Tangerang, Warta Ahmadiyah – Menteri Agama Republik Indonesia periode 2014–2019, Lukman Hakim Saifuddin menghadiri Pertemuan Tahunan Ansharullah Indonesia 2025, Minggu 2 November 2025.
Dalam kesempatan tersebut, Lukman Hakim menyampaikan pandanga sekaligus berdiskusi pada sesi talkshow moderasi beragama.
Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya moderasi beragama sebagai kunci menjaga harmoni dan mencegah ekstremisme di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk.
Baca juga: Jemaat Ahmadiyah Bulukumba Sambangi Redaksi Harian Radar Selatan
Lukman menyebut tiga alasan utama perlunya moderasi, yakni adanya kontradiksi perilaku yang mengatasnamakan agama namun menolak ajaran universalnya, kesalahpahaman terhadap konsep jihad yang sering disalahartikan sebagai kekerasan.
Dirinya juga menyoroti munculnya pandangan ekstremis yang menolak simbol-simbol nasional atas dasar keyakinan.
Lukmna menjelaskan pentingnya membedakan antara ajaran agama universal yang mendasar dan praktik-praktik khusus.
Baca juga: Silaturahmi ke UIN Saizu, Jemaat Ahmadiyah Jateng Hadiahkan Al-Quran Terjemah Bahasa Jawa
Termasuk menekankan bahwa meskipun keyakinan harus dipegang teguh secara pribadi, dalam kehidupan publik toleransi dan penghormatan terhadap keragaman sangatlah esensial.
“Moderatisme agama melibatkan pemegangan teguh terhadap keyakinan mendasar secara pribadi, namun mempraktikkan toleransi dan penghormatan (tasamuh) dalam kehidupan publik, mengakui bahwa orang-orang memiliki interpretasi dan praktik yang berbeda,” jelas Lukman.
Menteri Agama Republik Indonesia 2014-2019 tersebut menekankan bahwa Islam sebagai kebenaran ilahi harus dibedakan dari cara manusia mempraktikkannya.
Baca juga: Bank Mata Indonesia Deklarasikan Donor Kornea di Ijtima Ansharullah Indonesia
“Praktik diskriminatif itu selalu tertolak oleh agama. Karena membeda-bedakan perlakuan kita karena alasan latar belakang sosial itu diskriminatif ya. Itu bertentangan dengan keadilan,” kata Lukman.
Menurutnya, teks-teks agama bersifat kompleks dan dapat ditafsirkan secara beragam. Karena itu, moderasi diperlukan untuk menyeimbangkan antara ajaran inti yang bersifat universal dan ajaran cabang yang membuka ruang bagi perbedaan praktik.
“Radikalisme mungkin dapat diterima dalam keyakinan pribadi, tetapi dalam kehidupan publik harus dimoderasi dengan sikap tasamuh atau toleransi,” jelas Lukman
Lebih lanjutLukman juga mencontohkan perbedaan kecil dalam praktik ibadah seperti penggunaan qunut dalam sholat yang menurutnya tidak seharusnya menjadi sumber perpecahan.
Ia mengajak komunitas Ahmadiyah untuk menjadi teladan dalam penerapan nilai moderasi, yakni tetap teguh dalam keyakinan namun terbuka dan menghormati perbedaan di ruang sosial. *
Kontributor: Shahnaz Sabahunnur Kautsar
Editor: Talhah Lukman A