Jember – Rabu (12/3) pukul 09:30 WIB, bertempat di gedung C Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember (UNEJ) telah diselenggarakan bedah buku berjudul “Perjuangan Belum Berakhir, Membela Hak Konstitusional Muslim Ahmadiyah”.
Acara apik yang dihadiri 150 orang itu sukses dilaksanakan dengan menghadirkan tiga narasumber utama. Narasumber pertama, Fitria Sumarni, SH, ketua komite hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia sekaligus penyunting buku. Narasumber kedua, Dr. Muktiono, M. Phil, dosen universitas Brawijaya Malang dan aktivis SEPAHAM. Narasumber ketiga adalah Dr. Catur Wahyudi, MA, dosen Universitas Merdeka Malang dan selaku saksi ahli di MK terkait Yudisial Review UU PNPS 1965.
Hadir pula dari KPAI Jember, para mahasiswa fakultas hukum, akademisi, aktivis HAM, aktivis Peace Leader, serta Jemaah Ahmadiyah Indonesia Jatim 1, Jatim 2, dan Jatim 2.
Adapun perwakilan Jemaat Ahmadiyah Indonesia yang hadir adalah Mln. Arif Rahman Hakim (Mubda Jatim 1), Mln. Sajid Ahmad Sutikno (Mubda Jatim 2), Mln. Basyarat Ahmad Sanusi (Mubda Jatim 3), Mln. Abdul Haq Kartono (mubaligh Jember), Mln. Dian Kamiludin (mubaligh Bangil), Mln. Muhammad Kamal (mubaligh Tuban), Mln. Abdul Wahid Yora (mubaligh Gresik), Mln. Edi Zulkarnen (mubaligh Jombang dsk), Mln. Syamsul Rizal (mubaligh Kediri dan Tulungagung), Ir. Hamid Ahmad (pengurus cabang Jember dan Amir Daerah Jatim 3), Dr. Wadji, M.Pd (Nazim A’la Anshorullah Jatim 3), Nandar Zafrullah (ketua Jemaat Jember, Imam Faturahman, SE (sekum Jemaat Surabaya), dan anggota Lajnah Imaillah Jember.
Dalam kata sambutannya, Dr. Al Khanif, Ph.D seorang dosen fakultas hukum UNEJ, direktur CHRM dan aktivis SEPAHAM, yang dalam hal ini sebagai penyelenggara langsung memoderatori acara menyampaikan beberapa kendala yang dialami menjelang terlaksananya acara bedah buku, hingga bergeser dari satu tempat ke tempat lain, hingga tiga kali. Dikarenakan ada beberapa orang yang kurang berkenan.
“Terimakasih atas kehadiran para narasumber dan hadirin semua. Meskipun menempuh jalan berliku dan sempat tertunda akhirnya acara ini terselenggara juga di ruang kelas fakultas hukum. Acara bedah buku kali ini murni ranahnya akademisi dan Intelektual. Inilah yang membuat saya berani dan terus maju hingga sukses selenggarakan pertemuan ini”, terangnya.
Buku Perjuangan Belum Berakhir Membela Hak Konstitusional Muslim Ahmadiyah sejatinya merupakan kumpulan Essay para tokoh terkemuka terkait Hak Asasi Manusia dan hak-hak konstitusional warga Negara. Diantara para tokoh tersebut adalah Dr. Al-Hanif, Dr. Muktiono, Dr. Catur Wahyudi, Dr. Najib Burhani dan tokoh-tokoh lain yang konsen di bidang HAM.
Selaku penyunting dari buku dan perwakilan komite hukum Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Fitria Sumarni, SH sebelum pemaparan, ia menyampaikan ucapan terimakasih atas segala bantuan dan perhatian Dr. Al Khanif dkk yang selenggarakan acara bedah buku, dengan perjuangan yang layak mendapatkan apresiasi. Selanjutnya, Fitria Sumarni menayangkan video sekilas tentang Jemaat Ahmadiyah dan beberapa persekusi yang dialaminya.
Kemudian ia menerangkan latar belakang kenapa komunitas Ahmadiyah harus dibela. Hal itu dikarenakan betul-betul telah terjadi perampasan hak-hak Konstitusioanal komunitas Muslim Ahmadiyah oleh para pelaku intoleransi di negeri ini, baik secara pribadi maupun organisasi tertentu.
