Disampaikan dalam Simposium Perdamaian Nasional di Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah pada 21 Oktober 2017
وَإِذ قالَ إِبراهيمُ رَبِّ اجعَل هٰذا بَلَدًا آمِنًا وَارزُق أَهلَهُ مِنَ الثَّمَراتِ مَن آمَنَ مِنهُم بِاللَّهِ وَاليَومِ الآخِرِ
”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” (Surah al-Baqarah ayat 126)
Sebagai Amir (Ketua Umum) Jamaah Muslim Ahmadiyah Indonesia, saya berupaya menguraikan sejelas mungkin mengenai Perspektif Islam dalam Mencintai Bangsa. Tentu saja dalam waktu yang telah dibatas 20 menit menjadi tidak mungkin bagi saya untuk mencakup semua ajaran Islam. Maka dari itu, saya akan membatasi saja dalam beberapa aspek bahasan.
Beberapa hal penting yang ingin saya sampaikan ialah pertama: contoh peranan beberapa tokoh agung di berbagai agama dan kitab suci menyikapi perilaku bangsanya atau penguasa bangsanya dan peran mereka demi keselamatan dan kesejahteraan bangsanya atau penduduk tempat mereka tinggal. Kedua, secara lebih khusus lagi, bagaimana Islam mengajarkan kita hidup dalam sebuah bangsa atau negara tempat lahir atau tempat tinggal, menyintai, bersikap secara ideal dan bersumbangsih.
Meneguhkan Kembali Commond Ground
Akhir-akhir ini muncul bahasan tentang simbol-simbol persatuan Bangsa dan Negara yang dipersempit dengan istilah-istilah keagamaan tertentu. Misalnya sila pertama dalam Pancasila dibatasi hanya milik golongan agama tertentu saja. Meski opini tersebut disampaikan dalam kerangka kritik terhadap Perppu Ormas (organisasi masyarakat), namun penyampaian opini di luar sidang MK dan dalam wawancara pers tersebut cukup menimbulkan reaksi keras dari masyarakat non Muslim. Apalagi antara organisasi masyarakat dengan agama tentu tidak sama. Imam Masjid Istiqlal pun memberikan reaksi dan juga penjelasannya.
Dari peristiwa tersebut, kita melihat segelintir anak bangsa yang secara tersirat memberikan pengutamaan terhadap agamanya atau lebih sempit lagi, pemahamannya sendiri atas agamanya sebagai tolok ukur hak hidup di Negara yang kita cintai ini, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seolah-olah bila pemahaman agama seseorang tidak sesuai dengan pemikiran keagamaan orang tersebut, maka itu menjadikan hak hidupnya hilang di NKRI ini. Dari sudut pandang kebangsaan dan juga keislaman, ini amat memprihatinkan kita bahwa seseorang ada yang berpandangan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam perpektif Islam-lah yang menjadikan tolok ukur boleh-tidaknya seseorang hidup dan tinggal di Indonesia.
Dalam sejarah Nabi Muhammad saw, ada beberapa perjanjian yang beliau lakukan dengan pemeluk non Islam. Saat baru tinggal di Madinah, beliau saw mengadakan perjanjian dengan penduduk Madinah dari berbagai suku, kabilah dan bahkan pemeluk agama lain, yaitu Yahudi.
Dalam perjanjian Hudaibiyah, beliau mengadakan perjanjian dengan penduduk Quraisy dari kota Makkah yang masih menyembah berhala. Umumnya orang-orang yang menolak Nabi dari kalangan Quraisy punya kepercayaan Allah mempunyai putra-putri (dewa-dewi).
Dalam kedua perjanjian tersebut, nama Allah dituliskan, tanpa ada perdebatan Allah dalam perspektif mana yang dimaksud. Semua sepakat, Dia adalah Tuhan Semesta Alam. Soal perbedaan perspektif tentang sifat-sifat Allah, cara beribadah dan penjelasan mengenai keesaan Allah dan sebagainya tidak menjadi persoalan dalam kesempatan perjanjian tersebut. Sebaliknya, dalam konteks hubungan antar komponen masyarakat, perjanjian antara bangsa atau golongan masyarakat, justru persoalan akan bertambah dan berlarut-larut bila persoalan itu dimunculkan.
Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno (Bung Karno) sebagai salah satu founding father Indonesia mengatakan bahwa masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan sesuai dengan Tuhannya sendiri. “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya,” jelas bung Karno seperti yang dilansir Surat Kabar Kedaulatan Rakyat (KR) Jogja (Krjogja) 1 Juni 2017 yang diambil dari Harian Kedaulatan Rakjat edisi Juni 1964.
Pada hari cikal bakal lahirnya Pancasila NKRI tersebut, Bung Karno juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain, “Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” – Bung Karno, 1 Juni 1945.
Dengan demikian, dari kedua contoh tersebut, Common Ground telah diletakkan dasarnya dalam kehidupan Nabi Muhammad saw sebagai pendiri agama Islam dan juga oleh Bung Karno, selaku salah seorang pendiri negara ini. Common Ground dimaknai sebagai a basis agreed to by all parties for reaching a mutual understanding atau “Sebuah dasar (pondasi) dari kepentingan atau persetujuan yang saling menguntungkan”.[1]
Berdasarkan pengertian ini, diperlukan adanya kepentingan ataupun kesepakatan yang saling menguntungkan sebagai dasar dalam menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi, yang hasilnya sama-sama menempatkan kedua belah pihak sebagai pemenang bersama. Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila ialah Common Ground yang menyokong tetap berdirinya negara ini.
Topik Nasionalisme dalam Perspektif Agama-Agama
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan nasionalisme sebagai 1 paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan: — makin menjiwai bangsa Indonesia; 2 kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.
Topik kebangsaan dalam perspektif agama atau tokoh agama bukanlah sebuah topik yang baru karena telah sejak lama disebutkan dalam Kitab-Kitab suci berbagai agama. Merujuk pada arti yang disebutkan dalam KBBI, berbagai tokoh agama yang disebut namanya dalam Kitab-Kitab Suci dunia tidak asing lagi dengan kecintaan terhadap tanah air, tempatnya tinggal dan bangsanya. Dalam Perjanjian Lama, Kejadian pasal 14, sosok Abram (Abraham) pun terpaksa berperang dengan sekelompok raja demi menyelamatkan keluargaanya, Lot (Luth) dan juga menghentikan aksi gangguan raja-raja tersebut.
Musa dalam Perjanjian Lama membawa bangsanya, Israel menuju sebuah tempat yang dijanjikan. Beberapa waktu setelah selamat dari kejaran pasukan Mesir, mereka pun diganggu oleh bangsa Amalek, sehingga demi melindungi bangsanya, mereka berperang. Inilah wujud nasionalisme dalam arti menyintai bangsa dan melindunginya.
Kitab Ramayana dan Mahabharata pun tidak sepi dari kisah kecintaan terhadap tanah air. Rama membantu Sugriwa memerdekakan negerinya. Kedua Kitab tersebut juga menyebutkan beberapa tokoh yang diceritakan dengan sudut pandang positif, seperti Prahasta (patih pihak Rahwana), Bisma (senapati Kurawa), Arjuna (pihak Pandawa yang mendapat bimbingan Kresna).
Dalam riwayat Sang Buddha, kita menemukan bahwa beliau pernah melindungi keselamatan tanah air beliau dengan cara bersemadi di depan pasukan Raja Virudhaka yang bermaksud menyerang kerajaan asal beliau. Pada masa itu ada tradisi bahwa sebuah pasukan akan berbalik pulang bila dihalangi oleh petapa. Demikian pula, dalam Kitab umat Kong Hu Cu juga disebutkan, “ Tanah air harus dijaga dari generasi ke generasi, tidak boleh ditinggalkan sekedar pertimbangan pribadi,…”. (Kitab Bing Cu I B : 15 : 3 ).
Ajaran Islam perihal Kecintaan terhadap Negara dan Bangsa
Sebagaimana telah saya tilawatkan di awal pidato, dalam Al-Qur’an, Surah al-Baqarah ayat 126, Allah Yang Maha Kuasa berfirman:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”
Dari ayat ini, Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berdoa agar tanah airnya: a) Menjadi negeri yang aman sentosa, b) Penduduknya dilimpahi rezeki, c) Penduduknya iman kepada Allah dan hari akhir.
