa berat dan sakit-sakitan,” tambah Parmono.
Selain donor darah, warga Ahmadiyah Transito dan anggota Ahmadiyah Mataram juga telah mengadakan aksi sosial lain, seperti sunatan massal, pengobatan gratis, hingga cukur rambut gratis. Bahkan saat Lombok tertimpa musibah gempa bumi pada 2018 silam, mereka juga turut aktif menyalurkan bantuan kepada para korban.
Status para Ahmadi Transito sebagai pengungsi di negeri sendiri nampaknya tidak menyurutkan semangat untuk terus berkontribusi kepada sesama. Kesulitan yang selama ini mereka alami saat mengungsi sejenak dilupakan ketika misi kemanusiaan telah memanggilnya. Prinsipnya, gejolak pengkhidmatan harus senantiasa mereka kobarkan. (Mubarak)