Di Indonesia, sebagai contoh, kelompok minoritas agama, seperti Ahmadiyah, Bahai, Kristen dan Syiah, menghadapi serangan fisik dari kelompok militan Islam yang sedikit sekali mendapatkan perhatian pemerintah.
TEMPO.CO, Jakarta – Pelapor khusus PBB tentang kebebasan berkumpul dan berorganisasi, Maina Kiai, menyampaikan keprihatinannya atas situasi hak berkumpul masyarakat minoritas di Indonesia yang seringkali tidak dijamin oleh negara. Maina Kiai menyatakan keprihatinannya tersebut saat membacakan laporannya di hadapan peserta Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-26, Senin, 10 Juni 2014.
Ia kemudian menyinggung tentang diskriminasi yang dialami oleh kelompok minoritas agama di Indonesia dalam menyuarakan hak mereka untuk berkumpul. “Di Indonesia, sebagai contoh, kelompok minoritas agama, seperti Ahmadiyah, Bahai, Kristen dan Syiah, menghadapi serangan fisik dari kelompok militan Islam yang sedikit sekali mendapatkan perhatian pemerintah”, kata Maina.
Pelapor khusus PBB ini juga mengungkap keprihatinannya tentang lemahnya penegakan hukum untuk melindungi hak setiap orang untuk berkumpul bagi kelompok agama minoritas. “Walaupun putusan Mahkamah Agung telah memberikan hak kepada GKI Taman Yasmin untuk membangun rumah ibadah di Bogor, Jawa Barat, pemerintah lokal menyegel bangunan tersebut pada tahun 2010. Sejak saat itu, para jemaat gereja dilarang untuk mendapatkan akses terhadap gereja mereka sendiri,” tulis Maina dalam laporannya.
Komunitas Korban dan Pendamping Korban kepada wartawan, Selasa, 10 Juni 2014 menjelaskan laporan Maina berangkat dari sejumlah keprihatinan yang muncul dari proses di PBB sebelumnya dan belum mampu diselesaikan oleh negara secara komprehensif. “Untuk itu pula, korban dan pendamping korban mendesak pemerintah Indonesia agar lebih memperhatikan masalah tersebut dan memandang permasalahan ini sebagai suatu yang mendesak dalam membangun masyarakat Indonesia yang demokratis dan manusiawi,” ujar Komunitas itu dalam pernyataan persnya.
Muhamad Subhi dari the Wahid Institute, anggota Komunitas Korban dan Pendamping Korban, menjelaskan Indonesia selalu mendapat rapor merah di PBB. Rapor ini, ujarnya, sebagai cerminan akurat akan situasi nasional. “Syukurnya korban-korban di Indonesia tidak diam. Sayangnya, saat ini juga di pihak para penyelenggara negara ada yang mencoba membuat persoalan ancaman intoleransi di Indonesia ini sebagai persoalan Indonesia saja tanpa pantauan dunia internasional,” ujar Subhi.
Selain itu, kata Subhi, pejabat negara banyak yang mempertanyakan advokasi internasional karena dianggap sebagai tindakan yang mempermalukan Indonesia. Korban dan para pendampingnya diperlakukan sebagai ancaman yang dapat mempermalukan bangsa. “Padahal, pelaporan ke dunia internasional terjadi karena ada kebuntuan di nasional, keengganan di tingkat nasional untuk sungguh-sungguh menyelesaikan ancaman intoleransi.” (Baca:PGI Nilai Yudhoyono Melanggar Konstitusi)
Juru bicara GKI Yasmin Bona Sigalingging mengatakan pemerintah Indonesia tidak berniat menyelesaikan intoleransi. Yang ada hanya penyangkalan dengan cara mengecilkan persoalan. “SBY gagal total, tanpa kita tahu apakah SBY berniat menyelesaikan ini dalam sisa pemerintahannya,” kata Bona. Bila SBY tetap diam, ia melanjutkan, maka yang dilakukan adalah transfer persoalan ke presiden berikutnya.
Adapun janji calon presiden Prabowo Subianto melalui adiknya, Hasyim Djojohadikusumo, di hadapan komunitas Kristen di Indonesia di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta beberapa waktu lalu, menurut Bona, level putusan Mahkamah Agung dan Ombudsman lebih tinggi daripada janji jualan dalam kampanye pemilu presiden.
“Putusan MA dan Ombudsman adalah perintah hukum bagi semua capres, bukan sesuatu yang dapat dikompetisikan bahwa bila capres A menang akan dibuka gereja GKI Yasmin, tapi kalau capres B menang maka GKI Yasmin tidak dibuka. Tidak seperti itu. Gereja GKI Yasmin harus dibuka sesuai hukum dan konstitusi siapa pun presiden masa depan Indonesia,” kata Bona. (Baca:Ahmadiyah Tolak Manifesto Gerindra)
Direktur Eksekutif Human Rights Working Group Rafendi Djamin mengatakan dalam kurun waktu dua tahun terakhir, Indonesia sudah empat kali dimasukkan dalam catatan buruk PBB terkait dengan perlindungan bagi kelompok minoritas. Pertama, saat Sidang Universal Periodic Review (UPR) pada tahun 2012. Kedua kalinya, dalam sidang review hak sipil politik 2012. Selanjutnya, sebulan lalu di Komite HAM PBB utk Hak Sosial dan Budaya. “Indonesia juga disoroti berapor merah dalam kaitan perlindungan minoritas.” (Baca:Komnas HAM: Aliansi Tak Berhak Larang Ajaran Syiah).
Terakhir, di bulan Juni 2014, Indonesia diberi lagi rapor merah dari sudut penilaian hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan berorganisasi, dimana dalam konteks ini pun Indonesia dianggap gagal oleh Dewan HAM PBB untuk melindungi kelompok minoritasnya. Terutama, sebagaimana disebutkan secara spesifik, kelompok Ahmadiyah, Syiah, Jemaat Gereja GKI Yasmin, dan Bahai. “Pemerintahan SBY gagal total di PBB dalam soal ini dan bahkan kini Indonesia dalam keadaan darurat nasional dalam kebebasan beragama yang mengancam demokrasi Indonesia,” kata Rafendi.
MARIA RITA HASUGIAN