Memang di dalam Kitab Suci Al-Qur’an tidak ada kata ‘nasionalisme’. Namun, Al-Qur’an menguraikan dalam bahasa lain perihal kecintaan terhadap sesama bangsa. Di antara keadaankeadaan alami manusia yang menjadi bagian mutlak fitratnya ialah suatu gejolak solidaritas terhadap sesama makhluk. Gejolak membela kaum terdapat secara alami di. dalam diri para penganut setiap agama (setiap bangsa).
Kebanyakan orang karena gejolak alami solidaritas terhadap kaumnya berlaku aniaya terhadap kaum lain seakan-akan menganggap mereka itu bukan manusia. Jadi, keadaan itu tidak dapat dikatakan akhlak. Ini hanyalah suatu gejolak alami belaka. Jika diperhatikan dengan seksama, keadaan alami ini juga terdapat di kalangan burung gagak serta burung-burung lainnya. Ketika seekor burung gagak mati maka ribuan burung gagak lainnya datang berkumpul.
Tetapi kebiasaan ini baru akan tergolong dalam akhlak insani apabila solidaritas tersebut diterapkan tepat sesuai tempat dan waktunya, dengan memperhatikan keadilan dan keseimbangan. Pada waktu itu ia akan menjadi suatu akhlak agung yang dalam bahasa Arab disebut muwaasah dan di dalam bahasa Farsi hamdardi. Ke arah itulah Allah Ta’ala, mengisyaratkan dalam Al-Quran Syarif:
وَتَعاوَنوا عَلَى البِرِّ وَالتَّقوىٰ ۖ وَلا تَعاوَنوا عَلَى الإِثمِ وَالعُدوانِ
“Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa; dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.”(QS. Al-Maidah, 5:3).
وَلا تَهِنوا فِي ابتِغاءِ القَومِ
“Dan, janganlah kamu menjadi kendur (merasa lemah) dalam mencari (menghadapi) kaum yang tidak bersahabat (memusuhi) itu.” (QS. An-Nisa, 4:104).
وَلا تَكُن لِلخائِنينَ خَصيمًا
“Dan, janganlah engkau menjadi seorang petengkar untuk membela orang-orang yang berkhianat.”(QS. An-Nisa, 4:105).
وَلا تُجادِل عَنِ الَّذينَ يَختانونَ أَنفُسَهُم ۚ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَن كانَ خَوّانًا أَثيمًا
“Dan, janganlah engkau berbantah membela orang-orang yang mengkhianati diri mereka. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang senantiasa berkhianat dan bergelimang dosa.”(QS. An-Nisa, 4:107).
Artinya, solidaritas dan dukungan terhadap kaum kamu hendaknya dilakukan dalam perkaraperkara kebaikan, sedangkan dalam perkara-perkara aniaya dan pelanggaran hendaknya sama sekali jangan mendukung mereka. Dan selalu giatlah dalam berlaku solider terhadap kaum kamu dan jangan letih. Janganlah membela orang-orang khianat, yaitu orang-orang yang tidak jera dari perbuatan khianat, Allah Ta’ala tidak menyukai para pengkhianat.[2]
Kecintaan Nabi Muhammad saw terhadap Tanah Air
Dalam kitab Jami’ ash-Shaghir jilid 1 bab huruf Ta’ halaman 222 nomor 3260, Nabi Muhammad saw bersabda:
وَتَحَفَظُوْا مِنَ الْاَرْضِ فَإِنَّهِا اُمُّكُمْ
“Jagalah dirimu dari bumi, maka sesungguhnya bumi itu adalah ibumu.”
Ini adalah perintah untuk menjaga diri sendiri dan ibu pertiwi (tanah air) dari tindakan-tindakan negatif dari diri sendiri maupun tindakan orang luar.
Al-Hafidz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari juz 3 halaman 261, ketika mensyarahi hadits Imam Bukhari dari sahabat Anas Ra:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا
“Rasulullah saw jika pulang dari bepergian dan melihat dataran tinggi kota Madinah mempercepat jalan untanya dan bila menunggang hewan lain beliau memacunya.”
AlHafidz Ibn Hajar berkata:
“Dalam hadits tersebut menunjukkan tentang keutamaan kota Madinah, dan disyariatkannya cinta tanah air dan rindu kepadanya.”
