KASUS kekerasan terhadap Syiah, Ahmadiyah, penutupan dan pelarangan pembangunan tempat ibadah tidak boleh terjadi lagi ke depan. Negara tidak boleh kalah oleh segelintir orang. “Kasus GKI Yasmin di Bogor itu melecehkan negara. Bagimana mungkin putusan MA kalah oleh lurah dan camat. Negara terlalu lemah,” serunya.
Pelaku pengotak-kotakan masyarakat berdasarkan SARA adalah elite politik.
JALALUDDIN Rahmat, Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), sebelumnya tak pernah berpikir untuk menjadi politikus.
Pekerjaannya sebagai pengajar lebih banyak menyedot usianya. Mengajar dan menulis telah menjadi bagian hidupnya. Puluhan buku telah ia hasilkan. Semua gagasannya dituangkan dengan mengajar dan menulis.
Namun, tiga hari jelang penutupan daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif (caleg) Pemilu 2014, ia ditelepon pejabat teras Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP).
“Pak, PDIP membutuhkan sosok Anda. Kami butuh orang Sunda di PDIP. Pilihannya Anda,” kata Kang Jalal, sapaan akrabnya, menirukan sekelumit pembicaraannya dengan pejabat DPP PDIP tersebut kepada SH di Taman Ismail Marzuki (TIM) akhir pekan lalu.
Jalaluddin, yang merahasiakan nama pejabat teras DPP PDIP itu, kaget dan bingung. Ia meminta waktu setidaknya sehari untuk berpikir, apakah mengiyakan atau tidak, sekaligus melakukan salat istikharah. Pejabat PDIP tersebut kemudian menyetujui.
“Saya bilang, ini terlalu revolusioner. Saya harus pertimbangkan dengan baik dulu,” kata penerima beasiswa Fulbright di Iowa State University, Amerika Serikat, jurusan Komunikasi dan Psikologi tersebut.
Ia menyadari posisinya sebagai pemimpin aliran Syiah Indonesia, aliran yang banyak ditentang sekelompok orang di Tanah Air. Terjun ke dunia politik tentu mendapat tantangan dan risiko tinggi.
Sehari kemudian ia ditelepon lagi oleh pengurus DPP PDIP, menanyakan hasil permenungannya.
“Ya, saya ambil kesempatan ini,” ujarnya menjawab. Ia yakin itu pilihan yang perlu diambil.
Namun, dalam kesempatan itu, ia menjelaskan juga kesulitan yang mesti dihadapi dalam proses pencalonan yang singkat. Mulai harus mengurus dokumen dalam waktu singkat, penyiapan biaya kampanye, hingga membuat jaringan karena posisinya bukan kader yang berkeringat membesarkan partai.
Apalagi, oleh DPP PDIP ia langsung diberi tahu mendapat nomor urut satu di daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat (Jabar) II (Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat).
“Saya tahu ini adalah salah satu jalan saya memperjuangkan Syiah dan komunitas lain yang dianggap minoritas. Serangan terhadap minoritas di Jawa Barat sangat tinggi, apalagi Kabupaten Bandung dan Bandung Barat ini,” katanya.
PDIP meyakinkannya dokumen pencalonan akan diurus tim DPP PDIP. Kampanye menggunakan dana seadanya, tidak boleh terlibat politik uang.
Berapa pun suara yang akan diraih tak terlalu penting, namun ia harus ikut. Ia berkesempatan untuk berbicara dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan dijelaskan alasan mengapa ia perlu ikut dalam partai politik.
Pendekatan Kultural
Dapil Jabar II dikenal sebagai basis massa Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan pendukung kuat kelompok salafi (radikal).
Namun, pendiri Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab ini, tak takut. Bahkan, sejak memutuskan menjadi caleg, ia yakin akan dapat meraih suara terbanyak.
Kepada caleg PDIP sedapil, ia berkoordinasi dan meminta agar hanya menggarap massa di lokasi yang tidak bisa digarap PDIP, yang dianggap sudah menjadi basis massa partai lain.
“Saya lakukan pendekatan kultural. Saya hanya memiliki tim Laskar 14. Artinya nomor urut 1 untuk Partai Nomor 4 dalam Pemilu 2014. Hasilnya, banyak orang yang secara sukarela dukung saya,” ucapnya.
