Banner bertajuk DISKUSI PUBLIK “PANCASILA & KHILAFAH”, terpampang apik di bagian depan Aula Intan Dewata 1, Hotel Kampung Sumber Alam, Cipanas, Garut, Sabtu (14/12/2019).
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian program kegiatan Tasyakur Seabad Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan terselenggara berkat kerjasama dan dukungan yang baik antara Pantia Tasyakur Seabad JAI, Gumati Foundation, AMSA Indonesia, MKAI, JAI, PMII, GP Anshar dan Forum Bhineka Tunggal Ika Tasikmalaya.
Hadir dalam acara ini berbagai elemen masyarakat, organisasi keagamaan dan organisasi mahasiwa. Lajnah Imaillah Indonesia Daerah Jabar 06 yang diwakili oleh Pengurus Daerah Jabar 06 turut serta menghadiri gelaran acara istimewa ini.
Acara Diskusi Publik “Pancasila dan Khilafah” diselenggarakan dengan tujuan memberikan pemahaman mengenai hakikat Pancasila yang sudah final sebagai satu-satunya falsafah dan ideologi bangsa Indonesia serta bagaimana penerapan konsep Khilafah dalam kehidupan kenegaraan.
Tema diskusi publik ini diangkat karena munculnya fenomena penurunan persentase dukungan publik yang pro pancasila selama kurun waktu 13 tahun terakhir. Penurunan dukungan ini terjadi di berbagai segmen. Penurunan paling banyak ada di segmen masyarakat berpenghasilan rendah.
Rangkaian acara dimulai dengan pembacaan Ayat Suci Al-Quran oleh anggota MKAI dari Jabar 06, dilanjutkan dengan sambutan Ketua Panitia dari PMII, dan Kasat Binmas mewakili Kapolres Garut. Acara inti selanjutnya di pandu oleh Sdr. Ajat Sudrajat yang merupakan Wakil Sekretaris GP Anshar Wilayah Tasikmalaya.
Pemaparan materi diskusi publik, disajikan secara panel. 4 orang narasumber bergantian memberikan uraian.
Narasumber pertama adalah DR. Drs. H. Anton Charliyan, MPKN, seorang Tokoh Budaya dan Juga Mantan Kapolda Jawa Barat. Dalam pemaparannya beliau mengingatkan kembali histori Bhineka Tunggal Ika, salah satunya perumusan Pancasila menghilangkan Piagam Jakarta yang menunjukkan diakuinya pluralisme di Indonesia.
Dan dalam sejarah Islam, dikenal Piagam Madinah, yang isinya juga mengakomodir kepentingan berbagai golongan, suku dan agama, bahkan kaum Yahudi sekalipun tetap diakui dan diberikan ruang.
Selain itu, H. Anton Charliyan juga memberikan gambaran yang gamblang, bahwa konsep Khilafah yang diusung oleh beberapa ormas radikal sama sekali tidak sama dengan konsep Khilafah para sahabat Rasul. Jika dulu, sistem kekhilafahan lebih menitikberatkan pada kepentingan syiar, maka Khilafah versi ormas-ormas tersebut adalah demi kekuasan semata.
Narasumber kedua, Ahmad Najib Burhani, MA, Ph.D. Peneliti Senior LIPi dan PP Muhammadiyah. Beliau menyoroti masalah “Khilafah Ahmadiyah dalam Tata Pemerintahan Modern”.
Menurut Ahmad Najib, wacana Khilafah saat ini didominasi oleh ormas-ormas seperti HTI, ISIS dan lainnya. Akibatnya, pembicaraan tentang Khilafah selalu diasumsikan sebagai keinginan membentuk negara dengan falsafah baru menggantikan falsafah Pancasila.
Padahal sesungguhnya, konsep Khilafah memiliki beragam makna, dari segi politik, Khilafah merujuk kepada masa pemerintahan Islam berbentuk kerajaan atau dinasti di masa Umayyah, Abasiyah, Turki Usmani, Fatimiyah.
Konsep inilah yang dianut oleh HTI, ISIS, Al-Qaeda, Jamaah Islamiyah dan lainnya, dimana bagi mereka, Khilafah adalah kekuasan atas suatu wilayah/teritori, atas sebuah Pemerintahan. Dan mereka menganggap benar untuk melakukan cara-cara radikal sekalipun untuk kepentingan tersebut. Makna Khilafah berikutnya adalah menunjukkan arti wewenang, dimana manusia disebut sebagai wakil Allah di muka bumi.
Dan makna Khilafah yang ketiga adalah syiar, berkaitan hanya tentang agama.
Nah, pada makna inilah Jamaah Ahmadiyah mendirikan Kekhalifahan. Murni tentang Agama. Dan bentuk kekhalifahan seperti ini, dijumpai pada masa Kekhalifahan Rasyidah (Khulafaur Rasyidin).
