Sebuah masjid dan sebuah perkumpulan Islam sedang berkembang di Kepulauan Marshall, Islam yang menunjukkan sebagai sumber kebaikan dalam masyarakat.
MAJURO, Kepulauan Marshall – Berada di sisi jalan yang tenang di pusat kota Majuro, bangunan putih dua lantai dengan lis biru muda, hampir tak yang ada yang menonjol selain dua menara yang berbentuk roket ramping menjulang ke langit. Seperti sebuah rumah besar, bangunan dikelilingi dengan pagar yang atasnya dilengkapi dengan kawat berduri, dan dibawahnya terdapat tanda yang bertuliskan “Love for all — hatred for none.”
baca juga: [feed url=”http://warta-ahmadiyah.org/tag/maret-2017/feed/” number=”3″]
Selamat datang di Baet-Ul-Ahad, satu-satunya masjid di Kepulauan Marshall. Mekah mungkin lebih dari 8000 mil jauhnya, tetapi tulisan Arab yang terukir indah di atas pintu depan mengumumkan ini sebagai rumah ibadah umat Islam di negara kepulauan yang terpencil tersebut.
Tak lama sebelum shalat Jumat, saya ditemui oleh imam masjid, laki-laki muda berkacamata yang berusia sekitar 30-an dengan jenggot yang dipangkas rapi. Matiullah Joyia, mengundang saya ke kantornya dimana ia memperkenalkan Jemaat Ahmadiyah Kepulauan Marshall.
Saat Joyia tiba di tahun 2012, ada sekitar 12 Muslim di negara ini. Ia mengatakan pembangunan masjid ini dipandang dengan ketakutan dan kecurigaan, dan masih teringat saat hari peresmian Masjid, sisi bangunan yang bertuliskan ayat Al-Qur’an dilempari dengan telur. Kaleng bir kosong digunakan untuk mengotori gerbang.
“Itu merupakan pesan untuk kami, bahwa ‘Anda tidak diterima’ Itu adalah hari pertama saya,” Kenang Joyia.
Empat setengah tahun kemudian Jemaat Muslim Ahmadiyah mendapatkan pijakannya sebagai minoritas kecil di negara dimana misionaris United Church of Christ telah mendirikan Gereja pertama kali di Kepulauan Marshall pada tahun 1857. Saat ini Majuro telah memiliki lebih dari 30 gereja yang melayani Protestan UCC, Katolik, Mormon, Baptis, Advent Hari Ketujuh, Majelis Allah – paling sedikit ada selusin golongan agama Kristen – serta komunitas Baha’i.
Dalam Islam, Ahmadiyah adalah sekte yang relatif baru, didirikan pada tahun 1889 di negara yang dikenal sebagai daerah Punjab di India oleh seorang yang bernama Mirza Ghulam Ahmad. Para pengikut Ahmadi mengakui beliau sebagai Imam Mahdi, yang diutus sebagai wujud metafora kedatangan Nabi Isa kedua kali guna “mengakhiri peperangan agama, mengutuk pertumpahan darah dan menghidupkan kembali akhlak, keadilan dan perdamaian.”
Joyia mengatakan Jamaah Ahmadiyah menekankan untuk hidup berdampingan dengan damai dan tidak membenarkan kekerasan atas nama agama. Satu-satunya yang diterima dari jihad atau “berjuang”, jelas Ahmad, adalah berjuang dengan pena. Jihad yang lebih besar, beliau katakan, adalah melawan keburukan dalam diri sendiri.
Meskipun demikian, para Ahmadi menghadapi sejarah diskriminasi dan penganiayaan oleh muslim, terutama di Pakistan, Bangladesh dan Indonesia. Pada tahun 1974 amandemen untuk konstitusi Pakistan, Ahmadi dinyatakan sebagai non-Muslim dan sejak 1980an mereka dikenakan hukuman yang lebih buruk, bahkan hanya untuk menyatakan diri sebagai muslim, dalam penampilan atau perbuatan.
Ahmadi bersikap dengan tidak membalas atau menyerang kembali, Joyia berkata, “Kami percaya pada Nabi Muhammad seperti yang mereka percayai.”
Dituduh sesat, puluhan juta Ahmadi menyebar ke seluruh dunia, dengan komunitas terbesar di Eropa, Amerika Utara dan Afrika Barat. Saat ini pusat Ahmadiyah Internasional berada di London.
Love For All, Hatred For None
Joiya menjelaskan bahwa Baet-Ul-Ahad menampung sekitar 120 muslim Marshall dan Muslim pendatang seperti nelayan Indonesia yang sesekali melewati Majuro. Saat ia menjelaskan Adzan terdengar mengudara di sore hari yang lembab.
Joyia yang lahir di Pakistan dan tumbuh di Ontairo, Kanada, mengawasi kegiatan di masjid sehari-hari seorang Imam lainnya, Feroz Hundal, yang juga imigran dari Pakistan ke Kanada sebelum datang ke Majuro tiga tahun yang lalu.