Di dalam kitab tafsir ar-Ruh al-Bayan, diriwayatkan ketika turun surat al-Qashash ayat 85:
إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ
“Sesungguhnya Allah Yang telah menetapkan Al-Qur’an bagimu niscaya akan membuatmu kembali ke tempat asalmu.”
Daat itu Nabi saw dilanda rasa rindu yang sangat kepada kota Makkah, karena memang Makkah adalah kota kelahiran dan tempat tinggal beliau, negeri datuk-datuk dan kerabat-kerabat beliau serta kota datuk utama beliau yaitu Sayyidina Ibrahim As. Sehingga ayat tersebut merupakan satu kabar gembira dari Allah Swt kepada Rasulullah Saw. dan suatu hal yang benar-benar akan direalisasikan oleh Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad saw akhirnya dapat pulang lagi dari Madinah ke tempat asal beliau, Makkah.
Kemudian penulis kitab tafsir ar-Ruh al-Bayan ini melanjutkan:
و في تفسير الاية اشارة ان حب الوطن من الايمان
“Dan dalam pengertian, kesimpulam serta tafsir dari ayat ini menunjukkan bahwa cinta terhadap negeri adalah sebagian dari iman.”[3]
Uraian Lebih Lanjut Perihal Kecintaan dan Kesetiaan Terhadap Negara
Kecintaan dan kesetiaan kepada suatu bangsa dalam Islam walaupun mudah mengatakannya, pada kenyataannya kalimat singkat ini mencakup arti dan makna yang luas, indah dan dalam. Karena untuk mengerti dan memahami secara utuh makna hakiki kalimat tersebut serta hal apa yang diperlukan untuk mewujudkannya adalah sangat sulit. Pertama dan utama, prinsip mendasar Islam adalah, kalimat yang diucapkan seseorang tapi tidak pernah diamalkan, maka ia memiliki standar ganda dan kemunafikan.
كَبُرَ مَقتًا عِندَ اللَّهِ أَن تَقولوا ما لا تَفعَلونَ
“Alangkah besar murka Allah bila kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian amalkan.” (Surah ash-Shaf, 61:3)
Kesetiaan sejati memperlukan bentuk hubungan atas dasar ketulusan dan integritas. Hal ini menuntut apa yang seseorang tampilkan pada permukaan harus sama dengan apa yang ada di dalam hatinya. Dalam istilah kebangsaan, prinsip-prinsip ini amat penting. Karena itu, sangat mendasar bagi setiap warga negara untuk membangun hubungan dengan kesetiaan sejati dan keyakinan murni kepada bangsanya. Tidak peduli apakah warga negara karena kepindahan atau sebab lainnya.
Kesetiaan, keikhlasan dan kesediaan adalah kualitas hebat; dan orang-orang yang telah menampilkan atribut ini dengan tingkat tertinggi dan standar terbaik adalah Nabi-Nabi Allah. Cinta dan ikatan dengan Allah begitu kuat dalam segala hal yang mereka taati segala perintah-Nya dan diupayakan sepenuhnya menerapkan perintah-Nya, tidak terpengaruh hal apa pun. Hal ini menunjukkan komitmen mereka kepada-Nya dan standar kesetiaan yang sempurna. Oleh karena itu, standar kesetiaan mereka yang harus kita gunakan sebagai contoh dan model.
Dalam kapasitas sebagai Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia, saya ingin berbagi informasi mengenai sumbangsih dan peran beberapa panganut Ahmadiyah terhadap Negara dan Bangsa kita. Mereka ialah Wage Rudolf Supratman, Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya[4]; Arief Rahman Hakim, Anggota Pemuda Majelis Khudamul Ahmadiyah Indonesia (organisasi Pemuda Ahmadiyah) yang juga termasuk Pahlawan AMPERA; Raden Mohammad Moehyidin, Ketua Nasional Pertama Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang juga Sekretaris Panitia HUT RI Pertama Tahun 1946; Mln.Sayyid Shah Muhammad Al-Jaelani, Muballigh Ahmadiyah asal Pakistan Untuk Indonesia yang juga Pahlawan Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia; Entoy Mohammad Toyib, Anggota Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang juga Pahlawan Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia; H.Suhadi, Ketua JAI Cabang Jogjakarta Era Tahun 1990 yang juga Pencipta Lagu Hymne Universitas Islam Negeri/IAIN Se-Indonesia; Dr.Ir.A.Qoyum Tjandranegara, Ing.Ec.SE, anggota Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang juga Peraih Bintang Maha Putra Nararya Tahun 2005; Olich Solihin & Tutang Djamaludin, anggota Pemuda Majelis Khudamul Ahmadiyah Indonesia yang juga Pahlawan Piala Thomas Indonesia Pertama pada 1958 dan 1964. Demikian pula, masih ada tokoh-tokoh berprestasi lainnya yang karena sempitnya waktu terpaksa tidak disebutkan.