“Ahmadiyah sering menjadi korban kekerasan, penyerangan, ada yang dibunuh, kesulitan beribadah karena masjid-masjidnya ditutup atau dirusak, ada yang dipaksa keluar dari Ahmadiyah, sulit mendapatkan KTP dan surat nikah. Dan hingga sampai hari ini lebih 13 tahun masih ada warga Ahmadiyah dalam pengungsian. Serta baru baru ini juga masih mengalami persekusi di beberapa daerah”, imbuhnya.
Menyinggung keberadaan Ahmadiyah sampai saat ini, Fitria dengan tegas mengatakan bahwa sampai hari ini Ahmadiyah di Indonesia tidak pernah dilarang, dibekukan atau dibubarkan.
Buku setebal 276 halaman ini merupakan pandangan para ahli terkait hak-hak asasi manusia yang diajukan ke Sidang MK uji materi UU PNPS 1965. Menurut Fitri Sumarni Sidang Yudisial Review, namun yang terjadi seperti sidang mengadili JAI, diketengahkan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar, dan berujung penolakan MK terhadap Yudisial Review ini, hal ini memperburuk persepsi kalangan tertentu terhadap Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
Menurut ketua komite hukum JAI ini, dengan adanya penolakan MK tersebut, justeru menambah lagi beban berat yang dialami Muslim Ahmadiyah. Hal ini bisa dimanfaatkan perorangan atau suatu kelompok sebagai referensi bahwa Ahmadiyah benar-benar sesat, MK saja menolak Yudial Review mereka.
Dr. Muktiono selaku pembicara kedua, sekaligus sebagai saksi ahli dalam sidang MK, diawal pemaparannya menyampaikan bahwa dalam beberapa segi praktik toleransi di negeri ini bermasalah.
“Dalam beberapa segi praktik toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia masih mengalami permasalahan. Penguatan agama dalam konteks pengaturan bernegara adalah adanya Departemen Agama, belakangan lahir lagi MUI termasuk juga adanya produk PNPS 1965, yang sekalipun di akui oleh MK yang pada prakteknya telah menimbulkan permasalahan di masyarakat. Karena kenyataannya telah dijadikan alat untuk menekan kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas (religious corporatism)”, terangnya.
Muktiono sembari berkelakar bertanya kepada audien, “siapa diantara yang hadir ini yang bukan warga Ahmadiyah untuk angkat tangan. Lalu ia bertanya lagi, kepada salah seorang yang hadir. Dihadapan anda saat ini banyak saudara-saudara dari Ahmadiyah, yang anda rasakan saat ini apakah anda merasa terancam dengan keberadaan mereka? Sama sekali tidak, jawabnya. Apakah secara keimanan/agama, anda terganggu? Tidak sama sekali, jawabnya.
Justeru secara keilmuan, anda mendapatkan diskribsi atau gambaran setelah mendapat informasi tentang Ahmadiyah? Ya benar, katanya.
Muktiono mengatakan, jika ruang-ruang diskusi public seperti ini dibuka, tidak hanya untuk Jemaah Ahmadiyah saja, siapapun itu, suasananya nyaman, suasananya tidak represif, justeru akan muncul sikap simpati dan empati terkait dengan kelompok lain. Toleransi pun bisa dibentuk, tidak intoleransi.
Masih Dr. Muktiono, “PNPS sekalipun fungsinya ingin melindungi agama, namun pada prakteknya standar istilh penodaan agama itu menjadi sangat debatable karena sulit menentukan standar siapa yang harus digunakan, maka pemerintah kemudian menggunkan standar pelembagaan dalam hal penodaan agama, maka lembaga MUI lah yang dianggap dominan sebagai pembuat standar. Akibatnya, kelompok minoritas yang jauh dari kekuasaan mendapatkan tindakan intoleransi dengan legitimasi fatwa lembaga dalam hal ini fatwa MUI. Ini yang terjadi pada kelompok minoritas di tanah air seperti Ahmadiyah dan Syi’ah”, imbuhnya.
Berikutnya pembicara ketiga Dr. Catur Wahyudi, MA yang juga sebagai Saksi Ahli di MK dalam sidang yudisial review PNPS 1965 mengatakan bahwa ketika dalam suasana harmoni dan damai Hukum tidak terlalu digunakan.
