Depok, Warta Ahmadiyah– Jemaat Muslim Ahmadiyah di Indonesia mengakui masih menghadapi dampak psikologis yang berat dan minimnya ruang aman akibat diskriminasi yang terus berlanjut.
Namun, di tengah absennya perlindungan eksternal yang memadai, kehadiran sosok spiritual Khalifah menjadi kunci utama yang mentransformasi korban menjadi penyintas yang berdaya.
Baca juga: Aksi Khuddam Bergerak, Pemuda Ahmadiyah Giat Bersih-Bersih Lingkungan Kota
Hal ini mengemuka dalam paparan Fitria Sumarni, Ketua Komite Hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia , pada Diskusi Publik yang digelar Yayasan Inklusif di Griya Desantara, Depok, Sabtu 29 November 2025.
Fitria memaparkan realitas pahit bahwa hingga tahun 2024, pelanggaran kebebasan beragama masih berlangsung konsisten.
Dampaknya sangat mendalam. Secara psikologis, anggota komunitas mengalami trauma jangka panjang, kesedihan mendalam, hingga emotional flashback.
Baca juga: Silaturahmi Lintas Iman, Pendeta Gereja Advent Kunjungi Jemaat Ahmadiyah Paningggilan
Secara sosial, sejumlah anggota Jemaat Ahmadiyah menghadapi pengucilan, kehilangan mata pencaharian, hingga kesulitan mengakses layanan publik.
“Hilangnya rasa aman dalam interaksi sosial dan minimnya ruang aman untuk aktivitas komunitas menjadi tantangan nyata yang kami hadapi setiap hari,” ujar Fitria.
Ia menegaskan bahwa pertemuan antara pembatasan oleh pemerintah dan permusuhan sosial membuat korban berada dalam posisi tanpa perlindungan memadai.
Namun, Fitria menegaskan bahwa Jemaat Ahmadiyah menolak menyerah pada narasi sebagai korban.
Baca juga: Pemuda Ahmadiyah Depok Gelar Turnamen Bulu Tangkis, Eratkan Silaturahmi dengan Warga Sekitar
Ketahanan mental komunitas, menurut Fitria terbangun melalui mekanisme pemulihan internal yang berpusat pada kepatuhan dan kecintaan kepada Khalifah.
Dalam situasi di mana negara belum sepenuhnya mampu memberikan rasa aman, bimbingan Khalifah hadir sebagai ‘ruang aman’. spiritual.
“Sosok Khalifah memberikan arah yang jelas bagi jemaat untuk merespons persekusi dengan kesabaran dan doa, bukan kekerasan,” beber Fitria.
Hal inilah yang menurutnya mampu dengan cepat memulihkan luka batin anggota Jemaat Ahmadiyah dalam menjaga kohesi sosial, dan memungkinkan tetap berkontribusi positif bagi bangsa meski hak-hak sipilnya kerap dikebiri.
“Kami mendorong agar istilah minoritas tidak lagi digunakan. Kami adalah warga negara setara yang berdaya,” tegas Fitria .
Diskusi ini turut dihadiri narasumber dari Kementerian Sosial RI dan Majelis Sinode GKP.
Mereka sepakat bahwa pemulihan konflik membutuhkan pendekatan holistik, melibatkan negara, masyarakat sipil, dan kekuatan internal komunitas itu sendiri. *
Kontributor: Rodhiyah Mardhiyyah
Editor: Talhah Lukman A