Dapatkah Cinta Tanah Air menjadi Bertentangan dengan Cinta kepada Allah?
Sebelum melanjutkan lebih jauh, perlu dipahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan kesetiaan menurut ajaran Islam, definisi kesetiaan ialah pemenuhan janji dari seseorang dan pembatasan pada setiap tingkat dan dalam semua keadaan, terlepas dari kesulitan yang dihadapi. Setelah perintah adil dan jujur [dalam Al-Qur’an, 6:152], Allah memberi perintah:
وَبِعَهدِ اللَّهِ أَوفوا
“… dan penuhilah perjanjian dengan Allah …”
Diantara banyak janji, saya ingin menarik perhatian pada satu perjanjian lebih lanjut, yaitu setiap janji yang setiap warga negara lakukan atas nama Allah, Al-Quran atau penguasa negara. Memenuhi perjanjian semacam ini adalah kewajiban setiap Muslim, dan tidak memenuhinya adalah kelemahan iman. Melakukan atau menyuruh melakukan kecurangan terhadap Negara (misalnya korupsi, penggelapan pajak dan sebagainya) dan tidak menghormati perjanjian yang dibuat kepada Pemerintah juga termasuk dalam tindakan yang mengarah pada kelemahan iman. [5]
Kejujuran dan memenuhi perjanjian ini adalah standar yang dituntut oleh Islam. Di berbagai tempat dalam Al-Qur’an, Allah telah menginstruksikan setiap Muslim bahwa mereka harus memenuhi janji dan perjanjian mereka, karena mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh-Nya atas semua usaha yang telah mereka perbuat. Kaum Muslimin telah diperintahkan untuk memenuhi semua persyaratan, termasuk yang dibuat dengan Tuhan Yang Maha Esa, dan juga semua komitmen apa saja yang telah mereka buat, menurut dengan kepentingan masing-masing.
Dalam konteks ini, pertentangan yang bisa muncul dalam pikiran masyarakat ialah, umat Islam mengklaim bahwa Allah dan agama-Nya ialah syarat penting bagi mereka sehingga dapat disimpulkan bahwa janji kesetiaan mereka kepada Allah akan menjadi prioritas utama dan perjanjian kepada Allah akan menjadi nilai diatas segalanya dan mereka akan berusaha untuk memenuhinya. Karena itu, keyakinan (prasangka) mungkin timbul bahwa loyalitas seorang Muslim terhadap bangsanya dan janjinya untuk menegakkan hukum di tanah airnya hanya akan menjadi prioritas kedua baginya. Dengan demikian, ia mungkin bersedia untuk menyempurnakan janjinya bagi negaranya pada kesempatan yang lain.
Dalam rangka menjawab pertanyaan ini, saya ingin menyampaikan bahwa Nabi Muhammad saw sendiri mengajarkan ’Hubbul wathani minal iiman’ cinta tanah air adalah bagian dari keimanan. Karena itu, patriotisme yang tulus ialah satu keharusan bagi Islam. Kesetiaan sejati kepada Tuhan dan kepada Islam mensyaratkan orang itu harus mencintai bangsanya sendiri. Hal ini sudah jelas, yaitu tidak ada pertentangan kepentingan antara seseorang menyintai Tuhan sekaligus cinta kepada negaranya.
