Bogor – Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan, Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (OR IPSH BRIN) Ahmad Najib Burhani, menyoroti usaha-usaha Ahmadiyah dalam menerjemahkan Al-Quran. Dia menilai, Ahmadiyah merupakan pionir penerjemahan Al-Quran dan terjemahannya menjadi bahan rujukan para tokoh awalin republik ini.
Dalam acara refleksi kemerdekaan yang diadakan oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) pada Rabu (16/8) di Bogor, Najib Burhani bercerita tentang pengalamannya saat menghadiri sebuah workshop yang membahas tentang revivalisme Islam dan penerjemahan Al-Quran abad 20 di salah satu Universitas di Jerman. Najib mengatakan bahwa dalam workshop tersebut ada dua kata yang sering diulang oleh hampir seluruh pembicara, yaitu Muhammad Rasyid Ridho dan Ahmadiyah. Hal itu sangat mengejutkannya.
“Karena pada waktu itu dakwah dari pada Ahmadiyah datang dan menjadi pionir dalam penerjemahan Al-Quran, dan melakukan dakwah di berbagai negara. Yang paling mengejutkan bagi saya adalah di Jerman itu sendiri. Jadi, beberapa orang convert (masuk) kepada Ahmadiyah dari agamanya, termasuk beberapa orang dari Inggris, karena dakwah dari Ahmadiyah dan karena penerjemahan Al-Qurannya yang saat itu dikenal sangat progresif, sangat modern dan sesuai dengan pemikiran-pemikiran rasional pada waktu itu,” ujarnya.
Selanjutnya Najib Burhani juga menjelaskan bahwa pada awal abad ke-20 sampai masa kemerdekaan terjemahan Al-Quran versi Ahmadiyah juga menjadi bahan rujukan para tokoh awalin negeri ini, diantaranya Soekarno, KH. Agoes Salim, Roeslan Abdulghani, HOS Tjokroaminoto, hingga Jong Islamieten Bond.
“Kenapa? Pertama karena mereka tidak menguasai Bahasa Arab, yang kedua adalah bahwa (Al-Quran) terjemahan Inggris dan Indonesia daripada Ahmadiyah sesuai dengan pemikiran kelompok intelegensia waktu itu. Terutama itu adalah istilahnya save their faith, menyelamatkan keyakinan keagamaan mereka dari serangan materialisme, termasuk juga dari beberapa kompetisi dengan misionaris agama lain, dan juga untuk melihat tentang berbagai hal itu yang make sense, (masuk akal) tentang berbagai hal yang ada di dunia ini dan menempatkan kata-kata Islam itu di atas agama yang lain secara rasional,” imbuhnya.
“Jadi itu yang kemudian Soekarno, Roeslan Abdulghani, Cokroaminoto, Agoes Salim menjadikan Al-Quran versi Ahmadiyah itu sebagai pegangannya,” tambah Najib.
Kemudian penelitian BRIN itu menceritakan kisah Roeslan Abdulgani saat hendak dipenjara oleh Belanda dan semua barangnya diambil, namun dia meminta dua buah buku untuk tetap dipegang, salah satunya adalah terjemahan Al-Quran versi Ahmadiyah.
“Dan itu yang kemudian menjadi referensi bacaan dia (Roeslan Abdulgani) selama di penjara.”
“Demikian juga apa yang dilakukan Soekarno, Soekarno menjadikan (terjemahan) Al-Quran versi Ahmadiyah itu sebagai referensinya untuk melihat tentang islam, arti islam. Ternyata tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga dinegara-negara yang lainnya,” pungkasnya.
Kontributor: Qanita Qamarunnisa
Alhamdulillah bahwa lama kelamaan akan terungkap faham Ahmadiyah tentang keindahan Islam hanya ada di Ahmadiyah. Jazakumullah