Joyia dan Hundal bersama-sama memimpin upaya Ahmadiyah seperti pelatihan pelatihan komputer, misi kesehatan dari Amerika, gerakan donor darah, proyek pendidikan dan pertanian serta program ketenagakerjaan. Upaya ini, kata Joyia, membantu menghilangkan kesalahpahaman dan menunjukkan bahwa berada di Kepulauan Marshall sebagai sumber kebaikan.
2016, Joyia mengorganisir sebuah Konferensi Agama-Agama Dunia di Majuro yang bertema “Bagaimana Agama Dapat Melindungi Lingkungan Hidup,” yang dihadiri lebih dari 250 peserta dan pembicara yang mewakili Islam, Kristen, Yahudi, Hindu dan Ateis.
Joyia memandang komunitasnya memainkan peran penyembuhan dimana masyarakat Marshall jauh dari keseimbangan: penyalahgunaan obat dan alkohol, gangguan dalam pernikahan dan keluarga, bolos dari sekolah.
Menekankan pentingnya pendidikan di kalangan umat Islam, Joyia menambahkan, “Saya pikir jika masyarakat memeluk dan mengikuti Islam, mereka akan mendapatkan kemajuan yang menjanjikan di masa depan.”
Dari kantornya, joyia membawa saya ke luar di mana kami menaiki sebuah tangga yang sempit ke sebuah lorong gedung ibadah menghadap ke lautan di mana laki-laki dan anak kecil beribadah (wanita berdoa secara terpisah di lantai bawah).
belasan laki-laki tanpa alas kaki mendengarkan Joyia yang sedang menyampaikan khutbah mengenai tujuan penciptaan manusia sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an. Saat khutbah diterjemahkan ke dalam bahasa Marshall, kipas berputar di atas langit-langit terdengar nyaring. Di luar, hujan badai bergerak cepat dari lautan, menghempas atap seperti gelombang dari atas.
Paman Sam Mendapatkan Masjid
Setelah kegiatan ibadah tersebut, dua anggota dari jamaah, berbicara melalui seorang penerjemah, tentang bagaimana dan mengapa mereka bergabung dalam Jamaah Ahmadiyah.
Wanita pertama bernama Moreen Mission yang meminta dipanggil dalam nama Islamnya, Maryam. Saat Maryam mendengar tentang masjid, ia memutuskan untuk “mempelajari, membandingkan dan belajar lebih banyak.”
Meskipun dia telah menghadapi diskriminasi sebagai seorang muslim, dua tahun setelah dia rajin datang ke masjid, Maryam mengatakan bahwa ini adalah tempat dimana ia menemukan arti Tuhan sebenarnya.
Seperti halnya Maryam, Sam “Ali” Nena adalah seorang mualaf. Lahir di kepulauan Polinesia kecil di Tuvalu, Paman Sam – panggilan kesayangannya – telah tinggal di Kepulauan Marshall sejak 1960. Dia mengatakan pertama kali mempelajari Islam dari mubaligh Ahmadiyah yang berkunjung ke Majuro dari Fiji pada tahun 1980. Pada tahun 1987 Paman Sam menjadi mualaf. Istrinya menghibahkan tanah dimana Masjid berdiri saat ini.
Hingga tahun 1980-an, Paman Sam tetap menjaga hubungannya dengan Jamaah Ahmadiyah dan ia orang pertama yang mengajurkan untuk mendirikan masjid di kepulauan Marshall. Saat ia menggambarkan bagaimana ia didiskriminasi dan dicela di depan umum, dia tidak menunjukkan tanda kemarahan, malah ia tersenyum lembut.
Selama lima tahun di Kepulauan Marshall, Jamaah Muslim Ahmadiyah secara bertahap diterima dan dipahami.
Hilary Hosia, seorang jurnalis Marshall yang meliput Jamaah Ahmadiyah, melihat bahwa berkurangnya penentangan karena penduduk Kepulauan Marshall menjadi lebih akrab dengan kelompok tersebut dan menyaksikan bahwa kelompok tersebut mengorganisir dan memperkenalkan kegiatan seperti turnamen bola basket, les untuk siswa, dan proyek membawa panel surya dan memperbaiki kebersihan untuk warga lanjut usia dan rentan. Akhirnya Hosia berpikir kehadiran umat Islam menjadi biasa, mirip dengan pemandangan langka biarawati Katolik dahulu.
Ketika ditanya apakah Kristen dan Islam dapat hidup berdampingan, Joyia mengatakan, “Kami percaya bahwa Islam adalah salah satu agama yang paling toleran dan menegakkan kerukunan,”. Dengan mengutip Al-Qur’an ia mengatakan, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku”
Dia melanjutkan, “Kami mungkin memiliki perbedaan, tapi seharusnya itu tidak menghalangi kita dalam melayani kemanusiaan, mulai dengan menjadi masyarakat yang baik dan menjalin hubungan yang baik.
Anda dapat melihat secara singkat shalat jum’at di Baet-Ul-Ahad dalam video ini.
__
Tentang penulis: Jon Letman adalah seorang jurnalis independen dari Kauai. Dia menulis tentang politik, masyarakat dan lingkungan di wilayah Asia-Pasifik.
Sumber : CIVIL BEAT
Alih Bahasa : Lisnawati
Editor: Lisa Aviatun Nahar