Cinta bagi negara adalah bagian dari ajaran Islam karena ini bermakna juga sebagai jalan menuju Tuhan demi memperoleh kedekatan-Nya. Oleh karena itu, tidak mungkin kecintaan seseorang Muslim sejati kepada Allah bisa menjadi hambatan atau penghalang untuk mencegahnya dari menampakkan cinta sejati dan kesetiaan kepada negaranya. Contohnya, menghormat bendera negara.
Bila Pemerintah Bertindak Kejam dalam Hak Dasar Manusia: Beragama
Sayangnya, kita menemukan terjadinya pembatasan hak beragama di negara-negara tertentu atau bahkan sepenuhnya ditolak. Oleh karena itu, timbul pertanyaan lain yaitu apakah orang-orang yang dianiaya oleh negara mereka masih bisa mempertahankan hubungan cinta dan kesetiaan kepada negara dan bangsa mereka?
Mengingat keadaan ini, sangat alami jika timbul pertanyaan, dalam keadaan seperti ini, bagaimana mereka bisa terus menampilkan kesetiaan untuk bangsanya?
Dalam hal ini perlu saya jelaskan bahwa bilamana keadaan ekstrim seperti ini terjadi, maka hukum dan loyalitas kepada bangsa, menjadi dua masalah terpisah. Kita percaya bahwa agama atau keyakinan adalah masalah pribadi bagi setiap individu dan ia bebas untuk menentukan pilihan serta tidak boleh ada paksaan.
لا إِكراهَ فِي الدّينِ
“Tidak boleh ada pemaksaan dalam hal keimanan. (QS. Al Baqarah: 256)
Dengan demikian, jika hukum diterapkan untuk mengganggu hak ini, tidak diragukan lagi hal ini merupakan tindakan kekejaman dan penganiayaan besar. Memang seperti sanksi penganiayaan yang dilakukan negara yang telah terjadi selama berabadabad telah dikutuk oleh mayoritas.
Jika kita melirik sejarah Eropa, Asia dan lain-lain, kita menemukan masyarakat di benua ini juga telah menjadi korban penganiayaan karena masalah agama dan sebagai akibatnya, ribuan orang harus berimigrasi dari satu negara ke negara lainnya. Semua sejarawan yang berpikiran adil, pemerintah dan orang-orang yang berpikiran adil menanggapnya sebagai penganiayaan yang sangat kejam.
Pilihan Hijrah
Dalam keadaan demikian, Islam menganjurkan jika penganiayaan telah melampaui batas dan menjadi tak tertahankan, maka pada saat itu seseorang hars meninggalkan kota atau negeri dan berpindah ke tempat yang bebas menjalankan agama dan keyakinannya dengan tenang.
Contohnya, para Sahabat Nabi dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw untuk berhijrah (berpindah) dari Makkah ke Habsyah (Abessinia) yang diperintah oleh seorang raja Kristen. Namun, bersamaan dengan petunjuk ini, Islam juga mengajarkan bahwa dalam kondisi apapun setiap individu harus mengambil upaya jalur hukum atau ia harus mengambil bagian untuk memecahkan masalah ini. Ini adalah perintah yang jelas dan tegas yang diberikan dalam ajaran Islam.
Larangan Melakukan Pemberontakan
Perjanjian lain yang diberikan Al-Qur’an Karim dalam kaitannya dengan loyalitas adalah seseorang harus menjauhkan diri dari semua hal yang tidak sopan, tidak diinginkan dan segala bentuk pemberontakan. Dalam Surat An-Nisa, Surah ke-4 ayat 59, disebutkan:
يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنوا أَطيعُوا اللَّهَ وَأَطيعُوا الرَّسولَ وَأُولِي الأَمرِ مِنكُم
”Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”
Sebuah gambaran indah dan membedakan Islam bahwa hal itu tidak hanya menarik perhatian kita ke titik kulminasi, semua konsekuensinya sangat berbahaya, melainkan hal itu juga memperingatkan kita tentang setiap masalah kecil juga, dengan bertindak sebagai batu loncatan untuk membimbing manusia saat berjalan atau menghadapi situasi berbahaya. Jadi, jika petunjuk Islam diikuti secara sempurna maka setiap usaha dapat diperoleh solusinya pada saat awal, sebelum situasi berkembang di luar kendali.
