MENANGGAPI beberapa celetukan di media sosial yang memberinya ucapan selamat sekaligus mempertanyakan sikapnya atas beberapa isu yang mencuat akhir-akhir ini, soal Syiah dan Ahmadiyah misalnya, Din memberikan jawaban diplomatis.
“Ini masalah yang orang per orang beda pendapat,” kata Din mengawali jawabannya. “Namun, dalam perspektif Islam, sederhana dan mudah saja, karena sudah ada kriteria dan benchmarking Islam itu apa. Lihat itu saja, dengan tetap mengedepankan kesatuan, tidak ada kekerasan, tak mudah membuat penafsiran.”
Selain itu, imbuh Din, peningkatan wawasan umat dan publik juga harus terus didorong. “Untuk menghindari perpecahan dan kekerasan yang sangat ditentang semua agama, agama apa pun.”
—
JAKARTA, KOMPAS.com — Rapat Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, Selasa (18/2/2014), memutuskan mengusulkan Din Syamsuddin mengisi posisi ketua umum MUI yang ditinggalkan almarhum KH Sahal Mahfudz. Meski belum definitif, peralihan kepemimpinan dari “gaya” Nahdlatul Ulama ke Muhammadiyah ini menurut Din tak perlu dikhawatirkan.
“Bukan kali pertama (tokoh) Muhammadiyah menjadi ketua umum MUI. Biasa saja,” kata Din, saat dihubungi melalui telepon, Rabu (19/2/2014) pagi. Dia menyebutkan beberapa tokoh Muhammadiyah yang sudah pernah memimpin lembaga ini, seperti Buya Hamka dan Hasan Basri.
Dalam kesempatan itu, Din mengatakan keputusan dia menggantikan almarhum KH Sahal Mahfudz yang mangkat pada Jumat (24/1/2014) baru pada tataran keputusan Dewan Pimpinan MUI. Dia tak menampik Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI memang mengatur ketika ketua umum berhalangan tetap, wakilnya akan menggantikan.
“Tapi, keputusan dewan pimpinan ini tetap harus dibawa dulu ke rapat paripurna. Belum benar-benar definifitif sekarang,” ujar Din. Rapat paripurna melibatkan Dewan Penasihat MUI, yang bila digabungkan dengan Dewan Pimpinan MUI akan diikuti oleh sekitar 90 orang.
Soal beda pendapat
Din menegaskan pula, sekalipun dia berasal dari Muhammadiyah, bukan berarti kebijakan MUI akan otomatis mengikuti garis organisasinya itu. Disinggung soal beberapa “kegagalan” MUI menetapkan awal Ramadhan, misalnya, Din berpendapat hal itu bukan persoalan mendasar.
“Perbedaan di aturan turunan, biasa saja. Selama perbedaan pendapat berada di wilayah ‘cabang’, bukan persoalan pokok, ada banyak perbedaan dan itu biasa saja,” tegas Din. Harus diingat, kata dia, MUI adalah organisasi ibarat tenda besar umat Islam di Indonesia, yang tentu saja tak semuanya Muhammadiyah. “Harus mengayomi semuanya.”
Menanggapi beberapa celetukan di media sosial yang memberinya ucapan selamat sekaligus mempertanyakan sikapnya atas beberapa isu yang mencuat akhir-akhir ini, soal Syiah dan Ahmadiyah misalnya, Din memberikan jawaban diplomatis.
“Ini masalah yang orang per orang beda pendapat,” kata Din mengawali jawabannya. “Namun, dalam perspektif Islam, sederhana dan mudah saja, karena sudah ada kriteria dan benchmarking Islam itu apa. Lihat itu saja, dengan tetap mengedepankan kesatuan, tidak ada kekerasan, tak mudah membuat penafsiran.”
Selain itu, imbuh Din, peningkatan wawasan umat dan publik juga harus terus didorong. “Untuk menghindari perpecahan dan kekerasan yang sangat ditentang semua agama, agama apa pun.”
Bila rapat paripurna MUI menguatkan keputusan Dewan Pimpinan MUI dan mengukuhkannya menjadi Ketua Umum MUI, kata Din, dia berkeyakinan perbedaan di luar hal pokok akidah tak akan menjadi kendala. “MUI itu sudah punya watak dan perspektif dasar,” ujar dia.
Perbedaan pendapat, tegas Din, adalah hal yang pasti terjadi. Bahkan, sebut dia, pada masa Rasulullah SAW. “Ada yang perlu disikapi keras, ada yang tidak. Keras itu pun dalam konteks tegas kalau soal prinsip, yang itu pun tetap bisa didialogkan. Itulah agama. Apalagi Islam itu tak hanya perdamaian dan kasih sayang, tetapi juga keadilan,” papar dia.
Penulis: Palupi Annisa Auliani; editor: Palupi Annisa Auliani