Sesi pertama diskusi publik break untuk melaksanakan shalat Ashar, dan ditutup dengan pertanyaan :
- Jika Khilafah berdiri, apakah Pancasila akan tetap ada?
- Bagaimana konsep Khilafah ala Ahmadiyah?
- Apa perbedaan antara Khilafah Ahmadiyah dan Khilafah versi HTI atau ormas sejenisnya?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian dibahas tuntas dan gamblang oleh 2 Narasumber berikutnya pada sesi 2.
Narasumber ketiga, menghadirkan Mln. Hafizurrahman Danang, Mubaligh Daerah Jabar 05. Dalam pemaparannya Mln. Hafizurrahman mengupas kandungan QS. An-Nur ayat 55 dan HR. Musnad Ahmad, yang didalamnya menjelaskan tentang bagaimana sebuah khilafah itu bisa berdiri.
Jamaah Ahmadiyah sudah ada 111 tahun lamanya, dibawah kepemimpinan 5 Khalifah. Dan konsep Khilafah Ahmadiyah murni agama, tidak berorientasi pada politik/kekuasaan/wilayah. Khilafah Ahmadiyah mengedepankan pada reformasi kerohanian dan akhlak untuk membawa umat pada pondasi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan sejalan dengan itu, juga mengedepankan ketaatan pada Pemerintahan di negara dimana Jamaah Ahmadiyah berada di seluruh dunia.
Konsep Khilafah Ahmadiyah, selaras dengan kandungan Al-Quran dan hadits diatas. Namun, untuk membedah masalah ini, diperlukan diskusi yang lebih mendalam, agar muncul pemahaman yang utuh mengenai bagaimana Khilafah ‘ alaa minhajjin Nubuwwah pada masa ini bisa berdiri.
Berkenaan dengan Pancasila, Mln. Hafizurrahman menyampaikan bahwa ideologi Pancasila adalah ideologi khas Nusantara, walaupun dalam pengamalannya masih belum utuh terpancar dalam kehidupan masyarakat.
Penganut Ahmadiyah, meyakini bahwa sistem kekhalifahan yang dibangun sama sekali tidak bertentangan dengan Pancasila, dan tidak ada sedikitpun maksud untuk merubah dan mengganti asas Pancasila. Warga Ahmadiyah tetap bersatu dan teguh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila adalah final sebagai ideologi bangsa dan NKRI harga mati.
Terakhir, narasumber keempat adalah tokoh ulama muda NU Pimpinan Pondok Pesantren Fauzan Garut, KH. dr. Aceng Hilman Umar Basori. Secara tegas beliau menyampaikan : “Kita tidak boleh menafikan bahwa konsep khilafah adalah bagian dari kesejarahan Islam, jangan fobia dengan kata khilafah”.
Seperti halnya Mln. Hafizurrahman, Ceng Hilman juga mengutip hadist Musnad Imam Hambal. Menurut hadist tersebut, patokan utama untuk membentuk Khilafah adalah kalimat ‘alaa minhajjin nubuwwah. Dan khilafah model seperti ini menurut beliau sudah berakhir pada masa Khulafaur Rasyidin, dimana berdasarkan beberapa Hadist, Ulama berpendapat, bahwa Khilafah hanya berumur 30 tahun lamanya.
Dan syarat berikutnya agar sebuah sistem disebut Khilafah adalah “ud ‘uu ilaa sabili robbika bil hikmah wal mau ‘idzatil hasanah”, yakni menyeru manusia kepada jalan Allah dengan hikmah dan tutur kata yang baik.
Nah, apakah Jamaah Ahmadiyah memenuhi syarat ini? Jika Ya, maka Jamaah Ahmadiyah bisa diakui sebagai sistem Khilafah. Sedangkan sistem Khilafah model ISIS, HTI dan lainnya sudah keluar dari patokan dan syarat untuk berdirinya Khilafah. Kekerasan dan kekejaman yang dilakukan kelompok ini sudah jelas menyalahi syarat-syarat tersebut. Kelompok-kelompok ini telah mengelabui umat Islam dengan label agama untuk kepentingan kelompoknya.
Peserta diskusi publik nampak begitu antusias menyimak pemaparan dari para Narasumber yang nampak sangat menguasai permasalahan ini. Dengan teknik pemaparan yang menarik dan cair, tidak terasa waktu yang dialokasikan semula hanya 2 jam tidak cukup dan akhirnya acara baru ditutup pada pukul 18.00. Sesi tanya jawab pun sangat terbatas.
Diharapkan dari diskusi publik ini, muncul pemahaman yang utuh mengenai Pancasila dan bagaimana menyikapi maraknya wacana pendirian Khilafah oleh beberapa ormas radikal.
Acara ditutup dengan sesi foto bersama, dan peserta membubarkan diri dan membawa oleh-oleh sertifikat keikutsertaan dalam kegiatan ini.
Kontributor : Ny. Ai Yuliansah