Misalnya, masalah serius yang dapat membahayakan suatu negara adalah perilaku korupsi (keserakahan) yang dilakukan perorangan, karena keinginan memiliki materi yang di luar kendali dan keinginan tersebut pada akhirnya menjadikannya bertindak dengan cara yang tidak loyal. Dengan demikian hal seperti ini bisa menjadi penyebab pengkhianatan terhadap negara dan bangsa. Dalam bahasa Arab kata ‘bagha’ telah digunakan untuk menggambarkan orang-orang atau tindakan orang untuk menimbulkan kerusakan bagi negara mereka. Ini mengacu pada mereka yang mengambil bagian dalam praktek-praktek salah atau menyimpang atau yang menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Hal ini termasuk orang yang melakukan penipuan dan sebagainya untuk mencoba mendapatkan sesuatu secara ilegal atau cara yang tidak adil. Hal ini mengacu pada orang-orang yang melampaui batas sehingga menyebabkan kerugian dan kerusakan bagi banyak orang. Islam mengajarkan bahwa orang-orang yang bertindak dengan cara-cara itu tidak bisa diharapkan untuk bertindak dengan cara-cara yang setia, karena kesetiaan terjalin dengan nilai-nilai moral yang tinggi. Kesetiaan tidak bisa ada tanpa nilai-nilai morang yang tinggi dan nilai-nilai moral yang tinggi tidak bisa ada tanpa kesetiaan.
Memang benar, orang berbeda mungkin memiliki pandangan yang berbeda tentang standar moral yang tinggi namun Islam berpijak pada sekitar mencari ridha Allah Ta’ala. Dengan demikian, umat Islam diinstruksikan untuk selalu bertindak dengan cara yang mencapai ridha-Nya. Singkatnya, dalam ajaran Islam, Tuhan Yang Maha Kuasa telah melarang semua bentuk pengkhianatan atau pemberontakan, baik terhadap negara maupun pemerintahan. Hal ini karena pemberontakan atau tindakan melawan negara adalah ancaman bagi perdamaian dan keamanan bangsa.
Memang, jika terjadi pemberontakan internal atau oposisi, maka pendukung api oposisi dari eksternal akan mendorong untuk mengambil keuntungan dari gangguan internal itu. Oleh karena itu, konsekuensi dari ketidaksetiaan terhadap bangsa bisa bergerak jauh dan ekstrim. Dengan demikian, apa pun yang dapat menyebabkan kerugian bangsa disertakan dalam pengertian ‘bagha’. Kesetiaan kepada negara dan bangsa memerlukan kesabaran untuk menampilkan moralitas dan ketaatan terhadap hukum negara.
Pilihan Ikut Serta dalam Proses Demokratis
Secara umum, di era modern ini, sebagian besar pemerintahan dijalankan secara demokratis. Oleh karena itu, jika seseorang atau sekelompok orang berkeinginan untuk mengubah pemerintahan maka mereka harus melakukannya dengan mengikuti proses demokratis yang tepat. Mereka harus membuat diri mereka didengar melalui pemungutan suara di kotak suara.
Suara tidak boleh dilemparkan atas dasar kepentingan pribadi. Islam mengajarkan bahwa suara seseorang harus dijalankan dengan rasa kesetiaan dan kecintaan terhadap bangsa dan negaranya demi kemajuan dan kesejarahteraan. Di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat ke-59, Allah swt telah memerintahkan untuk menyerahkan amanat kepada orang yang berhak menerimanya serta berlaku adil dalam memutuskan sesuatu diantara manusia.
Jadi, loyalitas kepada suatu bangsa memerlukan kondisi dimana kekuasaan pemerintahan harus diberikan kepada mereka yang memiliki hak untuk melaksanakannya, sehingga bangsa tersebut memperoleh kemajuan dan berdiri di garis depan diantara bangsa-bangsa di dunia.
[1] Kamus http://www.merriam-webster.com/
[2] 3 Filsafat Ajaran Islam, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad.
[3] http://www.muslimedianews.com/2014/03/dalil-cinta-tanah-air-sebagian-dari-iman.html?m=0
[4] 5 Winarno, Bondan. 2003. Lagu kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta: TSA Komunika.
[5] 6 Khotbah Jumat Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Masrur Ahmad pada 9 Agustus 2013