“Jika alam semesta ini dalam suasana harmoni, tenang, damai, hukum tidak akan diperlukan. Hukum ada untuk mendamaikan suasana konflik, maka sangat ironi sebuah undang-undang ada, bukannya meredam suasana konflik, tetapi malah menimbulkan konflik baru. Jika itu terjadi maka menunjukan ada yang salah dengan undang-undang tersebut. Lalu bagaimana dengan PNPS 1965, sudah bisa di ukur efektifitasnya saat ini dengan logika diatas”, katanya.
Dr. Catur menceritakan awal pertemuannya dengan Ahmadiyah. Ia mulai mengenal Ahmadiyah saat masih di UIN Syarif Hidayatullah melakukan disertasi soal Ahmadiyah. Dimana saat itu ia melihat penganiayaan terhadap Ahmadiyah di banyak daerah, markasnya diserbu, masjid-masjidnya dirusak, dll.
“Saya penasaran kepada Ahmadiyah, saya tertarik dengan bagaimana teman-teman komunitas Jemaah Ahmadiyah ini berani hidup dalam situasi yang bertahan. Dalam kondisi semacam ini, bagaimana mereka bisa melakukannya. Lalu saya angkat hal itu dalam desertasi saya”,terangnya.
Masih Dr. Catur. “Saya temukan suatu pola yang saya sebut sebagai kepribadian Ahmadi yang diperolehnya dari 10 syarat baiat. Ternyata menjadi seorang ahmadi itu lebih sulit daripada menjadi umat Islam pada umumnya. Tentu sulit bagi orang seperti saya”, tegasnya.
Dosen UM Malang ini lalu bertanya kepada audiens, “siapa diantara anda disini yang menjalankan tahajud setiap malam? hallo. Susahkan. Belum yang lain lain lagi, itu komitmen yang dinyatakan oleh teman-teman Ahmadiyah”.
Menurutnya, hal itulah yang menjadi sebuah kekuatan besar bagi para ahmadi. Teraniaya itu dengan kesabarannya harus dilakukan. Menempuh jalan-jalan intelektual, lalu pengabdian kemanusiaan.
“Apa yang dilakukan Ahmadiyah yang oleh saya sebut sebagai gerakan intelektual,kemudian gerakan kemanusiaan yang makin masif sampai hari ini. Dan itu yang terus dicontohkan oleh Khalifahnya. Kekuatan ini yang mampu membendung opini-opini yang kontroversial. Mereka begitu tenang dan tabah serta menunjukan kedamaian”, imbuhnya.
Dr. catur mengatakan, bahwa hal sangat penting adalah dimana kita menempatkan Ahmadiyah pada tataran sosial, sama-sama makhluk Allah, yang bisa hidup berdampingan.
“Pada saat berikan keterangan di MK, itu betul betul perspektif sosiologis , itu yang saya pakai. Kekuatan sosiologis itu, kalau seseorang memahami suatu keyakinan, ia paham, tahu, lalu mempraktikannya dan konsisten. Apa yang ia yakini, pahami lalu konsisten dalam prilaku. Lalu apa yang bedakan, saya temukan perbedaan yang tidak terlalu signifikan”, terangnya.
Lebih lanjut, Dr. Catur mengatakan, “Ahmadiyah itu akidahnya sama dengan umat Muslim umumnya, syahadatnya sama, adzan dan iqomahnya sama, Nabinya ya Nabi Muhammad saw, kitab sucinya ya Alquran. Bahkan jika temukan terjemahan Alquran di masa menteri Agamanya Alamsyah, disitu dirujuk, salah satu referensinya adalah The Holy Quran karya Jemaat Ahmadiyah. Lalu mengapa Tazkiroh sedemikan rupa dipermasalahkan. Lalu ada kekuatan-kekuatan lain dari Ahmadiyah yang mampu berkolaborasi dengan pemerintah, masyarakat, kemudian bisa hidup harmonis”, tegasnya.
Diakhir pemaparannya, Dr. Catur Wahyudi menyampaikan rasa salut akan eksistensi Ahmadiyah di tengah-tengah represif yang begitu tinggi.
“Saya salut terhadap eksistensi Ahmadiyah ditengah-tengah hadapi represif dan resistensi yang sedemikian tinggi. Jika kita mau jujur, Ahmadiyah malah terus maju dalam pengabdian kemanusiaannya di berbagai belahan dunia, seperti donor darah, donor mata, Clean The City, dan lain-lain. Intinya, Ahmadiyah dari sisi akidah pokok sama dengan muslim yang lain”, tambahnya.
Kontributor: Mln. Basyarat Ahmad Sanusi dan Mln. Sajid Ahmad Sutikno