Ia tidak membuat kaus, stiker, atau spanduk secara khusus. Semua atribut kampanyenya dikerjakan orang lain yang tidak diketahuinya. Tak heran kalau kaus dan stikernya pun bermacam-macam model dan warna. Bahkan, ada pula yang mengejeknya. Namun, ia tak mau menyebut hal terakhir sebagai bagian dari serangan oleh lawan politiknya.
Dari penghitungan suara secara manual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ia meraih sekitar 56.000 suara, peraih suara terbanyak untuk caleg di Jabar II.
“Saya, kalau dibilang menang di kandang macan, di tempat kelompok (Islam) salafi mengklaim paling kuat. Tapi bagi saya ini menegaskan tidak ada diskriminasi, tidak ada pengotak-kotakan di kalangan masyarakat akar rumput. Diskriminasi dibangun kelompok elite yang memiliki kepentingan dengan mengeksploitasi masyarakat akar rumput,” tuturnya.
Sambutan di internal PDIP atas raihan suaranya sangat menggembirakan. Ia berharap dapat menjalankan tugasnya sebagai anggota DPR periode 2014-2019 dengan baik. Kerja partai politik merupakan hal baru untuknya. Namun, cara untuk meyakinkan massa bukan hal baru, sebab sehari-hari pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, UNPAD-Bandung tersebut juga aktif berdakwah.
Ia mengakui, kemenangannya di Jabar II telah membuat beberapa kalangan panik, khususnya kelompok salafi. Beberapa saat setelah penghitungan suara di KPU Jabar yang memperlihatkan ia terpilih sebagai anggota DPR, muncullah deklarasi Aliansi Anti-Syiah.
“Saya tahu itu dengan baik. Ya, biasalah. Ada yang kalah dalam politik lalu membuat gerakan, kan biasa saja. Itu realitas politik kita. Itu cara terbaik saat orang kalah, menyalahkan orang lain,” katanya.
UU Perlindungan Warga Negara
Di DPR nanti, Kang Jalal berupaya mengusulkan adanya UU Perlindungan Warga Negara. Dengan UU tersebut, negara harus melindungi apa pun agama yang dianut seseorang. “Tidak cuma mendapat kebebesan beragama, tetapi negara juga harus melindungi agar tidak terjadi kekerasan beragama. Negara harus kuat, tidak boleh lemah seperti sekarang,” ujarnya menegaskan.
Negara tidak berhak memutuskan sebuah agama salah dan harus dihapuskan, serta hanya agama tertentu yang diakui benar. Keyakinan beragama harus menjadi urusan privat seseorang. Negara hanya ikut ambil campur jika mengganggu ketertiban umum. “Saya tak bisa hindari bahwa saya memperjuangkan kelompok dalam hal ini. Tapi, itu karena saya yakin sesuai dengan konstitusi negara kita,” ucapnya.
Kasus kekerasan terhadap Syiah, Ahmadiyah, penutupan dan pelarangan pembangunan tempat ibadah tidak boleh terjadi lagi ke depan. Negara tidak boleh kalah oleh segelintir orang. “Kasus GKI Yasmin di Bogor itu melecehkan negara. Bagimana mungkin putusan MA kalah oleh lurah dan camat. Negara terlalu lemah,” serunya.
Negara tidak boleh mengelabui warga negara seperti yang terjadi pada jemaah Syiah Sampang, Madura. Negara menjanjikan akan mengembalikan ke kampung halaman, namun dalam pelaksanaannya tidak ada. Malah jemaah yang tinggal di pengungsian diusir dan tidak diberi fasilitas hidup yang layak.
“Kalau pengungsi itu sekarang berkurang dan tidak ada, itu karena mereka terpencar ke berbagai tempat, mencari keluarganya masing-masing. Masalah Syiah di Surabaya itu karena pencarian dukungan politik jelang pemilihan kepala daerah. Setelah pilih kepala daerah, tidak ada lagi, kan?” katanya.
Ya, masalah agama selalu dipolitisasi di negara ini.
Sumber: Sinar Harapan
karena ada yang ngajak kali, beraninya hihihi